Nelayan Kecil Lebih Sejahtera dengan Perdagangan Berkeadilan. Kok Bisa?

Melalui program perdagangan perkeadilan (fair trade) sektor perikanan, nelayan-nelayan skala kecil di Maluku dan Sulawesi Tengah bisa meningkatkan taraf hidup sekaligus kebanggaan terhadap pekerjaan mereka. Tak hanya berdampak secara ekonomi, perdagangan berkeadilan juga meningkatkan derajat sosial nelayan kecil.

Kesimpulan itu berdasarkan pengalaman dua pelaku dalam industri perikanan yaitu Harta Samudra, perusahaan perikanan yang berkantor di Ambon, Maluku dan Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), lembaga swadaya masyakarat (LSM) yang berkantor di Denpasar, Bali.

 

 

MDPI, yang mendampingi nelayan skala kecil terutama di kawasan Indonesia timur, melaksanakan program perdagangan berkeadilan bidang perikanan sejak 2014. Ketika memulai program fair trade, yayasan yang berdiri sejak tahun 2013 itu mendapatkan dukungan dari Fair Trade Amerika Serikat – SEAFOOD. Coral Triangle Processors (CTP), perusahaan pengolahan dan eksportir tuna sirip kuning di Amerika Serikat, menjadi klien sekaligus pemegang sertifikasi fair trade di bidang perikanan itu.

Melalui pendampingan dan fasilitasi bersama MDPI dan Harta Samudra, sejak Oktober 2014, tangkapan tuna dari Maluku pun mendapatkan sertifikasi tahap awal. Proses sertifikasi sendiri berlaku selama enam tahun dengan peningkatan kualitas produk dan proses terus menerus. Untuk memastikan bahwa proses itu memenuhi standar sertifikasi, ada pihak lain yaitu Badan Sertifikasi, yang terus mengaudit praktik dalam rantai perikanan dari penangkapan hingga pengolahan.

Saat ini, ikan tuna sirip kuning dari Maluku dengan logo Fair Trade USA itu telah tersebar setidaknya di 1.200 toko di negara Paman Sam. “Sertifikasi fair trade untuk nelayan dari Maluku merupakan yang pertama di dunia untuk perikanan tangkap liar,” kata Direktur MDPI Aditya Utama Surono.

Menurut Aditya fair trade di sektor perikanan tidak hanya memperhatikan isu keberlanjutan lingkungan tetapi juga mendukung peningkatan sosial komunitas maupun aktor dalam rantai pasokan (supply chain). Faktor lain yang diperhatikan dalam penilaian standar fair trade adalah hubungan para pemangku kepentingan (stakeholders), pengaruh kegiatan terhadap lingkungan, pencatatan hasil tangkapan, metode penangkapan, keterlacakan produk, pabrik pengolahan dan pekerjanya, hingga keselamatan di pabrik.

Di Maluku, MDPI bekerja sama dengan perusahaan pengolahan tuna Harta Samudra sejak memulai program hingga saat ini.

 

Seorang nelayan di Kabupaten Pulau Taliabu di Provinsi Maluku Utara dengan kapal tanpa motor. Potensi perikanan di Kabupaten Taliabu Maluku Utara belum tergarap dengan baik karena minimnya fasilitas tangkap dan pasca produksi. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Nelayan Trauma

Robert Tjoanda, Direktur Harta Samudra, menambahkan praktik fair trade dalam perikanan di Maluku sendiri muncul dari adanya tuntutan pasar Amerika Serikat. Karena itu, CTP sebagai perusahaan pengolahan dan ekspor tuna yang meminta adanya sertifikasi fair trade juga mendanai proses sertifikasi perikanan di lokasi-lokasi penangkapan terutama di Maluku.

Menurut Robert, proses sertifikasi sendiri pada awalnya tidak mudah. “Awalnya susah. Banyak nelayan yang trauma dengan program LSM,” kata Robert. MDPI dan Harta Samudra memulainya dengan membangun kepercayaan di kalangan nelayan kecil. Mereka juga membuktikannya pada satu kelompok bahwa praktik perikanana secara fair trade bisa meningkatkan pendapatan.

Setelah satu kelompok membuktikan mereka bisa, kelompok lain pun tertarik untuk ikut. “Dari semula tidak mau terlibat, ternyata kelompok lain justru meminta untuk dilibatkan dalam program fair trade,” Robert menambahkan.

Salah satu keberhasilan yang menarik minat nelayan-nelayan lain adalah karena meningkatnya pendapatan mereka. Robert mencontohkan nelayan kecil di Pulau Buru, Maluku. Dengan mengikuti program dan memenuhi standar fair trade, para nelayan kecil bisa menjual tangkapan mereka ke Harta Samudra.

“Yang lebih penting, mereka bisa mendapatkan premium fund,” kata Robert dalam wawancara di Jimbaran, Bali, Juli lalu.

Premium fund (dana premium) memang menjadi salah satu keuntungan bagi nelayan kecil peserta program fair trade. Besarnya dana premium adalah 30 sen per kg bobot ikan. Pembayarannya tidak langsung ke nelayan individual tetapi melalui kelompok.

 

Kesibukan nelayan dan masyarakat yang terlihat di Lampulo, Banda Aceh, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay

 

Karena itu pula maka salah satu syarat nelayan kecil agar bisa terlibat dalam program fair trade adalah dengan membentuk kelompok. “Dengan membangun kelompok, nelayan juga bisa punya posisi tawar lebih,” kata Aditya.

Kelompok pula yang menerima dan mengelola dana premium hasil dari fair trade. Begitu pula dengan penggunaannya. Ada beberapa prinsip yang harus disepakati kelompok. Misalnya uang tidak boleh dibagi-bagi kepada anggota. “Uang harus masuk kelompok dan digunakan untuk kepentingan publik. Misalnya perbaikan sekolah atau alat kerja yaitu mesin dan bengkel,” kata Robert.

Anggota kelompok memutuskan secara demokratis akan diapakan dana premium tersebut. Namun, ketentuan yang sudah disepakati, adalah 70 persen untuk kegiatan sosial sedangkan 30 persen untuk kegiatan yang berkaitan dengan keberlanjutan perikanan.

Robert memberikan contoh kelompok nelayan kecil di Pulau Buru menggunakan dana premium untuk memperbaiki masjid. Dengan demikian, dana premium tak hanya dinikmati nelayan tetapi juga warga lainnya. “Tidak hanya membuat masjid jadi lebih layak digunakan sebagai tempat beribadah, perbaikan itu juga telah meningatkan kebanggaan nelayan pada pekerjaan mereka,” ujar Robert.

Kebanggaan itulah yang menjadikan status sosial nelayan pun terangkat. Dari semula hanya dianggap sebelah mata, nelayan ternyata justru meningkatkan taraf hidup warga. “Yang lebih penting, nelayan meraasa dimanusiakan karena lebih adil melalui program fair trade ini,” kata Robert.

Melalui kelompok, kepercayaan diri nelayan juga meningkat sehingga mereka pun berani menuntut hak-hak lainnya sebagai nelayan.

 

Terus Meningkat

Keberhasilan program fair trade di bidang perikanan itu pun mempengaruhi nelayan kecil lain untuk terlibat. Dari semula hanya di Maluku, saat ini program fair trade MDPI dilaksanakan juga di Sulawesi Tengah. Dari semula hanya empat kelompok nelayan, saat ini MDPI dan Harta Samudra telah menjangkau 33 kelompok nelayan dengan total 712 nelayan terlibat hingga Agustus 2016 lalu.

Pada umumnya, nelayan yang terlibat adalah nelayan harian dengan kapal bermesin 1 GT hingga 2 GT. Tangkapan utama mereka berupa tuna dengan berat 20 kg ke atas.

 

Nelayan melakukan bongkar muat ikan hasil tangkapan, termasuk ikan tuna di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada akhir November 2015. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan Laporan Tahunan MDPI 2016, selama 2016, sebanyak 288 ton ikan tuna bersertifikasi fair trade telah diekspor ke Amerika Serikat. Hasilnya, nelayan mendapatkan sekitar USD 92.500, atau sekitar Rp1,2 miliar, dana premium dari kelompok nelayan.

Namun, menurut Aditya dan Robert, hasil terbesar dari program fair trade bagi nelayan kecil adalah berkurangnya kesenjangan antara nelayan kecil dengan nelayan besar. Dengan tingginya harga jual ikan tuna dan dana premium yang diperoleh, nelayan bisa meningkatkan taraf hidup.

Di sisi lain, konsumen juga bisa lebih bertanggung jawab terhadap perikanan. Ketika konsumen membeli produk yang dilengkapi label fair trade, mereka tahu bagaimana nelayan dan pekerja bisa memperoleh pendapatan adil terhadap kerja keras mereka.

Fair trade adalah cara mudah untuk memastikan bahwa di setiap pembelian produk terdapat harga dan upah pun lebih baik, kondisi kerja yang lebih baik, perlindungan terhadap lingkungan, dan penghargaan lebih tinggi terhadap nelayan,” tegas Aditya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,