, ,

Danto Sisir Tanah, Sebarkan Pesan Menjaga Alam Lewat Lagu

Jika bumi adalah Ibu, kita manusia memperkosa Ibunya. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik. Ada tak ada manusia mestinya, pohon-pohon itu tetap tumbuh. Ada tak ada manusia mestinya terumbu karang itu tetap utuh.”

Itulah kutipan lirik lagu Sisir Tanah berjudul Bebal. Ia membawa pesan kepada manusia untuk menjaga alam. Lagu ini diciptakan Bagus Dwi Danto. Pria kelahiran Semarang 28 Oktober 1978 ini masa kecil sampai remaja di beberapa daerah dari Semarang, Purwokerto, Banjarnegara dan Purworejo.

Pada 1999, kuliah di Yogyakarta. Kala itu, dia melihat Jogja masih ramah, lingkungan dan budaya terjaga, Sepuluh tahun kemudian, Jogja makin ‘sesak’ ditumbuhi gedung dengan mengabaikan kebudayaan masyarakat dan alam.

Saya berbincang lebih dalam tentang pilihan Danto bermusik dan membawa pesan untuk manusia dan alam. Berikut petikan wawancaranya:

Kapan Sisir Tanah lahir? Mengapa memberi nama Sisir Tanah?

Mulai bermusik lewat nama Sisir Tanah sejak 2010. Sebelumnya hanya menuliskan lirik-lirik lagu melalui puisi. Akhirnya memutuskan mengambil peran lewat musik dengan membawa pesan baik untuk manusia dan kompleksitas di sekitarnya, mulai dari sosial, budaya dan alam. Aliran musik, ada menyebut folk¸ada juga bilang musikalisasi puisi. Mengalir saja. Apapun sebutan, lebih penting pesan.

Sisir Tanah lahir dari nama alat tradisional untuk pertanian “Garu.” Idenya muncul dari istriku, Ida. Aku sebut Sisir Tanah, agar mudah dicerna dan diingat. Sisir Tanah dekat dengan kultur masyarakat yang agraris, sekaligus simbol mengajak masyarakat menanam sesuatu. Aku pikir musik bisa menanam kebaikan, menyebarkan informasi kondisi masyarakat dan alam.

Sisir Tanah, alat bermanfaat untuk mengawali sesuatu, seperti dari keras menjadi bongkahan, kita tanam sesuatu untuk kehidupan baru. Begitu juga musikku, ingin membawa pesan dan mengajak orang menjaga kehidupan tetap baik.

Lagu Sisir Tanah banyak bicara soal sosial masyarakat, budaya dan lingkungan. Mengapa?

Sebenarnya ingin menyampaikan tentang manusia dan persoalan yang menyertai. Mulai sosial, budaya dan alam. Ketika membuat lirik lagu, aku selalu ingat tujuan lagu yang akan dibawakan, setiap lagu ingin membawa pesan baik atau kritik sosial yang sangat mendasar dari kehidupan.

Aku sambil belajar dan mencari tahu, terjadi banyak kebijakan negara merugikan masyarakat dan merusak lingkungan. Ada ketidakbenaran dan keadilan. Padahal, sebagai manusia kita ada di kandang sama yakni bumi. Sudah sepantasnya menjaga, merawat dan melawan kebijakan merusak. Dari situlah , aku mengambil peran mengajak orang lewat lagu dan bermusik.

Pesan-pesan lagu diambil dari hal dasar keseharian manusia. Seperti lirik “kita akan selalu butuh air, tanah dan udara, dimana kita harus merawat. Jika kau masih cinta kawan dan saudara, maka tetap saling melindungi.”

Banyak orang menangkap lirik lagu itu luar biasa. Padahal itu mendasar sekali. Aku merasa orang-orang tidak sadar, itu bukan karena aku kritis, pesan sudah seharusnya dilakukan manusia untuk menjaga, menanam dan merawat alam.

Para perempuan bergantian menjaga tenda perjuangan yang sudah berjalan lebih dari satu tahun. Panas, dingin dan debu serta intimidasi tak membuat perempuan-perempuan ini gentar. Foto: Tommy Apriando

Bagaimana anda melihat kebijakan pemerintah soal lingkungan?

Aku melihat yang seperti itu tidak jernih melihat persoalan, bisa dipengaruhi uang, ancaman dan faktor lain. Pemerintah jelas tidak peduli dengan lingkungan padahal hidup tak bisa terpisahkan dari lingkungan. Ketika kebijakan pro perusak alam, mereka menjadi bagian dari masalah.

Kita bisa melihat contoh, ibu-ibu di Rembang di tenda hingga hari ini. Ini terjadi karena kebijakan salah dan merusak. Jika manusia bisa memanusiakan manusia, tidak akan pernah ada kerusakan alam dan kesengsaraan masyarakat. Seperti dalam lirik lagu hidup, “sakitmu adalah sakitku, bahagaimu adalah bahagiaku.” Jika orang berpikir demikian, mereka tahu mana yang dibela dan dilawan. Mereka akan tahu kebijakan yang diambil baik atau buruk.

Petani di Kulonprogo, Rembang, Pati dan daerah lain dengan pertanian makin terancam hilang atas nama pembangunan. Apa pendapat anda?

Menurutku, hilangnya kehidupan masyarakat petani seperti masyarakat tercabut dari akarnya. Ibaratnya, binatang tidak mau dipindahkan paksa, apalagi manusia. Binatang tahu bagaimana bertahan, hidup apalagi manusia. Jadi tak perlu pembangunan merusak atau menggusur. Pengambil kebijakan, seharusnya membuat kebijakan pro masyarakat khusus petani.

Kebijakan dibuat perlu melibatkan warga. Ini sering terlewati, hingga muncul konflik di masyarakat. Dalam pembangunan, perlu analisis tepat. Amdal harus buat dan jujur, tidak berdasarkan titipan investor.

Khusus Jogja, bagaimana anda melihat kondisi sosial masyarakat, kebudayaan dan lingkungan saat ini?

Jogja kini berbeda dengan 1999 kala aku datang. Lagi-lagi keserakahan manusia menjadi penyebab. Pemodal masuk membabi buta, didukung orang-orang punya kekuasaan. Perlahan perubahan terjadi. Kita tak butuh hotel dan bangunan mewah. Dibutuhkan manusia itu air besih, udara, tanah. Investor membangun untuk kepentingan ekonomi, segelintir orang dan meminggirkan kepentingan masyarakat luas. Itu harus dilawan demi mengaja alam Jogja.

Anda selektif memilih event bermain ketika diundang, salah satu tidak mau jika acara disponsori perusahaan perusak alam. Mengapa?

Aku tidak mau pesan-pesan jadi hanya sekadar jualan. Untuk mengindari itu, selektif memilih event dan melihat siapa yang mensponsori. Aku pilih bermusik, tak untuk mengejar materi, tetapi menyampaikan pesan baik. Ingin mengembalikan tujuan lebih tulus dari bermusik. Juga agar konsisten perkataan dan tindakan. Dengan karya, pesan lagu dan sikap. Jadi tidak bertentangan.

Penampilan Danto Sisir Tanah di pembukaan pameran Art For Orangutan. Foto: Tommy Apriando
Penampilan Danto Sisir Tanah di pembukaan pameran Art For Orangutan. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,