Kala Warga Cawang Gumilir Terusir Perusahaan HTI

 

”Kami hidup rukun, berladang disana, ada juga bantuan dari pemerintah sekian tahun. Jagung, padi, singkong, karet,” kata Suharni, warga Dusun Cawang Gumilir, Desa Bumi Makmur, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Suharni mengenang kala desa mereka belum tergusur.

Adalah PT. Musi Hutan Persada, Marubeni Group. Perusahaan hutan tanaman industri yang beroperasi sejak 2008 ini mengklain Dusun Cawang Gumilir, masuk konsesi mereka. Penggusuran demi penggusuran terjadi. Ratusan hektar karet dan tanaman rakyat rusak oleh perusahaan.

Bahkan, pada 2015, kala Walhi bersama petugas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), datang hendak menyelesaikan konflik malah dianiaya orang perusahaan.

Puncaknya, pada 17 Maret 2016,  terjadi penggusuran kedua kali. Pada 29 Maret, rumah mereka rata oleh alat berat perusahaan. Sambil menangis dan tertatih, Suharni dan beberapa warga lain mengambil sisa-sisa bangunan untuk bikin pondok sementara.

”Itu hanya tiga hari, dan terpaksa harus meninggalkan dusun kami,” katanya, terbata-bata.

Masyarakat tak lagi bisa bertahan hidup. Lahan padi, jagung, singkong habis, tak bisa panen.

Baca juga: Tengahi Konflik Lahan PT MHP dengan Masyarakat, Tim KLHK dan Walhi Sumsel Malah Dianiaya

Penderitaan makin menjadi-jadi saat masyarakat berduyun-duyun harus mengungsi ke desa induk berjarak sekitar 13 kilometer.

Posko dari balai desa pun dihuni 151 keluarga. Masyarakat masih dibayangi ketakutan MHP. Terlebih, belum ada respon dari pemerintah daerah.

Warga tak punya pekerjaan, anak-anak tak bersekolah karena sekolah turut digusur. Satu sama lain terus menguatkan dan memiliki tekad menduduki kembali dusun itu.

”Kami patungan untuk berjuang, masing-masing Rp10.000 untuk pergi ke Palembang, lapor,” katanya.

Lagi-lagi belum ada hasil. Tak ada satupun lembaga negara hadir membantu derita warga ini.

Bersyukur, ada warga lain membantu mereka tinggal di rumah-rumah kosong.”Kami diberikan pekerjaan menyadap karet untuk tetap makan.”

Ada juga menjadi buruh kebun singkong di dusun tetangga dengan pendapatan Rp170.000 per lima hari.

“Itu tak cukup bagi kami, ada yang sakit tak mampu berobat,” katanya.

Aksi diam masyarakat Dusun Cawang Gumilir, Desa Bumi Makmur, Sumatera Selatan, atas penggusuran pemukiman dan ladang masyarakat. Kini mereka tertatih untuk tetap bertahan hidup. Foto: Walhi
Aksi diam masyarakat Dusun Cawang Gumilir, Desa Bumi Makmur, Sumatera Selatan, atas penggusuran pemukiman dan ladang masyarakat. Kini mereka tertatih untuk tetap bertahan hidup. Foto: Walhi

Ngadu ke Komnas HAM

Hampir 200 hari warga hidup mengungsi,  tak ada kepastian. Pada 7 September 2016, didampingi Walhi dan TuK Indonesia, warga  mengadukan perusahaan dari Jepang ini kepada Komnas HAM.

Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko mengatakan, pemerintah tak serius menyelesaikan konflik. ”Dalam mengeluarkan izin, pemerintah sangat mudah, dalam menyelesaikan konflik lambat, terkesan tak utama,” katanya.

Rakyat dibiarkan berjuang sendiri hingga lelah. Pada Agustus lalu, mereka telah bertemu Dirjen Perhutanan Sosial KLHK, Hadi Daryanto,  dan pemerintah desa. Sayangnya, hingga kini tak ada perkembangan berarti.

Walhi mendesak, pemerintah pusat segera melakukan penanganan cepat, terutama pemenuhan hak dasar masyarakat.

Pengaduan dari perwakilan masyarakat dan Walhi diterima Komisioner Komnas HAM Sub Komisi Pemantauan dan Penyidikan, Siti Noor Laila dan Komisioner Sub Komisi Mediasi, Roichatul Aswidah.

Komnas HAM berjanji rakyat segera mendapatkan kembali hak mereka, terutama kembali ke duduk.

Duduk bersama

Sebelumnya, Menteri LHK, Siti Nurbaya mengatakan, dalam mengelola perhutanan sosial yang berbatasan dengan konsesi perusahaan perbaikan. Relasi baik antara warga dan perusahaan, dalam mengelola hutan menjadi kunci kesuksesan.

“Dunia usaha harus mengerti, hutan juga harus memberi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Perusahaan tak boleh menghalangi akses masyarakat mengelola hutan,” katanya, seraya mengatakan, pengelolaan, perlu pendampingan lembaga swadaya masyarakat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,