Opini: To Regulate or Not to Regulate, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Kompleksitas Regulasinya

Pengertian Tanggung Jawab Sosial

Tanggung jawab sosial didefinisikan sebagai “responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment, through transparent and ethical behaviour that contributes to sustainable development, including health and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behaviour; and is integrated throughout the organization and practised in its relationships.”  Definisi tersebut merupakan kesepakatan pemangku kepentingan global yang dituangkan dalam ISO 26000:2010 Guidance on Social Responsibility, yang juga telah diadopsi menjadi SNI ISO 26000:2013 oleh Badan Standardisasi Nasional Indonesia.

Dari bagian awal definisi tersebut, jelas bisa dilihat bahwa tanggung jawab sosial melekat pada seluruh bentuk organisasi, bukan hanya perusahaan.  Dari situ juga bisa dipahami bahwa tanggung jawab sosial berarti tanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan oleh keputusan dan tindakan organisasi atas masyarakat dan lingkungan, dengan tujuan untuk berkontribusi pada pencapaian pembangunan berkelanjutan.

Bagaimana organisasi bertanggung jawab atas dampak itu dijelaskan secara mendetail pada dokumen tersebut, namun bisa diringkaskan sebagai hierarki pengelolaan dampak negatif dan positif. Dampak negatif dari setiap organisasi mengikuti logika sebagai berikut: dikenali, dihindari, diminimisasi, direhabilitasi, lalu dikompensasi.

Organisasi manapun harus mengetahui seluruh potensi dampak negatif yang timbul dari operasinya.  Seluruh dampak tersebut harus sedapat mungkin dihindari agar tidak terwujud.  Kalau kemudian tidak bisa seluruhnya dihindari, maka dampak yang ada itu harus dibuat menjadi sekecil mungkin, dan itupun harus direhabilitasi dengan tujuan tertinggi untuk memastikan tidak adanya dampak negatif residual, yang dikenal dengan sebutan restorasi, yang berarti kembali ke kondisi awal.

Tetapi, kalau ternyata masih tetap tidak bisa kembali ke kondisi semula, maka jalan terakhir yang ditempuh adalah dengan memberikan kompensasi atas dampak negatif residual itu.  Sementara itu, urusan dengan dampak positif jauh lebih serderhana.  Organisasi perlu mengenali seluruh dampak positifnya, dan berusahaa dengan sungguh-sungguh untuk memaksimalkannya.

Sekali lagi penting ditegaskan bahwa hierarki pengelolaan dampak tersebut sesungguhnya melekat pada seluruh bentuk organisasi, apapun bentuk, ukuran, sektor, usia serta karakteristik lainnya.  Hal lain yang juga penting digarisbawahi adalah bahwa ekspektasi pemangku kepentingan terhadap seluruh organisasi yaitu untuk bersungguh-sungguh mengelola dampak negatifnya terlebih dahulu, baru kemudian dilihat bagaimana organisasi tersebut mengelola dampak positifnya.

Organisasi yang tidak bersungguh-sungguh dalam pengelolaan dampak negatif namun banyak melakukan aktivitas yang menonjolkan dampak positifnya dianggap sekadar melakukan pencitraan belaka, dan hal tersebut bertentangan dengan tujuan tanggung jawab sosial.

(Bukan) Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Apabila konsep tanggung jawab sosial tersebut dilaksanakan oleh perusahaan, maka itulah yang disebut sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, atau disingkat CSR).  Sebaliknya, perusahaan yang tidak mengelola dampaknya dengan benar—memaksimumkan dampak positif dan menghilangkan/meminimumkan dampak negatifnya—adalah perusahaan yang melakukan corporate social irresponsibility (CSI).  Analisis tentang perusahaan-perusahaan pelaku CSI misalnya dilakukan oleh Wu (2014), Carvalho,  Antonetti dan Maklan (2016)

Bila CSI terkait dengan kinerja, ada juga konsep lain yang mirip tapi lebih berhubungan dengan komunikasi.  Perusahaan yang melakukan pencitraan dengan menonjolkan dampak positifnya tanpa mengelola dampak negatifnya secara optimal disebut sebagai perusahaan yang melakukan CSR-washing, bukan komunikasi CSR (Coombs dan Holladay, 2012).  CSR-washing,  didefinisikan oleh Coombs dan Holladay, sebagai berbagai kegiatan dan komunikasinya yang dibuat seolah-oleh sebagai bentuk CSR, untuk mendapatkan citra positif, namun bertentangan dengan tujuan CSR yang sesungguhnya.

Tujuan CSR-washing adalah doing well while doing bad, sebagaimana yang dinyatakan oleh Cai, Jo, dan Pan (2012).  Perusahaan yang melakukannya memang ingin mendapatkan citra positif, sambil meneruskan keputusan dan tindakannya yang berdampak negatif.  Citra positif itu diperoleh dengan komunikasi yang menyesatkan para pemangku kepentingan, seakan-akan mereka telah melakukan keputusan dan tindakan yang baik dan berdampak positif terhadap masyarakat dan lingkungan.  Namun, sesungguhnya mereka melakukan pengalihan isu—yaitu melakukan tindakan baik yang tidak berhubungan dengan dampak bisnis intinya—atau melebih-lebihkan dampak positif tertentu untuk menutupi dampak negatifnya yang besar.

Dan, banyak sekali pakar CSR yang bersikap kritis terhadap CSI dan CSR-washing  ini.  Mereka menemukan bahwa industri-industri yang berdosa (sinful), berbahaya (harmful) serta kontroversial (controversial)—seperti industri rokok, minuman keras, judi, pornografi, dan senjata—adalah yang paling banyak melakukan CSI dan CSR-washing (Palazzo dan Richter, 2005; Kilian dan Hennigs, 2014; Moura-Leite, Padgett, dan Galan, 2014; Rodrigo, Duran dan Arenas, 2016).

Kebakaran hutan Sipiso Piso, Kabupaten Karo sejak Minggu hingga Senin sore masih terus terjadi menyebabkan asap tebal. Foto: Ayat S Karokaro
Kebakaran hutan Sipiso Piso, Kabupaten Karo sejak Minggu hingga Senin sore masih terus terjadi menyebabkan asap tebal. Foto: Ayat S Karokaro

Banyak di antara pakar tersebut yang menandai adanya CSI dan CSR-washing oleh industri-industri itu dengan donasi serta anggaran komunikasi yang kerap jauh melampaui industri-industri lainnya, juga melampaui anggaran untuk pengelolaan sosial dan lingkungan yang mereka lakukan.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Regulasi

Pertanyaannya kemudian bagaimana hubungan CSR, CSI dan CSR-washing dengan regulasi?  ISO 26000:2010 menegaskan bahwa satu dari tujuh prinsip tanggung jawab sosial adalah kepatuhan kepada regulasi.  Namun jelas pula dalam dokumen tersebut bahwa seluruh prinsip harus ditegakkan tanpa dapat ditawar.  Artinya, dalam pendirian ISO 26000:2010, kepatuhan pada regulasi adalah necessary condition bagi tanggung jawab sosial, namun bukanlah sufficient condition.

Ada di antara pakar yang dahulu menyatakan bahwa patuh pada regulasi semata adalah bentuk CSR minimal.  Namun sesungguhnya pendirian ini kini dipandang tak bisa dipertahankan.  Pertama, karena seperti yang dijelaskan di atas, seluruh prinsip tanggung jawab sosial sesungguhnya tak bisa ditawar.  Mematuhi seluruh regulasi tidak memadai sebagai CSR.  Kedua, dengan berpegang kepada pendirian bahwa CSR seharusnya terlebih dahulu mengurusi pengelolaan dampak negatif, dapat dinyatakan bahwa antara apa yang sekarang (biasa dan telah) diregulasi versus dampak negatif yang seharusnya dikelola oleh perusahaan belumlah sama.  Masih banyak dampak negatif perusahaan yang belum diwajibkan oleh regulasi untuk dikelola hingga tuntas.  Jadi, mematuhi regulasi saja memang belum bisa dikatakan sebagai ber-CSR.

Ambil contoh industri rokok yang hingga sekarang masih legal hampir di seluruh dunia.  Padahal, apabila mengikuti hierarki pengelolaan dampak negatif, industri rokok jelas-jelas tidak bisa dinyatakan bertanggung jawab sosial karena tidak menghindari, meminimalisasi, merehabilitasi dan mengkompensasi dampak negatif sebagaimana yang dituntut oleh konsep CSR.  ISO 26000:2010 melarang penggunaan matarial karsinogenik di dalam produksi, apalagi konsumsi.

WHO (2004) menyatakan bahwa industri rokok dan CSR hubungannya adalah inherent contradiction.  Selama tidak ada tindakan nyata dan efektif untuk bertanggung jawab atas dampak negatifnya, maka apa yang dilakukan oleh industri rokok—seperti yang diyakini para pakar—adalah CSI, bukan CSR.  Semenara, donasi dan iklan kegiatan sosial mereka yang sangat gencar adalah CSR-washing.

CSR juga kerap dinyatakan sebagai hal-hal yang tidak diwajibkan oleh regulasi, atau dikenal sebagai pendirian beyond regulations (McWilliams dan Siegel, 2011). Tentu, dengan masuknya kepatuhan kepada regulasi sebagai salah satu prinsip tanggung jawab sosial, pendirian ini tidaklah tepat.  Apa yang dilakukan oleh perusahaan dalam mengelola dampaknya, baik yang merupakan kewajiban dalam regulasi, yang menjadi ekspektasi pemangku kepentingan, yang didasarkan pada standar etika tertentu, maupun yang tertuang dalam norma internasional sesungguhnya masuk ke dalam pengertian CSR.

Lokasi penambangan batu ambar di Myanmar, tempat ekor dinosaurus ditemukan. Foto: HUABAD DONG
Lokasi penambangan batu ambar di Myanmar, tempat ekor dinosaurus ditemukan. Foto: HUABAD DONG

Para pakar dalam bidang hukum perusahaan (mis. McBarnet, 2007; Zerk, 2006) menyatakan bahwa mekanisme di luar regulasi yang dimanfaatkan untuk mendorong CSR sesungguhnya bukanlah pengganti dari regulasi, melainkan sebagai komplemen atasnya.  CSR, karenanya, memang mencakup tanggung jawab yang diwajibkan di dalam regulasi maupun yang tidak diregulasi.  Karenanya, hanya menghitung apa yang di luar kewajiban regulasi sebagai CSR, sekali lagi, tidaklah tepat.

Ada juga pendirian yang menyatakan bahwa CSR sekadar upaya perusahaan untuk mencegah jangan sampai dibuat regulasi tambahan, atau kerap disebut smokescreen for deregulation (Hanlon, 2008; Shamir, 2005).  “…social responsibility is a subtle and yet an effective response from the capitalist system to the threat of further governmental regulations. …corporate CSR discourse and practice fit neatly with an approach to neo-liberalism that focuses on ‘responsibilization’ and stresses new modes of governance through market-embedded morality.” Demikian sebagaimana yang diamati dan dikritik oleh Gond, Kang, dan Moon (2011).

Tentu saja ada perusahaan-perusahaan yang melakukan hal tidak terpuji tersebut, namun pengertian CSR yang benar bukanlah yang demikian.  Bila perusahaan ber-CSR dengan benar, dengan tidak sekadar mematuhi regulasi, maka regulasi tambahan—sepanjang bukan hal yang bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan—tidak perlu ditakuti.

Pandangan-pandangan di atas—bahwa kepatuhan pada regulasi adalah CSR yang minimal, CSR hanya meliputi yang tidak diregulasi, dan CSR merupakan upaya perusahaan mencegah regulasi yang lebih ketat—seluruhnya telah ditolak, atau setidaknya dipandang problematik. Regulasi terkait CSR sendiri memiliki posisi yang strategis, terutama untuk membatasi dampak keputusan dan tindakan dari perusahaan yang bagaimana yang dapat ditoleransi oleh masyarakat dan lingkungan.  Oleh karenanya, banyak pakar yang berpendirian bahwa regulasi tentang CSR seharusnya terkait dengan upaya menjelaskan batas-batas dan mencegah perusahaan melakukan CSI dan CSR-washing.

Konsekuensi dari pendirian itu adalah bahwa regulasi yang terkait CSR sangatlah luas, dan menjadi tidak tepat bila dijadikan satu regulasi payung.  Kalau mengikuti cakupan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000:2010 saja, maka segala regulasi yang terkait dengan tata kelola, HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, isu konsumen serta pelibatan dan pengembangan masyarakat adalah regulasi tentang CSR.  Di Indonesia, seluruh cakupan subjek inti itu telah diatur dalam beragam UU, baik yang bersifat umum maupun sektoral.

Tailing dari pertambangan. Foto : tailing info
Tailing dari pertambangan. Foto : tailing info

Di beragam UU itu serta peraturan turunannya telah pula ditemukan sejumlah batasan atas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perusahaan.  Walaupun, harus diakui bahwa banyak regulasi yang batasannya—untuk memastikan perusahaan tidak melakukan CSI dan CSR-washing—belum cukup jelas.  Tetapi, alih-alih membuat regulasi baru yang akan bersifat lebih abstrak lagi batasannya, maka strategi terbaik yang harus ditempuh apabila Indonesia ingin membatasi perusahaan agar tidak melakukan CSI dan CSR-washing adalah membenahi regulasi yang spesifik itu.  Terutama, untuk memastikan tegaknya tata kelola, serta transparensi dan akuntabilitas perusahaan terhadap seluruh pemangku kepentingannya.

Lima Spektrum Hubungan CSR dan Pemerintahan

Gond, Kang, dan Moon (2011)—di luar pembatasan yang kuat atas CSI dan CSR-washing—melihat bahwa secara faktual hubungan antara CSR dengan pemerintah sesungguhnya ada dalam lima spektrum.  Mulai dari yang paling longgar hingga yang paling kuat adalah sebagai berikut: CSR as self-government, CSR as facilitated by government, CSR as partnership with government, CSR as mandated by government, dan CSR as form of government.

Sebagai self-government, perusahaan melakukan CSR sesuai dengan kehendaknya sendiri, tanpa koordinasi, terpisah sepenuhnya dengan inisiatif-inisiatif di sektor publik.   Dalam  facilitated by government, pemerintah menyediakan berbagai insentif bagi perusahaan untuk mendorong CSR.  Sebagai bentuk partnership with government, CSR yang dilakukan oleh perusahaan dilaksanakan dengan mengombinasikan pengelolaan dan sumberdaya dengan inisiatif dari pemerintah (juga masyarakat sipil).

Pemerintah juga memiliki banyak regulasi yang mewajibkan perusahaan menjalankan aspek-aspek tertentu dalam CSR, atau yang dikenal sebagai bentuk mandated by government.  Kontrol pemerintah di sini—sebagaimana yang dinyatakan di atas—biasanya terhadap kinerja minimal perusahaan dan/atau pengungkapan atas kinerja itu.  Terakhir, ketika terjadi kondisi di mana pemerintah tidak hadir, perusahaan kerap menggantikan peran pemerintah karena terpaksa berbisnis dalam kondisi yang tidak menguntungkan tersebut.  CSR menjadi satu-satunya sumberdaya pembangunan, atau CSR sebagai form of government.

Hubungan tersebut sangat besar kemungkinannya terjadi  secara simultan di setiap negara.  Namun, di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia, khususnya di tempat terpencil dan miskin, bentuk terakhir sangat banyak ditemukan.  Dan kondisi tersebut tidaklah ideal, namun harus diterima perusahaan, karena operasi perusahaan menjadi mustahil bila fungsi itu tidak dijalankan.  Yang mungkin lebih buruk adalah kondisi bahwa mandat oleh pemerintah melalui regulasi malahan dipergunakan untuk menekan perusahaan agar berperilaku sebagai pengganti pemerintah.  Dan, jelas ini dipandang sebagai penyelewengan atas apa yang seharusnya dilakukan pemerintah lewat regulasi CSR.

Kolam tambang dan tanah galian yang ditinggalkan begitu saja setelah timah dikuras di Pulau Bangka. Bangka Balitung, salah satu pemeirntah daerah yang dinilai rendah dalam menindaklanjuti penertiban izin tambang sebagai tindaklanjut Korsup KPK. Foto: Sapariah Saturi
Kolam tambang dan tanah galian yang ditinggalkan begitu saja setelah timah dikuras di Pulau Bangka. Bangka Balitung, salah satu pemeirntah daerah yang dinilai rendah dalam menindaklanjuti penertiban izin tambang sebagai tindaklanjut Korsup KPK. Foto: Sapariah Saturi

Banyak pakar menyatakan bahwa terkait dengan apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam mendorong perkembangan CSR yang benar adalah kombinasi yang optimal di antara tiga spektrum yang di tengah—yaitu fasilitasi, kemitraan dan regulasi yang tepat.  Pemerintah memfasilitasi perkembangan CSR dengan beragam dukungan, melakukan kemitraan dengan perusahaan dalam berbagai inisiatif pembangunan berkelanjutan, serta meregulasi hal-hal yang memang esensial agar perusahaan benar-benar berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan (bukan menggagalkannya lewat CSR dan CSR-washing).

Hal yang sangat penting untuk diingat adalah bahwa pemerintah sendiri—sebagai salah satu bentuk organisasi—memiliki tanggung jawab sosial untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, sehingga harus menata dirinya sendiri (dengan paradigma, kebijakan dan regulasi) yang mengarah kepada tujuan tersebut, serta mempraktikannya dengan sungguh-sungguh agar ia benar-benar memiliki otoritas dalam mengatur perusahaan dan organisasi masyarakat sipil, mengarahkan semuanya ke pencapaian pembangunan berkelanjutan.

Sayangnya, hal ini belum jelas benar terlihat di Indonesia.  Di tingkat pusat, beragam tindakan maupun kebijakan yang dilakukan pemerintah dan K/L-nya kerap tidak konsisten diarahkan kepada keberlanjutan Indonesia.  Di satu sisi, ada banyak kebijakan dan regulasi yang tampak diarahkan ke sana, namun di sisi lain tampak melawannya.  Di tingkat daerah, gambarannya mungkin malah lebih suram, karena sangat sedikit dari 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota—terdiri dari 416 kabupaten dan 98 kota—yang benar-benar tampak memahami keberlanjutan.

 Penelitian PIRAC dan Perkembangan CSR di Indonesia

Ketidakpahaman atas keberlanjutan—yang menjadi tujuan CSR—pula yang sangat tampak dari berbagai regulasi terkait CSR di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.  PIRAC (2016) telah berhasil mendapatkan fakta bahwa ada beragam peraturan daerah (perda) dan rancangan peraturan daerah (raperda) setidaknya di 15 provinsi, 59 kabupaten dan 16 kota. Dan, kesimpulan penelitiannya menunjukkan kepada seluruh pemangku kepentingan di Indonesia bahwa mayoritasnya bukanlah bentuk fasilitasi, kemitraan dan regulasi yang mengarahkan perusahaan ke pembangunan berkelanjutan.  Bahkan, perda dan raperda yang ditemukan kerap melawan peraturan di tingkat pusat yang dirujuknya!

PIRAC menemukan bahwa perda-perda yang ada memasukkan badan hukum di luar PT serta BUMN/BUMD, menentukan pembiayaan CSR sebagai proporsi keuntungan, menetapkan besaran 2-6% dari keuntungan sebagai ‘dana CSR’ yang wajib dikeluarkan, mengatur pendirian forum dan pokja sebagai pelaksana CSR, mengatur secara spesifik program dan projek yang harus dilaksanakan perusahaan, memasukkan beragam sanksi hingga pencabutan izin usaha bagi perusahaan yang tidak melaksanakannya.

Semua hal itu tidak sesuai dengan hakikat CSR yang benar (yaitu tanggung jawab atas dampak), tidak mengikuti kaidah bagaimana hubungan antara CSR dengan regulasi yang tepat, tidak berada pada peran pemerintah yang ideal untuk mendorong CSR sebagai kontribusi terhadap keberlanjutan, dan bahkan telah melawan regulasi yang ada di tingkat pusat.   Tentu, sangat wajar kalau dikhawatirkan akan menjadi penghambat gerak dan pertumbuhan bisnis dan investasi di Indonesia.  Terkait dengan penetapan ‘dana CSR’ sebesar 2-6% dari keuntungan, sebetulnya sudah sejak 1995 para pakar sepakat bahwa sumberdaya finansial untuk CSR tak bisa dihitung after-profit seperti itu, melainkan harus dihitung sebagai investasi yang before-profit (Kang dan Wood, 1995).

Kawasan hutan di sekitar Bukit Serelo, Kabupaten Lahat, Sumsel, dulunya merupakan koridor gajah. Kini menjadi wilayah eksplorasi batubara. Foto: David Herman-INFIS
Kawasan hutan di sekitar Bukit Serelo, Kabupaten Lahat, Sumsel, dulunya merupakan koridor gajah. Kini menjadi wilayah eksplorasi batubara. Foto: David Herman-INFIS

Namun, yang lebih penting dan sangat mengkhawatirkan, perda-perda itu juga tidak mendekatkan—kalau bukan malah menjauhkan—Indonesia dari keberlanjutan.  Sebagaimana yang didokumentasikan di banyak negara, ketika perusahaan ditekan untuk mengeluarkan biaya yang lebih besar oleh pemerintah—tanpa kejelasan manfaat bagi perusahaan dan pemangku kepentingannya—yang kerap menjadi korban pertama adalah masyarakat dan lingkungan.  Perusahaan yang merasa sudah membayar ‘pajak filantropi’ cenderung enggan melakukan pengelolaan sosial dan lingkungan dengan benar.

India adalah contoh negeri yang sering dirujuk mengalami kemunduran CSR sejak memandatkan ‘dana CSR’.  Perusahaan-perusahaan cenderung abai pada praktik keberlanjutannya ketika sudah membayar kewajiban anggaran tersebut, sebagaimana yang bisa dibaca pada laporan jurnalis Guardian, Oliver Balch di laman https://www.theguardian.com/sustainable-business/2016/apr/05/india-csr-law-requires-companies-profits-to-charity-is-it-working.  Beberapa pakar sudah merujuk pada kondisi yang semakin berpotensi menjauhkan perusahaan dan negara dari keberlanjutan akibat pemaksaan ‘dana CSR’, yaitu berlanjutnya praktik CSI dan CSR-washing, ketika pewajiban baru menjadi ide.  Laporan Balch mengonfirmasikannya.

Pertanyaanya kemudian, apakah kalau CSR kemudian jadi diundangkan tetapi di dalamnya tidak ada pewajiban besaran atau proporsi dana maka seluruh masalahnya selesai? Pembacaan atas draft RUU Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP, versi DPR) dan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL, versi DPD) hingga versi mutakhir menyimpulkan bahwa tak ada besaran atau proporsi dana tersebut, tetapi bukannya tidak mungkin dalam proses selanjutnya—di mana DPR telah memasukkannya ke dalam Prolegnas 2017—perubahan akan terjadi, mengingat berkali-kali anggota DPR menyatakan persentase tertentu ‘dana CSR’ akan diajukan.  Jadi, tak ada besaran dan proporsi hingga sekarang masih tetap membuka peluang munculnya itu di kemudian hari.  Apalagi, kita tahu, pemilihan umum sudahlah dekat.  Kepentingan partai politik untuk mendapatkan sumber dana sangatlah menguat.

Tetapi, apabila tetap tidak dimasukkan pasal mengenai besaran atau proporsi danapun tetap segudang masalah mengintai.  Seperti yang sekarang telah terjadi, dan ditunjukkan oleh PIRAC, hampir seratusan pemerintah daerah membuat perda dan raperda yang menyelewengkan makna CSR, bahkan kebanyakan hanya bersumber dari satu pasal saja—yaitu Pasal 74—yang dimuat di UU Perseroan Terbatas.  Bayangkan, akan seperti apa bila ada satu regulasi payung, berupa UU, yang bisa diinterpretasikan dengan sangat ‘kreatif’.

Padahal, kalau sejumlah UU yang terkait dengan seluruh subjek inti tanggung jawab sosial yang sekarang sudah ada bisa ditegakkan, kemudian berbagai masalah di dalam regulasi-regulasi tersebut diatasi dengan perbaikan, dan perusahaan diberi dorongan untuk melampauinya, maka CSR bisa berkembang dengan baik.  Perbaikan itu, sekali lagi, haruslah lebih menyasar kepada upaya menekan perusahaan agar tidak melakukan CSI dan CSR-washing.  Dan itu kemungkinan besar bisa dicapai lewat perbaikan regulasi tata kelola perusahaan serta aturan transparensi dan akuntabilitas yang jelas, bukan dengan RUU yang masih terbata-bata mengeja makna CSR yang sesungguhnya.  Kalau Indonesia memang ingin mencapai keberlanjutan—yang kini terutama diformulasikan dalam Sustainable Development Goals atau SDGs—lewat CSR, sudah seharusnya seluruh pemangku kepentingan meninjau dengan saksama usulan DPR dan DPD yang terkesan memaksakan kehendak itu.

***

Tulisan ini disampaikan dalam diskusi publik Studi Dampak Implementasi Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang diselenggarakan oleh PIRAC dan Yayasan TIFA pada tanggal 14 Desember 2016 di Jakarta.

Sebagian tulisan ini telah dipublikasikan dalam Mengapa RUU CSR Harus Ditolak? oleh Jalal, Sita Supomo dan Victor Rembeth 

Jalal*, Reader on Political Ecology and Corporate Governance Thamrin School of Climate Change and Sustainability

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,