Lingkungan Di Tanah Pasundan Makin Rusak. Kenapa?

Ada istilah yang menyatakan bahwa bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.Ungkapan tersebut dituliskan oleh M.A.W Brouwer seorang psikolog sekaligus budayawan asal Belanda yang pernah menetap lama di Indonesia.

Sebagai seorang budayawan, Brower juga bisa dikatakan filusuf.Terbukti dengan karya – karya yang telah dia tulis sepanjang hidupnya (14 Mei 1923 –19 Agustus 1991) mengenai kondisi sosial dan lingkungan.

Tanah Pasundan atau lebih dikenal sebagai Tatar Sunda, memang kental akan kekayaan sejarah perdaban dan kebudayaan. Mulai dari sejarah kerajaan Sunda Tarumanegara, Kerajaan Galuh,Kerajaan Pakuan hingga Padjadjaran. Disamping itu, masyarakat juga akrab dengan kisah para raja – raja Sunda, misalnya Sri Baduga Maha Raja sampai Prabu Siliwangi yang tersohor seantero Parahyangan.

Dengan luas wilayah lebih dari 35.000 km2,terdiri dari dataran rendah di kawasan utara, bukit-bukit dengan sedikit pantai di kawasan selatan, serta dataran tinggi bergunung-gunung yang berada di kawasan tengah, membuat letak geografis Jawa Barat strategis dan beriklim tropis.

Menurut Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, Anang Sudarna, kini kondisi lahan dan hutan serta air di Pasundan sedang dalam tekanan oleh tingginya pertumbuhan penduduk yang melebihi angka 45 juta jiwa atau hampir 19 persen penduduk Indonesia.

Kondisi ini tentu berpengaruh terhadap lingkungan, karena membutuhkan ruang yang besar untuk berbagai kegiatan manusia, mulai dari pembangunan infratruktur, industri, perumahan, lapangan kerja sampai pemenuhan kebutuhan pangan dan air baku.

“Kedepan ada empat kebutuhan yang menunjang keberlanjutan kehidupan manusia. Mulai pangan, air, energi dan lingkunag hidup.Sebetulnya akar persoalannya ada di lingkungan hidup. Karena ketika kondisi lingkungan baik, maka tiga komponen tadi bisa terpenuhi dan menunjang keberlanjutan,” kata dia, ketika ditemui di kantor BPLHD Jalan Naripan, Kota Bandung Senin,(17/10/2016).

Memang betul, kata Anang, dalam realitanya persoalan lingkungan hidup sudah nyata di hadapan kita.Hal tersebut nampak dari kondisi pencemaran air, udara serta kondisi lahan kritis yang terjadi di berbagai daerah aliran sungai (DAS) di Jawa Barat.

Gambaran tersebut, terlihat dari perubahan tutupan lahan dan penurunan kualitas DAS. Ada sekitar 25 dari 41 DAS masuk dalam kategori kritis dan sangat kritis. Kualitas air di tujuh sungai besar dan tiga waduk, kini statusnya tercemar berat. Menurunnya muka air tanah telah terjadi di kota – kota besar dan kondisinya demikian mengkhawatirkan.

Dengan menggunakan parameter, terjadi penurunan kualitas udara terutama di kawasan perkotaan serta industri. Partikel, debu dan gas karbonmonoksida (CO) diatas baku mutu yang ditetapkan dan sudah menjadi gangguan atau bahkan ancaman bagi kesehatan masyarakat disekitarnya.

“Hal ini disebabkan dari kontribusi gas buangan, terutama kendaraan bermotor, industri dan penggunaan pupuk kimia yang berlebihan serta pengelolaan sampah yang kurang tepat,” papar Anang.

Petani sarapan pagi di saung dekat pertambangang gas di Desa Cidahu, Kecamatan Pagaden Barat, Kabupaten Subang, Jabar. Sebagian petani mengeluhkan sesak ketika menghirup udara yang tercampur bau gas. Foto : Dony Iqbal
Petani sarapan pagi di saung dekat pertambangang gas di Desa Cidahu, Kecamatan Pagaden Barat, Kabupaten Subang, Jabar. Sebagian petani mengeluhkan sesak ketika menghirup udara yang tercampur bau gas. Foto : Dony Iqbal

Dikatakan Anang, persoalan kerusakan ekosistem pesisir dan pantai juga terjadi di jawa Barat Selatan.Kondisi itu disebabkan oleh pengembangan tambak yang dilakukan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan serta praktek pertambangan pasir besi yang sangat buruk.

“Bahkan aktivitas penambangan pasir besi bukan saja mengakibatkan kerusakan lingkungan, tapi juga menyebabkan hilangnya sebagian wilayah (daratan) NKRI” ungkap Anang.

Menurutnya, dari hasil evaluasi ekonomi di Jawa Barat Selatan oleh BPLHD, menunjukan penambangan mendatangkan kerugian ketimbang keuntungannya bagi masyarakat sekitarnya. Keuntungan penambangan hanya bisa Rp1.7 T, sedangkan kerugian yang dihasilkan mencapai Rp8,6 T. Angka tersebut belum menghitung kerugian yang mengancam ekosistem pantai dan hilangnya daratan di bagian selatan.

Isu Strategis

Berdasakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jawa Barat tahun 2013 Sampai 2018, tentang isu lingkungan hidup strategis meliputi lahan, hutan dan air. Kebutuhan lahan terus berkembang untuk permukiman, kawasan industri dan lahan pertanian. Kebutuhan lahan seringkali menyebabkan terjadinya perubahan fungsi lahan dan fungsi lindung, bahkan fungsi konservasi menjadi fungsi budidaya.

“Jawa Barat telah menetapkan dalam RPJMD pada tahun 2018, pencapaian kawasan lindung sebanyak 45 persen. Kebijakan Ini menjadi tantangan yang besar, karena lahan dan hutan terus dalam tekanan,” katanya.

Dia menerangkan, hutan konservasi keberadaannya terus berkurang, akibat dari penggunaan lahan tidak sesuai dengan fungsinya.Seperti pertanian intensif di lereng yang curam menyebabkan peningkatan lahan kritis dan tingginya erosi di kawasan hulu.

Anang mencontohkan, kerusakan hutan dan lahan kritis di Cimanuk hulu, Kabupaten Garut mencapai 80 Persen dari keseluruhan kawasan seluas 114 ribu hektar. Kondisi itu pernah dilihat melaui citra satelit tahun 2015 dan lahan kritis dan sangat kritis disana mencapai 38 ribu hektar.

“Ada sekitar sembilan ribu kawasan hutan kritis dan sisanya memang merupakan lahan masyarakat.Konteks perambahan hutan tidak hanya pertanian saja sebetulnya, tetapi juga perkebunan dan pendirian kawasan pariwisata. Di Garut, ada sekitar enam perusahaan yang tidak memiliki ijin,” ungkapnya.

Petani sedang membajak sawah dengan latar gunung Cikuray,di Desa Ciateul, Tarogong Kidul, Kabupaten Garut. Membajak sawah menggunakan kerbau sudah jarang dipakai oleh petani karena kalah saing dengan traktor. Selain itu, penyusutan lahan pesawahan kian meningkat. Foto : Dony Iqbal
Petani sedang membajak sawah dengan latar gunung Cikuray,di Desa Ciateul, Tarogong Kidul, Kabupaten Garut. Membajak sawah menggunakan kerbau sudah jarang dipakai oleh petani karena kalah saing dengan traktor. Selain itu, penyusutan lahan pesawahan kian meningkat. Foto : Dony Iqbal

Anang menegaskan, untuk mengawasi dan melindungi kawasan hutan dari “teroris lingkungan” yang merusak dan merugikan itu.Dia mengusulkan perlu dibentuknya destasemen khusus yang memiliki tugas pokok dan fungsi khusus mengamankan kawasan hutan supaya adanya kontrol , sehingga bisa menjamin kelestarian.

Kondisi Hutan

Dilain tempat, Kepala Bidang Rehabilitasi Dinas Kehutanan wilayah Jawa Barat, Wiwin Winarsih mengatakan, berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No.195 tahun 2003, jumlah kawasan hutan seluas kurang lebih 816.603 hektar. Terdiri dari hutan konservasi 132.180, hutan lindung 291.306, hutan produksi terbatas 190.152 serta hutan produksi tetap 202.965.

Sedangkan menurut keputusan Gubernur tentang penetapan data dan peta lahan kritis di Jawa Barat tahun 2013.Luas lahan kritis berdasarkan kriteria kritis dan sangat kritis di Kabupaten/Kota dan wilayah DAS seluas 342.966 hektar serta di fungsi kawasan lindung 216.770 hektar.

Untuk melakukan proses rehabitasi hutan dan lahan kritis, kata Wiwin, itu kewenangannya diberikan kepada masing – masing intansi seperti hutan konservasi oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan hutan lindung serta produksi kepada Perhutani. Dinas Kehutanan, hanya melakukan rehabilitasi di luar kawasan hutan tersebut.

Mengacu pada Undang-undang No.24 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sambung dia, ada perubahan legalitas, semua Dinas Kehutanan yang ada di Kabupaten/Kota akan dipusatkan ke provinsi. Kemudian akan diubah menjadi unit pengelolaan hutan, sehingga untuk kebijakan rehabilatasi ada di provinsi, sedangkan untuk operasionalnya berada di Kabupaten/Kota.

“Dari Dinas Kehutan yang di daerah tersebut, Kami mengusulkan di bentuk menjadi 14 unit pengelolaan hutan, sekarang baru diterima Kementerian Dalam Negeri sembilan unit. Nah, Sembilan unit itu membawahi berapa Kabupaten/kota, itu masih dirancang dan belum ditetapkan. Mesti ada Peraturan Daerah kelembagaannya dulu, rencananya November akan mulai digodok dan Januari 2017 akan mulai proses selanjutnya yaitu rehabilitasi,” jelas Wiwin.

Perlu Ada Sinergi

Sementara itu, ahli hidrogeologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Lambok M. Hutasoit, melihat kondisi hutan berperan stategis dalam menjaga keseimbangan. Jika berbicara soal dampak bencana, misalnya banjir bandang, tidak terlepas dari sisi positif dan negatif.Dampak positifnya, yakni menyuburkan tanah di daerah sepanjang aliran DAS, karena banjir mengangkut material tanah yang subur dari hulu.

Lambok mengatakan, banjir bandang secara alamiah juga sering terjadi, bisa karena curah hujan tinggi sehingga air tidak bisa ditampung di lintasan sungai yang luas lintasannya tidak berubah. Contoh kasusnya di Garut, banjir bandang juga telah terjadi tahun 1920-an silam.

Dia menerangkan kondisi tanah di Jawa Barat, umunya merupakan tanah vulkanik yang mengalami proses pelapukan cukup tebal sehingga tegakan pohon sangat diperlukan. Di bagian tengah berjajar satu lintasan gunung api mulai gunung Salak, Gede Pangrango, Tangkuban Parahu, Malabar, Guntur, Cikuray, dan Papandayan yang disebut ring of fire.

Deretan gunung api tadi seharusnya jangan digunduli pohon – pohonnya, karena menyimpan cadangan air yang melimpah disamping unsur kesuburan tanahnya juga tinggi. Bencana banjir bandang rentan terjadi, sehingga mitigasi awalnya bisa dilakukan sederhana yaitu menjaga kawasan hulu serta tidak mengganggu DAS.

“Sebetulnya, jika dilihat dari atas kondisi hutan di Jabar ini sudah rusak. Tapi kalau di darat tampak lebat, namun itu hanya pinggiran di tengahnya itu sudah memprihatinkan. Wajar bila banjir sering terjadi akhir – akhir ini, masalahnya bukan soal pembangunan tetapi aspek ekologisnya sering tidak diperhatikan,” kata Lambok, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) periode 2011 – 2014.

Dikatakan Lambok, dalam ekosistem hutan terdapat sistem hidrologi dan biosfer. Pengaruhnya besar sekali, hutan secara umum juga berfungsi ekologis, ekonomis dan soasial. Maka, keberadaan hutan seharusnya disikapi lebih arif demi keseimbangan dan keberlanjutan hidup.  Kasus deforestasi dan perambahan hutan hendaknya dihentikan secara sinergi antara pemerintah dan masyarakat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,