Penyelundupan Benih Lobster Lagi dari Bali

Seseorang menyelundupkan sekitar 20.650 ekor juvenile atau benih-benih lobster ke luar negeri dan ditangkap pada 31 Maret 2017 lalu di bandar udara Ngurah Rai, Badung, Bali. Sebuah koper hitam dimasukkan bagasi pesawat berisi 35 kantong plastik berisi ratusan benih lobster dengan spon, oksigen, dan air.

Pemerintah Indonesia sudah menetapkan larangan transportasi ke luar negeri benih lobster, kepiting, dan rajungan pada 2016 dengan alasan pelestarian. Tiap ekor lobster yang diselundupkan ini beratnya kurang satu gram, dengan ukuran rata-rata 1 sentimeter. Juvenil ini terlihat transparan dengan titik hitam matanya.

Tersangka terbang dengan pesawat Air Asia dengan tujuan Vietnam tapi transit Singapura sekitar pukul 17.30 WITA. Keuntungan besar sudah membayang karena harga per ekor benih lobster mutiara, jenis termahal ini di sana bisa Rp130 ribu per ekor. Dengan penyelundupan 20.650 ekor nilainya lebih dari Rp2,5 milyar. Bandara Ngurah Rai sering digunakan penyelundup karena ramainya penerbangan internasional, juga terletak di antara daerah pemasok hewan laut.

Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP Kelas I Denpasar menolak menyebutkan detail tersangka dengan alasan penyidikan. Pada Februari lalu di Jakarta, juga berhasil menggagalkan upaya penyelundupan 65.699 ekor benih lobster di tiga daerah berbeda, yakni Surabaya (Jawa Timur), Denpasar (Bali), dan Mataram (Nusa Tenggara Barat).

 

 

Kasus ini direkap dari lima tempat kejadian perkara (TKP) berbeda di ketiga kota. Modusnya juga penyelundupan ke luar negeri melalui bandar udara dalam kurun waktu 3-22 Februari 2017. Artinya komoditas ini sangat menarik para penyelundup karena nilai ekonominya.

Benih-benih ini bisanya dibesarkan dulu di Asia sebelum dijual ke negara-negara pasar seperti Amerika Serikat. Di sejumlah website penjual lobster terlihat harga lobster mutiara ini paling mahal sekitar Rp900 ribu untuk ukuran di atas setengah kilogram saja. Lobster lain seperti pasir, batik, bambu, dan batu sekitar Rp300-400 ribu.

Juvenile lobster tak berdaya ini dilepasliarkan di Pantai Ketewel, perairan Kabupaten Gianyar, pada Sabtu (01/04/2017) oleh BKIPM bersama BPSPL Denpasar dan Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Benoa.

Perairan selatan Bali dipilih karena dianggap cukup baik sebaagai habitat baru benih lobster yang diperkirakan dari NTB ini. Perairan Selatan Bali berkarang dengan arus besar. Ombak menghantam perwakilan yang melepasliarkan barang bukti penyelundupan ini, dan sebagian lagi dilepaskan di tengah laut menggunakan perahu nelayan setempat.

Lokasi pelepasan dekat dengan kolam penitipan sementara, sebuah usaha eksportir hewan laut. Sejumlah juvenile sudah mati. “Ini kasus ke-4 atau 5. Kita lepaskan di Pantai Ketewel karena cukup baik untuk habitatnya banyak karang,”ujar Habrin Yake, Kepala BKPIM Kelas I Denpasar.

 

Benih lobster mutiara ini diperkirakan nilainya Rp130 ribu per ekor dan dijual ke Vietnam. Benih tersebut berhasil digagalkan dari penyelundupan lewat Bandara Ngurah Rai Bali. Foto: Luh De Suriyani

 

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 56/Permen-Kp/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.). Peraturan ini dibuat oleh Menteri Susi Pudjiastuti dengan tujuan pelestarian tiga komoditas laut yang bisa lebih mahal jika diekspor jika sudah besar dan ditangkap liar.

Pasal 2 menyebutkan penangkapan dan/atau pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), dengan Harmonized System Code 0306.21.10.00 atau 0306.21.20.00, dari wilayah Negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ketentuan: a. tidak dalam kondisi bertelur; dan b. ukuran panjang karapas diatas 8 (delapan) cm atau berat diatas 200 (dua ratus) gram per ekor.

Lalu pada pasal 7 disebutkan setiap orang dilarang menjual benih lobster untuk budidaya. (2) Setiap orang yang menangkap Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) wajib: a. melepaskan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4, jika masih dalam keadaan hidup.

“Peraturan Menteri melarang budidaya karena lebih baik tangkap liar,” kata Permana Yudiarso, Kepala Seksi Program dan Evaluasi Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar yang ikut dalam pelepasliaran. Juvenil lobster ini biasanya menempel di permukaan kemudian bermigrasi di daerah dengan goa-goa karang hingga berukuran besar. Inilah yang bisa ditangkap termasuk ekspor oleh perusahaan atau kelompok nelayan dengan izin pemerintah.

Sebuah modul Best Management Practice (BMP) yang diterbitkan WWF Indonesia pada 2015 tentang Perikanan Lobster Laut memberikan penjelasan bagaimana sebaiknya udang karang raksasa ini ditangkap agar usaha perikanan berkelanjutan.

 

Pelepasan barang bukti penyelundupan lobster di perairan Gianyar, Bali. Foto: Luh De Suriyani

 

Lobster laut merupakan jenis hewan invertebrata yang memiliki kulit keras dan tergolong dalam kelompok arthropoda. Memiliki 5 fase hidup mulai dari proses produksi sperma telur, kemudian fase atau larva, post larva, juvenil dan dewasa. Secara umum lobster dewasa dapat ditemukan pada hamparan pasir yang terdapat spot-spot karang dengan kedalaman antara 5–100 meter. Bersifat nokturnal (aktif pada malam hari) dan melakukan proses moulting (pergantian kulit).

Hampir seluruh tubuh lobster mutiara dipenuhi kerangka kulit yang keras dan berzat kapur. Bagian kerangka kepala sangat tebal dan ditutupi oleh duri-duri besar dan kecil. Ujung kepala di atas mata terdapat 2 tonjolan yang keras dan diantara tonjolan keras tersebut merupakan lengkungan yang berduri. Terdapat dua pasang sungut dan sungut kedua keras, kaku serta panjang. Kaki ada 6 pasang dan terdapat garis melintang putih di badan lobster. Ukuran panjang total rata-rata 50 cm.

Prinsip metode tangkap yang disarankan dalam BMP adalah tidak merusak habitat atau ekosistem serta menjaga kelestarian sumber daya lobster. Umumnya ada beberapa alat tangkap yang biasa dipakai untuk menangkap lobster, ada alat tangkap yang bersifat aktif seperti jerat yang di operasikan dengan menyelam (dengan kompresor),hook, juga alat tangkap yang bersifat pasif seperti: Krendet, Bubu, dan Tramel net (Jaring tiga lapis). Masing-masing alat tangkap mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri.

 

Habitat lobster di perairan berkarang, pemerintah menerbitkan larangan ekspor benih dan budidaya, hanya penangkapan di laut. Foto: Luh De Suriyani

 

Dalam upaya meningkatkan posisi tawar dan membina kebersamaan untuk menjaga keberlanjutan usaha penangkapan lobster yang dilakukan, disarankan nelayan bergabung dalam kelompok secara formal. Ini memudahkan pengurusan aneka perizinan dari pemerintah dan pendampingan.BMP ini menyebut idealnya satu kelompok beranggotakan 10-25 orang dan apabila pengorganisasian kelompok sudah kuat, jumlah anggota bisa lebih dari 25 orang.

Kelompok penangkap lobster didampingi oleh pendamping lapangan, contohnya Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) dan atau Petugas Teknis Perikanan dari pemerintah setempat. Memiliki kegiatan produktif yang sama, yaitu penangkap lobster. Mengadakan pertemuan rutin secara berkala, minimal satu kali per bulan.

Hal-hal yang dapat dilakukan dengan berkelompok misalnya jika mengalami kendala-kendala dalam penangkapan, maka dalam pertemuan bisa berbagi masalah dan memecahkannya bersama. Juga mendapatkan informasi terkini misalnya saja harga atau teknologi terkini. Hal ini bisa meningkatkan daya tawar harga lobster terhadap pasar karena penjualan secara bersama-sama.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,