,

Ditawar Investor, Warga Desa Ini Tetap Pilih Lestarikan Hutan

“Di tana’ ulen Setulang ada pohon besar yang dinamai pohon CIFOR,” terang Ali Mustofa, Adviser Community Forest Management GIZ Forclime, memulai penjelasannya. Menurutnya, nama itu merujuk ke suatu lembaga penelitian internasional yang pernah melakukan penelitian potensi area kawasan hutan Desa Setulang.

Desa Setulang, berjarak sekitar satu jam perjalanan darat dari Malinau, Kalimantan Utara. Sepanjang perjalanan menuju Desa Setulang kami jumpai perbukitan yang hijau. Beberapa kali kami menjumpai warga pulang dari kebun berjalan kaki sambil membawa hasil pertanian yang digendong dalam keranjang rotan di punggung.

Kekayaan spiritual utama dari warga Desa Setulang sendiri terletak bagaimana masyarakat desa berani menolak berbagai tawaran investor yang ingin masuk untuk mengubah bentang lahan hutan primer seluas sekitar 4.300 hektar yang masuk wilayah desa yang disebut kawasan tana’ ulen. Alih-alih mengkonversi, masyarakat mempertahankan tana’ ulen sebagai Hutan Desa.

Dayak Kenyah Umo’ Longh dari Long Sa’an

Desa Setulang terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Malinau pada pertemuan Sungai Setulang dan Malinau. Pada tahun 2014 jumlah penduduk yang tinggal di setulang adalah 848 jiwa. Semuanya merupakan etnik Dayak Kenyah Umo’ Longh (Uma Long).

“Kami mulai berpindah kesini dari Long Sa’an tahun 1968 hingga 1978. Dan setelah itu kampung kami di sebelah hulu Long Pujungan, Bulungan sana kosong hingga sekarang,” kata Kole Adjang, ketua Badan Pengelola Hutan Desa Setulang. Kole menceritakan meski Long Sa’an tempat mereka tinggal dahulu merupakan daerah yang bagus namun kehidupan disana menjadi sulit karena jauhnya akses terhadap kebutuhan yang tidak bisa dihasilkan oleh mereka sendiri.

“Untuk mencari kebutuhan garam dan minyak tanah, orang tua kami harus mendayung perahu ke Bulungan. Dan itu akan memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu jika air surut atau banjir,” kata Kole.

Para orang  tua dari Kampung Long Sa’an kemudian melakukan survei pada tahun 1963 untuk mencari hamparan tanah baru sebagai tempat untuk berpindah. Mereka tidak survey ke arah Bulungan karena pemukiman di pinggiran sungai  sudah padat. Para orang tua memilih untuk mencari tanah ke arah Malinau. Akhirnya tanah pilihan ditemukan dan pada tahun 1964, warga Long Saan membuat ketetapan untuk berpindah. Namun rencana itu tak bisa dilaksanakan.

“Tahun 1964 kami batal berpindah karena ada kejadian konfrontasi dengan Malaysia. Tentara yang masuk ke wilayah kami melarang kami pergi. Sebab jika kami pergi tak ada yang membantu tentara baik untuk urusan dapur maupun penunjuk jalan,” jelas Kole. Perpindahan akhirnya terjadi secara bergelombang mulai dari tahun 1968 dan berakhir pada tahun 1978.

Tana’ Ulen, Hutan Larangan Tempat Sumber Kekayaan Alam

Menurut Moeliono dan Limberg (2009), di kabupaten Malinau lah hutan dipterocarpaceae terluas di Asia Tenggara masih dapat dijumpai. Dengan batang tinggi dan tajuk yang lebar, hutan ini memiliki keragaman hayati yang kaya dan memiliki jenis kayu yang berkualitas tinggi. Potensi inilah yang kemudian memunculkan keinginan pihak-pihak investor untuk menggali kekayaan.

Demikian pula tana’ ulen Setulang tak lepas dari persoalan itu. Berbagai macam bujuk rayu investor yang berusaha masuk ke Hutan Desa Setulang untuk mengambil kekayaan alam dari kawasan hutan telah mereka rasakan. Keteguhan hati, penghormatan leluhur serta kesadaran bahwa penggunaan hutan secara berlebihan akan membawa kerusakan dan bencana bagi kehidupan, yang pada akhirnya meneguhkan tekad masyarakat.

Dari hasil kesadaran tersebut Desa Setulang mencadangkan sebuah kawasan hutan. Hutan cadangan itu biasa disebut dengan nama tana’ ulen. Berbeda pada saat mereka masih tinggal di Long Sa’an, dimana tana’ ulen dikelola oleh kaum bangsawan (paren), maka di Setulang tana’ ulen dikelola oleh suatu Badan Pengelola Hutan yang dipiih oleh warga desa.

Menurut Kole Adjang, pada 17 Juli 2003 untuk pertama kali dibentuk Badan Pengelola Hutan Tane’ Olen (BPHTO) Desa Setulang untuk periode lima tahun. Pembentukan itu sekaligus untuk menandai penghargaan penting yang disematkan Kementerian Lingkungan Hidup terhadap upaya masyarakat  adat Dayak Kenyah Desa Setulang untuk mempertahankan wilayah hutannya.

Pada tahun 2013, lewat keputusan Menhut Nomor 526, kawasan tane’ ulen Setulang ditetapkan sebagai kawasan Hutan Desa dengan luas 4.330 hektar. Kawasan  tane’ ulen sendiri bagian dari kawasan hutan negara produksi terbatas.

“Itu merupakan buah perjuangan panjang setelah terlebih dahulu pada  11 Juni 2011 Pemerintah Desa Setulang menetapkan kawasan Tane’ Olen mereka sebagai Hutan Desa. Pengelolanya tetap sama yaitu dari BP-HTO yang kemudian dirubah menjadi  Badan Pengelola Hutan Desa (BPHD) Setulang,” jelas Ali Mustofa.

Tane’ ulen yang kini dikenal sebagai hutan desa secara tradisional dikenal sebagai tempat larangan, tempat untuk menyimpan cadangan kebutuhan jangka panjang yang diperlukan oleh masyarakat. Konsep ini sudah berabad-abad dikenal oleh Suku Dayak Kenyah. Dalam wilayah tana’ ulen, masyarakat dilarang untuk menebang pohon, membuat ladang, membakar hutan dan aktivitas lain yang bisa merusak hutan.

“Konsep awalnya adalah hutan larangan, tetapi bisa juga disebut sebagai hutan simpanan atau wilayah konservasi,” lanjut Ali. Hasil simpanan tersebut meliputi kayu untuk berbagai kebutuhan, bahan atap rumah, bahan makanan, penyediaan air bersih, bahan obat-obatan, alat musik, kerajinan, topi dan lain sebagainya. Adapun hasil hutan kayu (HHK) dipenuhi dari hutan cadangan (unung mpe’),  sedangkan kebutuhan hasil hutan non kayu (HHBK) seperti rotan, daun sang, bahan makanan, buah-buahan dan lain-lain dipenuhi dari bekas ladang (jekau), ladang atau kebun (umo’) dan hutan cadangan (unung mpe’).

Inilah gambaran hutan di Desa Setulang. Air jernih dan kaya akan keragamanhayati. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Inilah gambaran hutan di Desa Setulang. Air jernih dan kaya akan keragamanhayati. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Hingga saat ini pemanfaatan tane’ ulen lebih ke jasa lingkungan, berupa penyediaan air bersih (songe bui) yang berasal dari Sungai Mentiung, anak sungai Setulang, lalu ekowisata dan penelitian.

Benarlah apa yang disampaikan oleh Kole Adjang, setelah kita sampai di tane’ ulen gemericik air dan oksigen hutan tropis membuat kita segan melangkahkan kaki keluar dari hutan ini. Dia selalu berpesan setiap kali ada pengunjung yang akan pergi ke tane’ ulen, agar mandi di sungai untuk menikmati jernih dan segarnya air anak sungai yang mengalir di tane’ ulen.

Semoga tekad yang diwariskan turun temurun oleh  komunitas Dayak Kenyah Umo’ Longh yang masih bertahan hingga generasi hari ini akan terus bertahan hingga generasi-generasi berikutnya.  Sehingga jernihnya air sungai yang mengalir dari tane’ ulen akan tetap tetap menjadi sumber air bersih yang lestari bagi seluruh warga, kini, esok  dan seterusnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,