, ,

Distribusi 9 Juta Hektar, Jangan Sampai Salah Sasaran

Pemerintahan Joko Widodo berencana meredistribusi lahan seluas sembilan juta hektar sebagai janji reforma agraria dalam Nawa Cita. Namun, tampaknya belum jelas sasaran warga yang bakal mendapatkan lahan-lahan itu. Berbagai kalangan masyarakat sipil dan pakar menyambut baik sekaligus mengingatkan, pemerintah berhati-hati dalam penyaluran lahan-lahan ini agar tak salah sasaran malah menjadi ‘alat’ baru penyusupan bagi pengusaha buat menguasai lahan.

Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, janji reforma agraria sebenarnya sudah digagas dua presiden, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi. “SBY baru tataran wacara. Jokowi, pada 27 Februari 2015 katakan hendak redistribusi tanah 9 juta hektar lahan seperti dalam Nawa Cita,” katanya dalam diskusi soal redistribusi lahan 9 juta hektar, di Jakarta, Rabu (1/4/15).

Dia mengatakan, distribusi lahan tanpa ada tindaklanjut memastikan tepat sasaran bisa menjadi tak berguna. Reforma agraria salah kaprah kala memberi atau distribusi lahan kepada orang yang salah atau pembagian tanah terlalu sedikit. “Kalau cuma distribusi tanah itu sebenarnya bukan land reform.”

Kala berbicara reforma agraria, katanya, capaian harus mampu mengurangi ketimpangan, bukan cuma kurangi kemiskinan. Untuk itu, kata Iwan, niat presiden mau meredistribusi lahan harus bisa dipastikan, berjalan dengan benar. Syaratnya, data akurat, didukung organisasi masyarakat sipil yang kuat dan komitmen politik. “Kalau gak didukung gerakan rakyat, maka hanya akan jadi sumber korupsi baru,” ujar dia.

Menurut dia, soal model distribusi lahan perlu menjadi perhatian pemerintah. Sebab, kondisi di lapangan begitu komplek. Yang memerlukan lahan petani di berbagai daerah, terutama di Jawa. Dia menyebutkan, ada beberapa model. Pertama, obyek (penerima) berada di sekitar lahan distribusi. “Ini lebih mudah, karena obyek dan subyek ada di lokasi sama.”

Kedua, mendekatkan subyek ke obyek (lahan) yang tersedia. “Ini sudah pernah dijalankan lewat transmigrasi dan cenderung gagal, banyak menciptakan banyak masalah.”

Ketiga, mendekatkan obyek ke subyek.  Model ini, katanya, dari daerah surplus tanah (tidak padat penduduk)  didekatkan ke minus tanah, padat penduduk dan dekat penerima manfaat. “Misal, di Jawa, banyak petani yang memerlukan lahan, perusahaan (BUMN) yang pindah, lahan didistribusi kepada warga. Ini kan lebih mudah, daripada memindahkan warga.”

Gunawan Wiradi, Pakar Agraria, mengatakan, program redistribusi 9 juta hektar merupakan niat bagus. “Saya percaya, niat bagus. Begitu juga niat rumuskan Nawa Cita. Tetapi, ada keliru kalau redistribusi 9 juta hektar itu diklaim sebagai reforma agraria. Keliru. Kenapa? Distrbusi dan redistribusi dalam konteks reforma agraria itu hanya statistik,” katanya.

Menurut dia, distribusi dan redistribusi lahan itu hanya sebaran. “Kalau cuma 9 juta hektar dibagi, lalu investor yang kuasai jutaan hektar gak diapa-apain, bukan land reform itu.”

Bapak yang mengenalkan istilah reforma agraria pada 1984 ini menghargai niat pemerintah memberikan akses dan kesempatan rakyat tetapi jangan diklaim sebagai reforma agraria.

“Bukan reforma agraria, karena tanah di Kalimantan mau diberikan warga di Jawa. Reforma itu obyek dan subyek di wilayah sama. Di berbagai negara. Bukan tanah di sana, mau dikasih dari sini.”

Bisa juga, katanya, reforma agraria lewat distribusi lahan diintegrasikan dengan program reseatlement. “Tapi jangan lupa, program reform 60-an itu diintegrasikan dengan transmigrasi, banyak bermasalah.”

Reforma agraria, katanya, bertujuan mengubah struktur secara keseluruhan, bukan hanya kala ada tanah lebih. Reforma sejati, katanya, obyek reform itu surplus land, misal tanah didapat dari pemotongan tanah luas dari pemilik.

Dwi Astuti, Direktur Bina Desa, juga menanggapi. Dia ingin berpikir positif kalau redistribusi lahan ini bagian reforma agraria. Namun, dia bertanya-tanya karena banyak yang belum jelas. “Kok konsep beluma ada ya? Bagaimana sih obyek dan subyeknya? Apakah subyek itu landless? Kalau kriteria subyek land reform tak jelas, malah didistribusikan ke perkebunan, bukan malah ke petani.”

Dia juga menyoroti soal lahan distribusi di kawasan hutan, terutama kondisi lahan. Dia khawatir, karena kawasan hutan saat ini banyak sawit. Jadi, kalau distribusi kepada warga berdekatan dengan perkebunan sawit khawatir lahan tak produktif.

Masyarakat adat di Halmahera meblokade jalan yang dibuat perusahaan di lahan adat. Akankah warga (petani) ini akan mendapatkan lahan hidup mereka lewat distribusi lahan? Foto: AMAN Maluku Utara

Selain itu, dia menilai, konflik lahan begitu tinggi belum teratasi lalu muncul rencana distribusi tanah. “Mengapa gak lahan konflik diatasi dulu, tapi tiba-tiba redistribusi? Gimana itu? Ada redistribusi lahan tanpa ada penanganan konflik. Mau pindahkan gitu saja. Itu bukan cara baik untuk tingkatkan kesejahteraan manusia.”

Dwi juga mengusulkan, pemerintahan Jokowi melakukan audit terlebih dahulu terhadap hak guna usaha atau konsesi-konsesi yang ada.  “Dengan audit tahu mana lahan konflik dan mana lahan clear. Audit itu mendesak agar yang teriak penyelesaian konflik bisa teratasi,” katanya.

Menurut dia, seharusnya, land reform, tak hanya mampu menghilangkan ketimpangan kelas. Hal penting kerab luput dari perhatian, kata Dwi, yakni, perempuan sebagai subjek land reform. “Bagaimana hilangkan ketimpangan dalam keluarga. Struktur kepemilikan tanah dalam rumah tangga, diregistrasi atas nama suami, akses dan kontrol tanah pada laki-laki.”

Pendekatan distribusi

Budiman Sudjatmiko, Komisi II DPR mengatakan, land reform sudah menjadi keharusan sebuah negara yang ingin daya beli dan kemampuan masyarakat desa kuat.

Belum lama ini, dia bertemu Jokowi. Kepada dia, Presiden berpesan, agar ikut mengawasi distribusi 9 juta hektar hingga implementasi di lapangan benar-benar diterima warga yang seharusnya.

Mengenai obyek sembilan juta hektar, katanya, bisa dari beberapa sumber. Lahan obyek distribusi,  sebenarnya sudah ada sejak 2012. Yakni, obyek inventarisasi tanah telantar, seluas 4.801.875 hektar, lebih 1.000 hak tanah antara lain dari HGU, HGN, sampai izin lokasi.

Lalu, inventarisasi skema kawasan hutan konversi. Ada perbedaan data antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta BPN. Data KLHK 2012, luas hutan produksi konversi 17, 94 juta hektar sedang BPN 20.030.589 hektar. Dari luas itu, potensi tanah obyek reforma agraria 8.149.941 hektar di 17 provinsi, 104 kabupaten, serta 629 lokasi. “Dari sebaran itu, sembilan juta hektar bukan angka yang sulit dicapai.”

Jadi, katanya, dalam redistribusi lahan, kata Bambang, yang dipakai menggunakan tiga pendekatan. Pertama, pendekatan tanah terlantar lewat PP No 11 Tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Memang, katanya, ruang lingkup baru perkebunan swasta, dan masih mengecualikan aset negara termasuk perkebunan negara.

Kedua, tanah di kawasan hutan. Lewat peraturan bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Uumum, Kepala BPN yang terbit Oktober 2014 soal tata cara penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan. “Ini kehutanan termasuk hutan adat dan hutan Jawa.”

Ketiga, pendekatan penyelesaian konflik. Caranya, kata Bambang, ada peraturan Kepala BPN pada 2011 soal pengelolaan pengkajian dan penanganan kasus pertanahan.

Dengan tak menggunakan klasifikasi berdasar subyek dan sejarah perundang- undangan sektoral.

Menurut dia, kesulitan biasa dihadapi kala birokrasi memandang reforma agraria hanya sebagai kebijakan. “Padahal bicara reforma agraria itu bicara gerakan.”

Untuk itu, katanya, terpenting harus pengetatan di bawah. Jangan sampai, hanya pemberitaan land reform padahal buat menyelundupkan land reform kepada perkebunan-perkebunan besar. Jadi, kata Budiman, gerakan sosial harus terlibat guna mengamankan land reform dari ‘penyelundup-penyelundup’ ini.

Sumber: KPA
Sumber: Usulan penerima versi KPA
Inilah aksi para petani penggarab, petani yang terancam kehilangan lahan dan buruh tani di Jakarta mendesak land reform dan penghentian perampasan lahan-lahan pertanian. Apakah mereka bakal menerima redistribusi lahan?
Inilah aksi para petani penggarab, petani yang terancam kehilangan lahan dan buruh tani di Jakarta mendesak land reform dan penghentian perampasan lahan-lahan pertanian. Apakah mereka bakal menerima redistribusi lahan?
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,