, ,

Nazir Foead Kepalai Badan Restorasi Gambut

Presiden Joko Widodo, Rabu (13/1/16), akhirnya mengumumkan Nazir Foead, aktivis lingkungan, sebagai Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG). Rencana pembentukan badan ini dibahas sejak Oktober 2015, bahkan sempat diungkapkan Jokowi, kala pidato di pertemuan para pihak (Conference of Parties/COP) 21, Paris, 30 November tahun lalu.

Sebelum menjadi kepala BRG ini, Nazir sebagai koordinator inisiatif Indonesia di Climate and Land Use Alliance. Dia juga pernah menjadi Direktur Konservasi WWF.

Lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan master biologi konservasi dari University of Kent di Inggris ini sejak akhir 1980-an mendedikasikan sebagian besar waktu mengurus soal penggerak terjadinya konversi hutan tropis Indonesia, dari soal kebijakan, sampai alih fungsi lahan ke sawit, sampai pulp and paper.

Badan pimpinan Nazir, yang langsung di bawah Presiden seperti tercantum dalam Perpres Nomor 1 tahun 2016, tertanggal 6 Januari lalu ini akan fokus memulihkan ekosistem gambut di tujuh wilayah. Yakni, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kaimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.

“Ada beberapa aspek akan kami kerjakan, seperti review sekaligus harmonisasi kebijakan pengelolaan gambut, sosialisasi pada masyarakat, tindakan preventif, pemetaan kesatuan hidrologis gambut, pemulihan dan lain-lain,” katanya saat dihubungi Mongabay.

Wilayah yang akan jadi prioritas pilot project dalam waktu dekat, katanya, Pulang Pisau, Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin dan Meranti. “Target yang diberikan Presiden pada BRG untuk memulihkan ekosistem gambut di tujuh wilayah itu sampai 31 Desember 2020,” katanya.

Tugas utama BRG adalah memulihkan ekosistem gambut. Upaya badan ini, katanya, membasahi kembali lahan gambut kering dan rusak.“Sekarang masih dihitung berapa luasan gambut yang akan direstorasi. Ada juga pemetaan oleh KLHK. Kita harus tahu dulu sebarapa parah gambut di wilayah yang akan direstorasi, berapa kedalaman dan lain-lain.”

Badan ini, akan diisi orang-orang dari berbagai kalangan. Mulai aktivis, akademisi, ahli gambut, masyarakat adat, dan birokrat pegawai negeri sipil yang memiliki banyak pengalaman.

Dalam beberapa proyek restorasi banyak mandeg karena tak ada keterlibatan masyarakat sekitar. Untuk itu, kata Nazir, konsep BRG akan melibatkan masyarakat sekitar.

“Masyarakat sekitar jadi subyek yang dikedepankan. Selain sosialisasi, kita juga merancang agar lahan gambut bisa ditanami tanaman ramah lingkungan, seperti sagu. Nanti masyarakat bisa menanam juga hak memanen.”

Dengan pelibatan warga, diharapkan ada rasa memiliki mereka dalam pemulihan ekosistem gambut ini. Hingga berperan beraama-sama menjaga gambut.

Dalam operasional BRG, tak menutup kemungkinan bekerjasama dengan perusahaan sekitar. “Berusaha mengajak perusahaan agar perekonomian tak terganggu, namun juga tak merusak ekosistem gambut.”

Mengenai pendanaan, BRG akan memakai APBN dan bantuan sumber lain seperti donor negara sahabat, antara lain Norwegia.

“Dana dari donor dengan konsep simbosis mutualisme akan kita terima terbuka. Nanti kita kelola. Ada auditor publik memeriksa. Transparan.”

Kebakaran lahan gambut. Foto: Zamzami

Penting pelibatan masyarakat

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Teguh Surya mengapresiasi penunjukan Nazir Foead sebagai kepala BRG. “Ini kabar baik. Sosok Nazir sebagai aktivis lingkungan hidup, lama berkecimpung di WWF Indonesia,” katanya.

Teguh mengingatkan, keberhasilan restorasi gambut tak bisa terlepas dari pelibatan utuh masyarakat terutama di dalam dan sekitar gambut. Mereka dianggap sebagai benteng terakhir perlindungan gambut.

Selain itu, keterbukaan data dan informasi penting. “Karena pelibatan masyarakat dan LSM tanpa keterbukaan data is nothing, hanya akan menjadi pencitraan. Ini tantangan bagi bang Nazir dalam menyukseskam agenda restorasi,” ujar dia.

Dengan keterbatasan kewenangan BRG, katanya, kementerian dan lembaga terkait perlu bekerjasama dan tak boleh ada resistance seperti yang terjadi pada UKP4 dan BP REDD+, sebelum kedua lembaga itu dibubarkan.

“Disini perlu leadership Jokowi, tugas baru dimulai. Jadi jangan lepas tangan, justru harus tune in memastikan agenda berjalan baik karena kegagalan agenda restorasi gambut memiliki implikasi serius terkait memburuknya kebakaran hutan dan lahan.”

Badan ini perlu dukungan regulasi kuat untuk mampu mencapai target. Untuk itu, harmonisasi dan revisi kebijakan terkait hutan dan gambut perlu segera dilakukan. Sekaligus mencabut regulasi berpotensi menghilangkan urgensi proteksi gambut.
“Isu gambut itu lintas sektor. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sudah barang tentu jadi alasan untuk menghambat agenda BRG. Presiden perlu segera mengambil langkah peninjauan rencana pembangunan dengan mengintegrasikan perlindungan hutan dan gambut. Juga memulai penyusunan roadmap Indonesia menuju nol deforestasi.”

M.R. Karliansyah, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan berharap BRG segera berjalan merestorasi lahan gambut rusak akibat kebakaran lalu. “Dengan pengalaman selama di WWF dan jaringan yang luas, kita berharap Pak Nazir bisa membawa BRG mencapai tujuan.”

Sebelum itu, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, operasional badan itu, tinggal diharmonisasi dengan revisi PP soal gambut. BRG, katanya, bisa melengkapi kebijakan mengenai gambut.

Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono mengatakan saat ini revisi PP gambut yang sudah diselaraskan dengan BRG sudah berada di Kementerian Hukum dan HAM.

“Revisi hanya memasukkan, bahwa kerusakan lingkungan salah satu akibat kebakaran. Juga di pengendalian kebakaran hanya ada pencegahan, penangggulangan sama pemulihan, dtambahkan pasal khusus restorasi. Itulah yang mendasari dibentuknya restorasi gambut.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,