Kaltim Targetkan Perhutanan Sosial 600 Ribu Hektar, Bagaimana soal Hutan Adat?

Pemerintah Kalimantan Timur menargetkan 600.000 hektar perhutanan sosial tersebar di berbagai titik dan dipastikan masuk Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah 2016.

Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Kaltim Wahyu Widhi Heranata kepada Mongabay Oktober lalu mengatakan, dulu banyak aturan mengikat dan tak membolehkan masyarakat mengakses hutan hingga terkesan hanya kayu. Sekarang, akses sudah terbuka bagi masyarakat untuk mengelola dan memberdayakan hasil dalam meningkatkan kesejahteraan hidup, sekaligus melestarikan hutan.

“Saat ini proses kami menginventarisir lokasi, kami akan tentukan peruntukan yang tepat,” katanya.

Inventarisasi ini, katanya, melibatkan banyak pihak dari berbagai sektor yang mendukung pengembangan perhutanan sosial. Pemberdayaan, katanya, tak sebatas peternakan, bisa pertanian, perikanan dan kelautan, tanaman pangan hingga perkebunan.

Wahyu mencontohkan, Dishut Kaltim memiliki kemitraan di Kabupaten Kutai Timur.

Ada beberapa perusahaan hutan alam dan hutan tanaman industri (HTI) menandatangani kemitraan bersama masyarakat. Melalui mekanisme ini, kelestarian hutan terjaga dan kesejahteraan masyarakat lebih baik.

“Masyarakat mendapatkan nilai lebih dari menanam, penggemukan sapi dan tumpang sari,” katanya.

Dia mencontohkan, wilayah kelola warga di karst Sangkulirang Mangkalihat. Perhutanan sosial di kawasan ini, katanya, bisa menjamin karst tetap terlindungi, dan bisa berdampak maksimal bagi kesejahteraan masyarakat.

Program yang sudah dikembangkan model pengelolaan karst berbasis tapak di Desa Merabu, Kelay, Berau. Dengan skema perhutanan sosial, katanya,  mampu mengintegrasikan kepentingan berbagai pihak, mulai pemerintah, masyarakat, hingga pelaku bisnis.

“Desa Merabu sudah memanfaatkan lahan 25 hektar untuk peternakan 40 sapi,” katanya.

Dia bilang, upaya perlindungan karst Sangkulirang Mangkalihat, pengembangan Desa Merabu menjadi embrio perhutanan sosial di Kaltim. Masyarakat, katanya, bisa merasakan manfaat langsung terutama di sekitar dan hutan, daripada jika karst ditambang untuk industri kayu maupun semen.

 

 

 Perkuat peran pemda

Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono mengatakan, pemerintah menargetkan setiap tahun 2.5 juga hektar, atau 12,7 hektar sampai 2019 hutan kelola rakyat.

KLHK, katanya,  telah mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial dua minggu lalu.

Dalam peraturan itu, ucap Bambang, perhutanan sosial terdiri dari berbagai macam hutan dari hutan tanam, hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan adat dan hutan desa.

Aturan ini,  memberi dasar hukum masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan untuk mengelola hutan. “Izin akan kami berikan selama masyarakat bisa mengelola dengan baik kawasan hutan.”

Hingga kini, katanya, ada sekitar satu juta hektar perhutanan sosial di berbagai wilayah dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Di beberapa daerah memiliki produk unggulan seperti Lampung dengan kopi arabika, Sulawesi dengan sutra alam, Kalimantan Tengah dengan madu dan Maluku dengan produk minyak kayu putih.

 

 Nasib hutan adat

Hutan Adat, salah satu skema perhutanan sosial, tetapi penetapan kawasan tak sama. Catur Endah Prasetyani, Kepala Bagian Pada Program dan Evaluasi Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK mengatakan, hutan adat bukan perizinan, jadi perlu peran daerah.

KLHK, katanya,  akan menetapkan hutan adat apabila sudah ada peraturan daerah yang mengakui masyarakat hukum adat. “Kami tak sembarangan mengakui kawasan sebagai hutan adat. Lebih ke daerah, kami hanya menetapkan kawasan,”katanya.

Muhamad Muhdar, Direktur Prakarsa Borneo mengatakan, perda merupakan sarat penetapan hutan adat. Posisi hutan adat selevel dengan hutan negara.

“Perlu didorong cepat kepada bupati menetapkan masyarakat adat. Karena harus jelas masyarakat adat yang mana, kemudian area mana dan harus disebutkan masyarakat adatnya.”

Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim Margaretha Seting mengatakan, perhutanan sosial menunjukkan ketidakpedulian pemerintah dan berbagai pihak terhadap masyarakat adat. Penetapan hutan adat, katanya, tetap akan menemui jalan panjang walau masuk dalam perhutanan sosial.

Selama ini, penyusunan perda adat di daerah memerlukan proses begitu panjang. Kala masuk perhutanan sosial tanpa perubahan konsep, tetap saja tak memuluskan atau mempercepat penetapan hutan adat.

Seharusnya, kata Seting, pemerintah daerah maupun pusat mencari jalur alternatif percepatan penetapan hutan adat. Untuk itu, katanya, perlu langkah khusus baik peraturan maupun politik.

Direktur Walhi Kaltim, Fathur Roziqin mengatakan, persoalan konflik kehutanan seharusnya selesai terlebih dahulu, sebelum menentukan skema perhutanan sosial.

Walhi Kaltim mencatat, ada 11 konsesi tak aktif di Mahulu, dan tak satupun konflik selesai antara wilayah garapan masyarakat dan konsesi perusahaan.

Saat ini,  hak pengelolaan hutan di Kaltim 4,9 juta hektar oleh 76 perusahaan. Luas ini setara Nusa Tenggara Timur. Sedangkan luas hutan tanaman industri 1,6 huta hektar dikelola 44 perusahaan, setara luas Bangka Balitung.

“Penyelesaian konflik tenurial menjadi penting dilakukan terlebih dahulu,” ucap Fathur.

Selama ini, katanya, pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) juga tak begitu berjalan. Mekanisme itu, membuat masyarakat mempunyai ketergantungan kepada perusahaan yang memberikan akses. Seharusnya, penentuan skema atas kemauan masyarakat.

“Harapannya, skema tepat dan perhutanan sosial nyata sebagai solusi menuju kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,