,

Teknologi Modifikasi Cuaca, Cara Kalbar Antisipasi Kebakaran dan Kekeringan

Pemerintah Kalimantan Barat (Kalbar) membentuk Pos Komando Siaga Darurat terhadap kebakaran hutan dan lahan sebagaimana yang telah dilakukan di Riau dan Sumatera Selatan. Pembentukan posko yang berlangsung hingga September di Lapangan Udara Supadio Pontianak ini sekaligus mengawali kegiatan operasi teknologi modifikasi cuaca (TCM).

“TNI AU menyiapkan pesawat Cassa 212-200 untuk kegiatan modifikasi cuaca. Kalau masih diperlukan, akan ada Hercules dan CN 295. Musim kering di Kalimantan Barat diprediksi akan berlangsung pada Agustus, September dan Oktober. Puncaknya, September,” tukas Komandan Pangkalan Udara Supadio Marsekal Pertama TNI Tatang Harliansyah, Selasa (11/8/15).

TTA Nyarong, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalbar mengatakan, dari pengalaman tahun lalu, titik panas di Kalimantan Barat mulai banyak pada Agustus. Sebelum musim kering berlangsung lebih lama, modifikasi cuaca perlu dilakukan. “Sejak awal Juli, Kalbar sudah terjadi anomali kering, yang mengakibatkan curah hujan sangat minim. Kekeringan terjadi akibat fenomena El Nino, yang berdampak pada berkurangnya curah hujan disebagian besar wilayah Indonesia.”

Operasi teknologi modifikasi cuaca ini merupakan kerja sama BPBD Kalbar dengan Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Modifikasi cuaca diharapkan dapat menurunkan titik panas di Kalimantan Barat yang terdeteksi sepanjang 9 Agustus 2015 sekitar 616 titik panas.

“Yang dilakukan posko utama adalah melihat bagaimana kondisi cuaca dan potensi awan guna membuat strategi penyemaian. Akan diusahakan per kabupaten/kota,” ujar Kepala Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan, F. Heru Widodo.

Heru menjelaskan, potensi hujan alamiah tetap ada, namun curahnya relatif kecil. “Sekitar 5 mm, kalau ditambah garam akan lebih lebat. Kondisi normal, setelah penggaraman bisa turun hujan beberapa menit kemudian.”

Penyemaian awan tersebut, kata Heru, akan dilakukan di atas Kota Pontianak pada hari pertama operasi. Jika memungkinkan, setelah penyemaian dalam hitungan menit bisa langsung turun hujan. Ke depannya, tim operasi akan mencari awan di atas kabupaten/kota di Kalimantan Barat, terutama yang paling banyak terdapat titik panas akibat kebakaran hutan dan lahan.

Menurut Heru, TMC dilakukan dengan meniru proses alamiah yang terjadi di awan. Prosesnya, sejumlah partikel higroskopik yang dibawa pesawat ditambahkan langsung ke awan jenis Cumulus humilis. “Kita terbang di punggung awan, kemudian dengan jarak tertentu kita taburi garam. Awan punya daya hisap sehingga garam yang berbentur powder terserap masuk dan mengefektifkan proses pengumpulan air di awan.”

Untuk membantu pengamatan cuaca dan kondisi awan di wilayah target, telah ditempatkan personel di dua lokasi Pos Pengamatan Meteorologi (Posmet), yakni di Sekadau dan Teraju. Hasil pengamatan cuaca dan potensi awan akan dilaporkan setiap saat oleh petugas kepada tim pelaksana di posko. “Selanjutnya dianalisis dan dijadikan sebagai masukan guna menentukan strategis pelaksanaan penyemaian awan setiap harinya,” jelas Heru.

Secara regulasi, peran TMC untuk mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan telah tertuang dalam Instruksi Presiden RI No 16 tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Dalam inpres ini, Presiden memberikan instruksi kepada Kementerian Riset dan Teknologi untuk melakukan koordinasi dalam pemberian bantuan penanganan kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan teknologi pembuatan hujan buatan.

Sumsel tanpa asap?

Sementara di Sumatera Selatan (Sumsel), hingga pekan pertama Agustus terutama di Palembang, terbebas dari kabut asap. “Sampai saat ini kondisi masih teratasi. Sebuah prestasi bagi kita, sebab hingga Agustus tidak ada kabut asap, apalagi saat ada El Nino,” kata Achmad Taufik, kepala Unit Pelaksana Teknis Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, Selasa (11/8/15).

Selain itu, bila dua bulan sebelumnya Kabupaten Musi Banyuasin banyak ditemukan titik kebakaran, termasuk di wilayah hutan desa Muara Merang, saat ini nol. “Hingga hari ini tidak ada kebakaran lagi di Muba. Tapi kita terus bersiaga. Tim dari Pemerintah Muba maupun dari provinsi bersama masyarakat dan tim pemadam api dari perusahaan, terus siaga di lokasi,” jelas Taufik.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan Hadi Jatimo, menilai tidak adanya bencana kabut asap pada Agustus 2015 bukan berarti sumatera Selatan telah terbebas bencana.

“Buktinya pada Juli 2014 lalu ada 200-300 titik api. Tahun ini, telah mencapai 600-an. Ini membuktikan jika pembakaran lahan gambut tetap terjadi di bawah. Ini membuktikan belum ada perubahan perilaku terhadap pengolahan lahan gambut,” papar Hadi.

Terkait kemampuan Sumsel mengatasi kebakaran hingga tidak menyebabkan bencana kabut asap, memang harus diakui. “Tapi biayanya terlalu besar, apalagi menggunakan dana rakyat yang diambil dari pajak. Itu terlalu mahal.”

Yang benar, upaya penegakan hukum terhadap para pelaku pembakaran dilakukan, sehingga titik api benar-benar zero. “Dengan begitu, tidak ada lagi yang akan membakar hutan dan lahan gambut,” jelas Hadi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,