,

Peradaban Bukit Barisan Pasemah dan Sriwijaya yang Ajarkan Ekosentris. Seperti Apakah?

Jika beranjak dari berbagai bukti sejarah yang ada di Sumatera Selatan, yang melahirkan Peradaban Bukit Barisan Pasemah, Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Palembang, maka hubungan manusia dengan alam berlangsung dalam paradigma ekosentris. Yang artinya tidak ada perbedaan antara manusia dengan hewan, tumbuhan, dan semua makhluk hidup lainnya. Semua perilaku manusia harus selaras dengan alam.

“Ini berbeda sekali dengan kebudayaan yang berkembang di Yunani yang sangat egosentris dan geosentris, yang meletakan manusia sebagai pusat dari alam, yang lebih sempurna dari makhluk lainnya. Kemudian meletakkan bumi sebagai pusat alam semesta,” kata Budayawan Taufik Rahzen, dalam sebuah perbincangan di Palembang, beberapa waktu lalu.

Bukti yang menunjukkan paradigma ekosentris tersebut, kata Rahzen, selain Prasasti Talang Tuo, juga berbagai artefak megalitikum dari Peradaban Pasemah Bukit Barisan.

“Banyak patung megalitik yang menggambarkan manusia memangku hewan, seperti gajah, harimau, dan lainnya. Ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara manusia dengan hewan. Sebuah keselarasan,” katanya.

Ini berbeda dengan patung yang ditemukan dalam kebudayaan Yunani, manusia digambarkan sangat sempurna, seperti manusia yang gagah, cantik, dan ini pula yang memengaruhi perkembangan agama di Eropa yang banyak dipengaruhi kebudayaan Yunani.

Selanjutnya, kata Rahzen, perlakuan masyarakat terhadap alam juga sangat arif. Buktinya meskipun mereka menetap di sekitar hutan tropis, yang banyak beragam pohon dan hewan di hutan, mereka sangat arif memanfaatkannya. “Mereka sangat perhitungan. Misalnya, rumah dibangun diperuntukkan keluarga besar. Tidak semua orang bebas membangun rumah. Harus ada alasan yang tepat. Mereka pun jarang sekali membangun rumah dengan halaman tanpa pohon, yang hanya ditumbuhi rumput,” katanya.

“Selanjutnya mereka pun menetapkan hutan adat, yang tidak boleh dirusak,” katanya.

Hubungan harmonis  antara manusia dengan alam ini, yang kemudian tetap dipertahankan dalam Kitab Simbur Cahaya yang berlaku di Sumatera Selatan pada masa Kerajaan Palembang. Kitab yang diyakini memadukan ajaran Islam dengan hukum adat ini, yang sangat peduli dengan alam.

Dengan kerusakan bumi hari ini, kata Rahzen, paradigma ekosentris yang tampaknya mampu memperbaikinya. Hubungan harmonis antara manusia dengan alam membuat bumi terjaga.

“Di Indonesia, kesadaran ekosentris sebagian masih terjaga di masyarakat adatnya, termasuk pula di berbagai suku bangsa lainnya di dunia,” kata Rahzen.

Arca manusia memeluk gajah di halaman Sekolah SMPN 2 Merapi Barat, Lahat, sebagai simbol keharmonisan hidup manusia dengan satwa, terutama gajah. Foto: Rahmadi Rahmad

Tradisi mandi belimau sambut tuah

Salah satu tradisi di masyarakat Sumatera Selatan, khususnya di Palembang, yang menunjukan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dalam tuntutan Tuhan, yakni tradisi “Mandi Belimau Sambut Tuah”.

Tradisi ini pada dasarnya berupa pemandian tubuh manusia dengan air dari berbagai sumber, bersama beragam jenis bunga, daun, serta mengonsumsi air kelapa muda dan sirih. Tak lupa dibacakan sejumlah ayat suci dan beberapa doa.Tradisi ini biasanya berlangsung pada pertengahan bulan sya’ban setiap tahun.

“Tradisi tersebut yakni mensucikan jiwa dan raga manusia, dari gangguan makhluk lainnya atau alam, juga upaya manusia membersihkan dirinya atas kesalahan terhadap makhluk lain dan alam. Semua itu dijalankan dengan permohonan kepada Tuhan, sebagai pencipta bumi dan seluruh makhluk hidupnya,” kata Husni Thamrin, Budayawan Palembang.

Pengikisan

Paradigma ekosentris yang disebarkan Peradaban Bukit Barisan Pasemah, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Palembang, harus diakui pada hari ini mengalami pengikisan. Manusia bukan lagi sejajar dengan alam, tapi manusia sebagai pusatnya, sehingga manusia cenderung melakukan penundukan terhadap alam.

“Kesadaran egosentris ini muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan yang masuk ke Indonesia, khususnya ke Sumatera Selatan, dari Eropa,” kata Dr. Tarech Rasyid dari Universitas Ida Bajumi (IBA) Palembang.

Ilmu pengetahuan yang didasarkan egosentris ini memengaruhi kebijakan ekonomi maupun politik yang berlangsung dalam pemerintahan Indonesia hari ini. “Tidak heran jika berbagai kebijakan pembangunan pada akhirnya merupakan penaklukkan manusia terhadap alam,” ujarnya.

Bagaimana memperbaikinya?

Tarech tetap berpegang pada Pancasila. “Pancasila benar-benar dibaca dan dimaknai sebenarnya. Sebab Pancasila itu mengajarkan keseimbangan manusia dengan alam dalam tuntutan perintah Tuhan. Tuhan dalam berbagai ajaran agama apa pun sangat melarang manusia merusak bumi dan tidak adil,” kata Tarech.

Tujuan Pancasila itu yakni menciptakan manusia sejahtera dengan alam terjaga, karena hidup berdasarkan tuntunan perintah Tuhan. “Pancasila ini sebenarnya bukan hanya berlaku bagi bangsa Indonesia, juga bangsa-bangsa di dunia,” ujarnya.

Model kapal Kerajaan Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terukir di Candi Borobudur. Sumber: Wikipedia
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,