,

Blue Carbon, SBY dan Komitmen Jokowi

*Rony Megawanto, Pengamat dan Pekerja Konservasi Kelautan. Tulisan ini merupakan opini penulis.

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada UN Climate Summit di Markas PBB di New York, Amerika Serikat, pada 23 September 2014 lalu menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia akan mengeksplorasi potensi blue carbon untuk membantu upaya global menangani perubahan iklim.

Ini merupakan pernyataan politik pertama dari kepala negara menyangkut blue carbon.  Blue carbon adalah konsep yang digagas sekitar tahun 2010 yang menekankan pada peran ekosistem pesisir dalam mitigasi perubahan iklim, terutama dalam hal ini ekosistem mangrove, padang lamun, dan rawa pasang surut.  Tulisan ini hanya akan membahas mangrove sebab Indonesia adalah negara yang memiliki hutan mangrove terbesar di dunia yaitu seluas 3,1 juta hektar, atau merupakan 20 persen dari luas mangrove global.  Bandingkan dengan  Australia dan Brazil yang menempati urutan kedua dan ketiga yang masing-masing hanya memiliki sekitar 7 persen dari mengrove dunia.

Dengan potensi mangrove sebesar itu, beberapa kalangan praktisi mangrove justeru menganggap bahwa mangrove adalah ‘anak tiri’ dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia.  Bahkan kalangan lainnya memberi julukan yang jauh lebih parah, yaitu ‘anak yang hilang’.  Julukan yang menyedihkan ini bukan karena tidak ada lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengelola mangrove, melainkan justru karena ada lebih dari satu lembaga yang memiliki tanggungjawab yaitu Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Bagi Kementerian Kehutanan, mangrove adalah bagian dari hutan sebab definisi kehutanan menurut UU Kehutanan adalah ekosistem yang didominasi oleh pepohonan.  Sementara bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan, mangrove termasuk wilayah pesisir yaitu wilayah peralihan antara daratan dan lautan menurut UU Pengelolaan Wilayah Pesisir.  Artinya kedua kementerian ini memiliki kewenangan yang tumpang-tindih dalam mengelola mangrove.

Kondisi tumpang-tindih kewenangan ini mendorong pengelolaan mangrove menjadi terpinggirkan, tentunya bukan karena ekosistem ini memang berada di pinggir pantai.  Akibatnya luasan mangrove Indonesia mengalami penurunan signifikan dari tahun ke tahun.  Luasan mangrove Indonesia tahun 1980 tercatat masih mencapai 4,2 juta hektar namun tahun 2009 tersisa 2,6 juta hektar.  Dengan demikian secara rata-rata Indonesia kehilangan hutan mangrove lebih dari 50.000 hektar setiap tahunnnya.

Kehilangan hutan mangrove yang cukup besar tersebut tentu sangat memprihatinkan sebab ekosistem ini memiliki peran penting bagi ekonomi dan ekologi.  Mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning ground) dan daerah pembesaran (nursery ground) bagi berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan, dan spesies ekonomis penting lainnya.  Dengan hilangnya mangrove, maka berbagai spesies ekonomis yang menjadi sumber kehidupan masyarakat pesisir juga akan hilang. Mangrove juga berfungsi sebagai pelindung alami masyarakat pesisir dari gempuran ombak, tsunami, angin topan, dan perembesan air laut.

Kehilangan mangrove akan mendorong pemerintah membangun pelindung buatan dengan dana yang sangat besar.  Sebagai ilustrasi, pembangunan tanggul raksasa di Teluk Jakarta membutuhkan dana ratusan triliun rupiah.  Bayangkan jika dana triliunan tersebut digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir yang sering digambarkan sebagai masyarakat miskin.

Dalam konteks mitigasi perubahan iklim, kehilangan mangrove sebesar itu berarti menghasilkan emisi karbon yang sangat signifikan.  Implikasinya, Indonesia dianggap ikut berperan serta dalam meningkatnya gas rumah kaca yang menyebabkan semakin tingginya suhu bumi dan selanjutnya berdampak pada perubahan iklim global.  Dampak dari perubahan iklim bukan lagi sekedar diskursus saat ini, tapi sudah menjadi realita yang harus dihadapi oleh masyarakat global.

Taman hutan rakyat Teluk Benoa, akankah tetap bertahan di tengah beragam ancaman termasuk reklamasi besar-besaran? Foto: Anton Muhajir
Taman hutan rakyat Teluk Benoa, akankah tetap bertahan di tengah beragam ancaman termasuk reklamasi besar-besaran? Foto: Anton Muhajir

Lebih jauh lagi, dampak dari perubahan iklim bukan hanya sekedar menjadi masalah lingkungan, melainkan merupakan tantangan ekonomi, pembangunan, dan investasi bagi bangsa-bangsa di dunia. Menurut Sri Mulyani, mantan Menteri Keuangan RI, perubahan iklim telah mempengaruhi kegiatan bisnis dan dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi dunia dengan skala yang serupa dengan perang-perang besar dan depresi ekonomi.  Sebagai tambahan, Pemerintah Inggris memprediksi bahwa perubahan iklim dapat menghabiskan biaya sebesar 5 sampai 20 persen dari Global Gross Domestic Product (PDB Global) jika tidak ada aksi yang dilakukan dari sekarang untuk mengurangi emisi karbon.

Mekanisme global untuk menangani perubahan iklim dewasa ini dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.  Dalam pengertian bahwa dengan melindungi sumber-sumber emisi gas rumah kaca, seperti hutan tropis dan hutan mangrove, maka negara-negara berkembang dapat memperoleh manfaat ekonomi dari negara-negara maju.  Artinya negara seperti Indonesia dapat memperoleh keuntungan ekologis melalui upaya konservasi dan sekaligus mendapat keuntungan ekonomis melalui mekanisme global mitigasi perubahan iklim yang dikenal dengan pasar karbon.

Pasar Karbon

Dalam pasar karbon, yang diperdagangkan sesungguhnya adalah hak atas emisi gas rumah kaca yang dapat berupa hak untuk melepaskan gas rumah kaca ataupun hak atas penurunan emisi gas rumah kaca. Secara umum dikenal dua jenis pasar karbon, yaitu pasar karbon wajib (compliance market) dan pasar karbon sukarela (voluntary carbon market).  Pasar karbon wajib mengacu pada Protokol Kyoto yang mewajibkan negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2 persen selama 5 tahun, antara 2008-2012 (periode komitmen pertama), sementara negara-negara berkembang berkewajiban mencegah gas rumah kaca dilepas ke atmosfir.

Protokol Kyoto memungkinkan kerjasama antara negara maju dan negara berkembang dalam mengurangi gas rumah kaca, yaitu melalui mekanisme Clean Development Mechanism (CDM).  Dengan mekanisme ini, negara maju yang belum berhasil mencapai target emisi karbon dapat menggantinya dengan melaksanakan ‘proyek karbon’ di negara berkembang, seperti proyek renewable energy (pembangkit listrik tenaga air, angin, matahari), proyek efisiensi energi, proyek konservasi lingkungan, dan sebagainya.

Sementara pasar karbon sukarela memungkinkan perusahaan dan individu melakukan pembelian dan penjualan carbon offsets berbasis kerelaan, bukan kewajiban seperti yang diatur oleh Protokol Kyoto.  Permintaan (demand) pada pasar karbon ini terbentuk semata karena adanya keinginan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan bukan karena adanya kewajiban untuk itu. Keinginan ini memicu terjadinya perdagangan karbon antara si empunya keinginan dengan penyedia atau penyimpan stok karbon. Dalam beberapa kasus, keinginan tersebut digabungkan menjadi komitmen kolektif sehingga pasarnya membesar dan dapat menarik keterlibatan pihak lain seperti perantara, investor, maupun layanan bursa.

Masyarakat sekitar yang masih membutuhkan keberadaan hutan mangrove di Balikpapan. Foto: Hendar
Masyarakat sekitar yang masih membutuhkan keberadaan hutan mangrove di Balikpapan. Foto: Hendar

Pasar karbon yang berkembang saat ini adalah pasar karbon sukarela sebab belum ada kesepakatan internasional yang baru pasca berakhirnya Protokol Kyoto periode komitmen pertama tahun 2012 lalu. Dan telah disepakati melanjutkan Protokol Kyoto periode komitmen kedua kurun waktu 2013 – 2020.  Meskipun demikian, beberapa negara telah memiliki komitmen yang tinggi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.  Negara Costa Rica, misalnya, memasang target sebagai negara karbon netral pertama di dunia (the first carbon neutral country) pada tahun 2020.  Sementara Pemerintah Indonesia memasanag target untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dengan usaha sendiri dan mencapai 41 persen jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020.

Harapan Pada Jokowi-Jusuf Kalla

Dengan pernyataan resmi Presiden RI di forum resmi sekelas PBB terkait blue carbon, tentu muncul harapan besar agar hutan mangrove mendapat perhatian serius oleh pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla.  Kebijakan mantan Presiden SBY bisa saja tidak dilirik oleh Presiden Jokowi, namun sangat disayangkan jika konsep hebat blue carbon ditinggal begitu saja.  Ada beberapa alasan kenapa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla perlu melanjutkan program blue carbon yang sudah dicanangkan oleh mantan Presiden SBY.

Pertama, program blue carbon memiliki keterkaitan dengan konsep poros maritim yang diusung oleh pemerintahan baru ini.  Prosos maritim pada dasarnya membangun konektifitas ekonomi antar pulau-pulau di Indonesia, dari ujung barat Sumatra hingga ujung timur Papua.  Dengan membangun poros maritim diharapkan harga-harga yang ada di pulau Jawa tidak jauh berbeda dengan harga barang yang ada di Papua.

Namun perlu digarisbawahi bahwa konsep konektifitas ini tidak hanya dibutuhkan dalam konteks pembangunan ekonomi, tapi juga dalam konteks lingkungan yang disebut dengan konektifitas ekologi (ecological connectivity).  Sederhananya, kualitas ekosistem laut sangat ditentukan oleh kualitas ekosistem daratan.  Kita tidak bisa mengharapkan kualitas lingkungan laut yang baik jika kualitas lingkungan di darat dibiarkan mengalami kerusakan.  Dalam kaitan ini, ekosistem mangrove berada pada posisi sentral konektifitas antara ekosistem darat dan ekosistem laut.

Kedua, ekosistem mangrove memiliki keunikan dalam konteks mitigasi perubahan iklim dimana potensi terbesar kandungan karbon pada ekosistem mangrove justru terdapat pada sedimennya (below-gound), bukan pada pohonnya (above-ground).  Beberapa penelitian menunjukan simpanan karbon pada sedimen mangrove hampir mencapai 80 persen. Selain itu simpanan karbon mangrove lebih besar ketimbang hutan tropis per satuan luas, meskipun luasan hutan mangrove lebih sedikit dibandingkan hutan tropis.  Hitungan kasar yang dilakukan oleh pakar perubahan iklim menunjukan bahwa Indonesia bisa memperoleh hampir 1,5 miliar USD per tahun dari blue carbon hanya melalui pasar karbon sukarela.  Hal ini berarti bahwa terjadi konektifitas antara pembangunan ekonomi dan perlindungan ekologis.

Ketiga, kebijakan yang serius terhadap pengelolaan hutan mangrove akan mempererat hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia.  Hal ini bisa terjadi sebab beberapa hutan mangrove Indonesia merupakan tempat persinggahan burung-burung yang terbang dan bermigrasi sangat jauh dari berbagai negara.  Sebagai contoh, ekosistem mangrove di Pulau Dua, Serang, Banten, merupakan tempat persinggahan berbagai jenis burung dari Asia, Afrika, dan Australia.  Burung-burung ini datang ke Pulau Dua untuk bertelur, menetas, dan kemudian kembali ke nagara asalnya.  Dengan demikian, hutan mengrove memiliki peran dalam membangun diplomasi dan konektifitas antar negara.

Pada akhirnya semua harapan memang tersemat di pundak Presiden baru Jokowi-Jusuf Kalla.  A New Hope, seperti judul majalah Time.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,