Kala Gambut Rantau Bais Masih Membara

Pemerintah Riau mengklaim berhasil menggagalkan perayaan kesembilan belas kebakaran hutan di Riau pada ini. Bukti di lapangan, kebakaran besar masih terjadi di Rantau Bais, Rokan Hilir sejak tiga pekan terakhir, hingga kini terus membara.

Pantauan Mongabay, akhir pekan lalu, lahan gambut kedalaman hingga lebih tiga meter terbakar di Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Kebakaran sangat luas.

Saat berada di titik bekas kebakaran, hingga sejauh mata memandang dengan jarak ratusan meter ke depan dan samping kiri-kanan terhampar bekas kebakaran. Di bagian batas lahan sudah terbakar dan masih hijau asap membumbung di sejumlah titik. Kadang terdengar bunyi dahan-dahan kering dilalap api.

Saat angin menerpa bagian titik berasap, bara gambut di bawahnya menjadi api besar melahap daun-daun kering. Di hamparan kebakaran terdapat satu kanal sengaja dibangun untuk mengeringkan gambut kedalaman lebih tiga meter dan lebar sekitar empat meter.

Meski hutan gambut dibelah kanal, terlihat banyak asap membumbung di bagian hutan sebelah kanal alias api menjalar hingga sebelah.

Edwar Sanger, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau buru-buru membantah. “Ndak ada lagi (titik api). Saya baru balik dari Dumai untuk evaluasi. Hasil evaluasi bagus. Hotspot ndak ada lagi,” katanya, kepada Mongabay, Kamis (3/11/16).

Terkait kebakaran hutan gambut luas di Rantau Bais, Edwar menyangkal api masih membara dan mengklaim titik api sudah lama padam. Dia mengakui, bulan lalu ada titik-titik api kecil lalu water bombing dan sudah padam.

Gak ada itu. Mana pulak. Taulah saya itu. (Bulan lalu) ada titik-titik kecil dan kita tidak mau kecolongan. Bukan di Rantau Bais saja. Waktu itu heli masih ada.”

Salah satu titik kebakaran hutan di lahan gambut Rantau Bais, Rohil Jumat, 28/10/16. Kebakaran meluas hingga seratusan hektar yang sudah berlangsung lebih dari dua pekan. Foto: Zamzami
Salah satu titik kebakaran hutan di lahan gambut Rantau Bais, Rohil Jumat, 28/10/16. Kebakaran meluas hingga seratusan hektar yang sudah berlangsung lebih dari dua pekan. Foto: Zamzami

Hal serupa disampaikan Aljuflizar, Kepala Kepenghuluan Rantau Bais. Menurut dia, api sudah tak ada lagi karena terus dipantau anggota tim pemadam kebakaran.

“Kabarnya terbakar itu pas satu Muharram (3 Oktober). Sama TNI, Polri padamkan. Pakai heli water bombing. Sekarang sudah padam. Karena sudah banjir,” kata Juflizar dihubungi dua hari lalu.

Pada pekan lalu,  setidaknya selama satu minggu belasan anggota Tim Cegah Api Greenpeace melakukan pemadaman di Rantau Bais. Greenpeace mendapatkan informasi lokasi dari BPBD yang seminggu sebelumnya water bombing.

Akses menuju lokasi sangat sulit. Harus berjalan hingga satu kilometer dari titik kamp yang dibangun Tim Cegah Api (TCA) Greenpeace di tengah kebun akasia.

“Memang di beberapa bagian terlihat bekas water boombing dan meninggalkan kawah-kawah di bekas kebakaran. Dua hari pertama (20 Oktober) kita melihat heli membawa kantung air. Bekas-bekas bom air ada tapi tak membuat api mati,” kata Yuyun Indradi, Jurukampanye Hutan Greenpeace kala ke lapangan memadamkan api.

Dia memperkirakan luas kebakaran pada 29 Oktober ketika TCA Greenpeace meninggalkan lokasi mencapai seratus hektar lebih.

“Ketika terakhir kita di sana ada hujan deras, tapi api tetap tak padam karena gambut dalam. Jika tak ada curah hujan sangat hebat, kecil kemungkinan api padam, apalagi tak ada pemadaman setelah kita pergi,” katanya.

TCA Greenpeace juga memadamkan kebakaran lahan gambut di RT 02/09 Sedinginan, Kecamatan Tanah Putih, Rokan Hilir. Tim datang di hari ketiga sejak api berkobar. Api dapat dipadamkan setelah beroperasi selama tiga hari.

“Sebelumnya ada pemadaman oleh Kapolsek Tanah Putih. Tak sampai padam,” kata Marsita (39), Ketua RT 01/09 Sedinginan. Marsita ikut memadamkan api baik saat pemadaman oleh Kapolsek Tanah Putih maupun Tim Greenpeace.

Menurut Marsita, tahun ini kebakaran paling besar di Sedinginan, Tanah Putih. Agustus lalu, lahan gambut seluas 300 hektar terbakar. Api baru bisa dipadamkan setelah tim pemadaman TNI, Polsek dan Polres beroperasi lebih tiga pekan.

“Lahan itu punya warga. Terus ada yang punya 150 hektar, tapi (yang punya) orang kaya. Dipadamkan TNI, Kapolsek, Kapolres, Brimob. Saya ikut juga. Di situ ada juga kanal yang tembus ke sungai. Itu mungkin yang bikin kering gambutnya,” ucap Marsita.

Seratus hektar lahan gambut di Rantau Bais terbakar selama dua pekan lebih meski sudah dilakukan water boombing api masih terus membakar dan meluas. Foto: Zamzami
Seratus hektar lahan gambut di Rantau Bais terbakar selama dua pekan lebih meski sudah dilakukan water boombing api masih terus membakar dan meluas. Foto: Zamzami

Penegakan hukum

Meski kebakaran hutan gambut di Rantau Bais mencapai seratusan hektar dan berlangsung berminggu-minggu, tak terlihat ada garis polisi atau tanda kasus itu sedang diselidiki.

Berbeda dengan puncak kebakaran tahun lalu ketika ada kebakaran hutan dan lahan, kepolisian maupun penegak hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) rajin meninjau lokasi memasang garis polisi.

Kebakaran kebun warga di Sedinginan, lokasi tepat di samping jalan juga tak ada garis polisi.

Menurut Yuyun, meminta pertanggungjawaban kebakaran di suatu lahan sulit karena kepemilikan tak jelas. Dia mencontohkan,  kasus kebakaran gambut di Rantau Bais. Lokasi kebakaran tak diketahui siapa pemiliknya. Padahal dari temuan lapangan, kebakaran terjadi pada konsesi perkebunan akasia yang dulu dibangun PT Arara Abadi.

Greenpeace sudah konfirmasi kepada Arara Abadi dengan mengirimkan koordinat. “Mereka mengkonfirmasi itu bukan areal mereka. Diakui dulu pernah menjadi areal mereka, kini sudah enclave, diserahkan kepada masyarakat. Siapa masyarakatnya juga tidak jelas. Dari kepolisian menyebutkan itu (lahan) milik Koperasi IKRAM yang mensuplai ke Arara Abadi” ucap Yuyun.

Aljuflizar, mengatakan, lahan itu milik Kelompok Tani IKRAM.

“Kelompok Tani IKRAM, masyarakat Rantau Bais kita juga. (Dulu) akasia, tapi gagal (panen) karena kebakaran. Sudah pernah dipanggil Polres 2013. Kita kurang tahu juga bagaimana perkembangannya.”

Greenpeace kesulitan mengkonfirmasi kepda Dinas Kehutanan kabupaten maupun provinsi soal pemilik hutan gambut yang sudah ditanami akasia itu.

Menurut Yuyun,  harus ada usaha lebih mendorong transparansi hingga temuan-temuan ini bisa lebih jelas siapa yang bertanggungjawab.

“Di lapangan tak ada satu petunjuk apapun tentang siapa pemilik lahan terbakar. Tidak ada plang perusahaan, plang koperasi. Kita masih berusaha mengkonfirmasi.”

Berbeda dengan yang terjadi di lahan di Sedinginan, Tanah Putih, Rokan Hilir. Lahan dimiliki warga RT 02/09. Pemiliknya ikut memantau pemadaman api saat Kapolsek di lokasi tanpa pernah dimintai tanggungjawab.

Lokasi terbakar adalah petakan lahan gambut yang ditanami beberapa pohon sawit–tampak terbengkalai. Petakan kebun dibatasi kanal-kanal selebar satu atau dua meter.

“Cam mana menyelidikinya, terbakar semua. Pemilik tanah ada juga yang dipanggil, ada datang, ada juga yang tidak. Air tak ada, gimana memadamkan. Aku yang panggil. Ibu minta tolong dia tuk padamkan api. Kalau yang terakhir itu, dia (pemilik) cuma bilang, kok terbakar ya? Terbakar ya… tak rezeki. Gitu katanya,” ucap Marsita.

Terkait pencegahan kebakaran hutan, baik Presiden Joko Widodo maupun Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan perintah kepada seluruh pemilik izin konsesi agar mencegah kebakaran.

Mereka mesti melakukan langkah, seperti penyekatan kanal, pembuatan embung sebagai sumber air ketika kebakaran terjadi serta memerintahkan larangan pembangunan perkebunan di lahan gambut.

Dua titik kebakaran yang dijumpai Mongabay, tak satupun menjalankan perintah itu. Tak terlihat embung dan kanal disekat untuk menahan laju pengeringan gambut.

Dalam UU Kehutanan Pasal 48 dan Pasal 49 telah menegaskan bahwa para pemegang hak atau izin punya kewajiban melindungi termasuk pencegahan kebakaran. Para pemilik bertanggungjawab atas kebakaran hutan di areal konsesi.

Begitu juga Pasal 87 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan, setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi atau melakukan tindakan tertentu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,