Konflik Agraria, 31 Warga Desa Tiberias, Ditangkap, Bangunan Dibakar dan Tanaman Dirusak

Polisi menangkap 31 warga desa Tiberias, kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Penangkapan itu, dipicu sengketa agraria antara warga setempat dengan PT Malisya Sejahtera, perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan kelapa hibrida.

Kronologis yang diterima Mongabay Indonesia menceritakan, pada Selasa (02/05/2017), karyawan PT Malisya Sejahtera bersama aparat Koramil Poigar, melakukan pemanenan kelapa di kebun yang terletak di desa Tiberias.

Petani penggarap protes. Menurut mereka, lokasi pemanenan itu merupakan objek sengketa, yang sedang berproses di PTUN Manado. Tak lama kemudian, datang ratusan personil dari Polres Bolmong, yang dinilai lebih berpihak pada perusahaan ketimbang mengamankan situasi.

(baca : Konflik Lahan di Desa Tiberias, Bolaang Mongondow Berlanjut, Perusahaan Bongkar Pondok Warga)

 

 

Penilaian itu didasari sikap aparat kepolisian yang dianggap membiarkan karyawan PT Malisya Sejahtera ketika membongkar, membakar bangunan dan merusak tanaman petani di lokasi objek sengketa.

Walhi Sulut, Yayasan Suarani Nurani, Yayasan Peka dan Ammalta, mengecam tindak kekerasan dan pengrusakan itu. Mereka membuat rilis  bersama dan menyatakan, “tindakan brutal tersebut, dilakukan di hadapan mata aparat Polres Bolmong. Bahkan, beredar intimidasi pada petani penggarap agar menandatangani Surat Pencabutan Perkara, yang sedang berlangsung di PTUN Manado.”

Tak hanya itu, mereka menuding aparat Polres Bolmong juga ikut mengobrak-abrik perkampungan desa Tiberias, melepaskan tembakan-tembakan dengan peluru dan gas airmata, melakukan pemukulan dan penangkapan besar-besaran, tanpa alasan memadai menurut hukum.

“Karena itu, hari ini, Kamis (4/5/2017), warga desa Tiberias mengadukan ke Kapolda Sulut tindakan aparat Polres Bolmong, yang menggunakan semua fasilitas negara, seolah-olah sedang berhadapan dengan musuh negara.”

Versi lain menyebut, bentrok dipicu aksi penghadangan dan penyerangan yang dilakukan warga, ketika karyawan PT PT Malisya Sejahtera sedang memanen kelapa di kebun depan Koramil Poigar.

“Bentrok dipicu adanya kelompok warga yang menghalangi pihak perusahaan memanen buah kelapa di lokasi HGU yang dikuasai perusahaan tersebut,” ungkap Kasatreskrim Polres Bolaang Mongondow, AKP Hanny Lukas, dikutip dari manadopostonline.com.

Sekitar pukul 10.10 Wita, masih seturut berita di situs tersebut, 200 personel gabungan yang dipimpin Kapolres Bolmong dan dibantu aparat TNI, turun ke tempat kejadian perkara. Mereka melakukan penyisiran dan menangkap kelompok yang diduga melakukan penyerangan.

“Dari penyisiran, kami berhasil mengamankan 31 orang dari kelompok yang melakukan penyerangan, bersama puluhan senjata tajam, berbagai jenis,” terang Lukas pada manadopostonline.com.

 

Bangunan milik petani warga desa Tiberias yang diduga dirusak karyawan PT Malisya Sejahtera. Foto : warga desa Tiberias

 

Tidak Menghormati Hukum

Lokasi sengketa awalnya adalah lahan eks HGU PT Poigar, yang berakhir pada Desember 1996. Sejak itu, lahan tersebut berstatus tanah negara, yang dikelola petani penggarap.

Pada 2001, Badan Pertanahan Kabupaten Bolaang Mongondow menerbitkan sertifikat HGU atas nama PT Malisya Sejahtera. Luas lahan mencapai 177,1320 hektar. Terbitnya sertifikat tersebut dianggap merampas hak garap petani setempat.

Bertahun-tahun tak beraktifitas, pada 2015, PT Malisya Sejahtera muncul. Mereka dibantu aparat keamanan, mulai mengusir petani penggarap dari lokasi objek sengketa. Tindakan itu dinilai menghilangkan hak garap petani, yang dilindungi UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

15 September 2016, Pejabat Bupati Bolaang Mongondow, lewat surat nomor 53 tahun 2016, sempat mencabut izin HGU PT Malisya Sejahtera. Tak terima dengan keputusan itu, 27 September 2016, perusahaan menggugat balik. Hasilnya, pada 24 November 2016, PTUN Manado mengabulkan gugatan PT Malisya Sejahtera.

Tak berselang lama, giliran warga mengajukan gugatan ke PTUN Manado. Pada 22 November 2016, mereka menggugat izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B). Dua hari kemudian, tanggal 24 November, mereka kembali menggugat sertifikat HGU PT Malisya Sejahtera.

Seturut proses gugatan tersebut, intimidasi dan upaya pengusiran yang dilakukan pihak perusahaan, dibantu aparat keamanan, dinilai tidak menghormati hukum.

 

Peluru yang ditemukan di lokasi konflik. Foto : warga Desa Tiberias

 

Berturut-turut sejak tanggal 3 Maret, 24 Maret, kemudian tanggal 2 dan 3 Mei 2017, karyawan perusahaan dituding membongkar dan membakar bangunan, serta merusak tanaman petani di lokasi objek sengketa.

Lembaga-lembaga yang mendampingi warga menyatakan, aparat kepolisian telah menyidik, menetapkan dan menahan petani penggarap, sebagai tersangka dengan menggunakan ketentuan UU Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.

Padahal, mereka menilai, status hukum sertifikat yang disengketakan belum memiliki putusan pengadilan. Dengan kata lain, belum ada kejelasan menyangkut keabsahan sertifikat HGU PT Malisya Sejahtera, karena sedang diuji pengadilan.

“Keberpihakan aparat sangat prematur, dan diduga kuat sangat berpihak pada perusahaan. Padahal, Polri adalah polisinya rakyat, bukan polisi milik korporasi,” demikian dinyatakan lembaga-lembaga yang mendampingi warga desa Tiberias.

Theo Runtuwene, Direktur Walhi Sulawesi Utara mengutuk tindak kekerasan yang melibatkan aparat keamanan. Pihaknya akan melaporkan aparat Polres Bolmong pada Polda Sulut, Kapolri, Kompolnas, Komnas HAM, Ombudsman, bahkan hingga ke Presiden RI.

Dia mengatakan, aksi pembongkaran pondok dan rumah warga sudah berulang kali terjadi. Akibatnya, anak-anak dan perempuan mengalami ketakutan dan trauma. “Hingga Rabu (3/5/2017), pembongkaran rumah-rumah warga masih terus terjadi. Aparat Polisi dan TNI masih lalu-lalang di desa.”

“Masyarakat menangis. Rumah mereka sudah dibakar. Tanaman seperti kacang-kacangan, jagung dan lain-lain, dirusak. Mereka sudah tak punya uang lagi,” ujar Theo ketika dihubungi Mongabay, Rabu (3/5/2017).

Jull Takaliuang, Direktur Yayasan Suara Nurani Minaesa mengatakan, dari 31 warga yang ditangkap, baru 10 orang yang dilepaskan pada Rabu, (3/5/2017). Menurut dia, sampai saat ini, belum ada jaminan dari aparat kepolisian untuk membebaskan seluruh warga.

“Ada satu orang yang baru keluar, mukanya bonyok dihajar. Sekarang ikut melapor,” tuturnya.

 

Perwakilan Warga Bertemu Wakapolda Sulut di Kantor Polda Sulut di kota Manado. Foto : Yayasan Suara Nurani Minaesa

 

Warga Membuat Laporan ke Polda Sulut

Pada Kamis (4/5/2017), perwakilan dan pendamping warga melaporkan tindak kekerasan tersebut ke Polda Sulut. Mereka meminta Kapolda Sulut untuk, pertama, menginstruksikan jajaran Polres Bolmong agar bertindak objektif dan sesuai hukum.

Kedua, Kapolda Sulut diminta menindak aparat Polres Bolmong yang menyalahgunakan jabatannya, serta membina profesionalitas dalam menangani konflik. Ketiga, Kapolda diharap dapat memproses hukum oknum-okunum yang terlibat tindak pidana pengrusakan harta benda milik petani di desa Tiberias.

“Poin-poin yang diajukan, selain disampaikan langsung, juga dengan surat resmi. Tentang keterlibatan TNI AD dalam kasus ini, kami rencana audiensi dengan Pangdam. Mungkin Senin atau Selasa,” ujar Didi Koleangan, dari Ammalta pada Mongabay, Kamis (4/5/2017).

Menanggapi laporan perwakilan warga, Kombes Pol Refdi Andri selaku Wakapolda Sulut,  berjanji akan memfasilitasi pertemuan antara warga dengan pihak Polres Bolaang Mongondow.

Dia berharap, aparat kepolisian di Bolaang Mongondow melakukan penilaian yang objektif, serta mengakomodir kepentingan semua pihak dalam upaya penegakan hukum.

“Dan, kepada semua pihak, kami minta untuk menahan diri. Jangan sampai terjadi sesuatu di luar harapan kita. Mari kita sama-sama jaga,” himbaunya, Kamis (4/5/2017) di Manado.

Wakapolda Sulut juga meminta Kapolres Bolmong melakukan penjagaan, pengawasan, patroli serta berkomuniasi dengan Polres Minahasa Selatan, untuk mengamankan warga yang hendak pulang ke desa Tiberias.

“Setelah datang ke sini, beliau-beliau ini (warga desa Tiberias) kan, akan kembali ke Bolaang Mongondow. Kami jamin keamanannya,” ujarnya. “Sehingga, ketika masyarakat kita kembali ke sana, tidak terjadi lagi sesuatu yang tidak kita inginkan.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,