Nestapa Nelayan di Sekitar Pembangkit Listrik Batubara Labuan (Bagian 2)

 

“PLTU polusi, bukan solusi.” “Kembalikan Laut kami yang dulu.” “Laut kami, hidup kami.” “Alam bukan sapi perah PLTU.” Begitulah sebagian poster aksi nelayan Labuan, Banten.

Pagi itu, sekitar 100-an nelayan di Desa Teluk, Labuan, Banten, ini berkumpul di sekitar dermaga tetapi tak melaut. Awal Agustus itu, , para nelayan dan anak buah kapal (ABK) ini konvoi di dermaga PLTU Labuan II Banten.

Mereka protes PLTU yang hampir 10 tahun terakhir timbulkan kerusakan bagi ekonomi, sosial dan lingkungan masyarakat pesisir, terutama Desa Teluk ini.

Desa Teluk, salah satu desa di Kabupaten Padeglang, Banten, yang sebagian besar warga hidup dari mencari ikan, udang dan cumi di laut. Desa seluas 97 km persegi ini berbatasan di sebelah barat dengan Selat Sunda, dihuni sekitar 1.800 penduduk. Ekonomi desa bergantung pada tangkapan laut nelayan.

Baca juga: Nestapa Nelayan di Sekitar Pembangkit Listrik Batubara Labuan (Bagian 1)

Sejak ada PLTU Labuan II berkapasitas 2×300 Mw, nelayan tradisional Desa Teluk mengeluh ikan sepi di wilayah biasa mereka mencari ikan. Mereka duga dampak limbah PLTU ke laut dan jangkar kapal tongkang batubara yang dibuang di laut.

Limbah PLTU menyebabkan ikan berimigrasi ke tengah laut, dan jangkar tongkang tak jarang tersangkut di jaring nelayan. Belum lagi, batubara tumpah ke laut merusak ekosistem di sekitar Pulau Popole, biasa nelayan mencari ikan dan udang.

Aksi pertama warga di depan Kantor Sahbandar Desa Teluk. Ratusan nelayan membawa plang tanda protes. Tak lama, massa aksi membagi diri jadi dua kelompok. Sebagian besar naik ke perahu-perahu yang sudah disiapkan dan berlayar bersama menuju dermaga PLTU.  Sebagian meneruskan aksi di darat.

“Sengaja memang lebih banyak yang aksi di laut, karena inti masalah yang ingin kita sampaikan terutama soal dampak di laut,” kata Ade Bideng, koordinator aksi.

Sebuah perahu dengan spanduk kuning besar, “Kembalikan Kelestarian Alam,” jadi perahu komando. Setelah seratusan perahu keluar dari dermaga, perahu-perahu ini mengikuti komando berlayar menuju Dermaga PLTU.

 

Para perempuan aksi protes PLTU Labuan. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Tak hanya nelayan laki-laki, beberapa kapal diisi para perempuan nelayan yang membawa anak-anak.

Menjelang siang, perahu-perahu nelayan merapat di Dermaga PLTU. Tertib, perahu-perahu berbaris memenuhi dermaga. Satu jeti tampak stand by di sana.

Puluhan petugas keamanan sudah menanti, Satu perahu patroli polisi mengarahkan perahu-perahu nelayan.

Beberapa nelayan sempat naik ke jeti PLTU. Suara komando dari perahu komando meminta para nelayan tak menaiki properti PLTU.

Di hadapan para petugas dan sebagian karyawan PLTU, nelayan menyampaikan tuntutan mereka.

“Tiga tahun lalu kami mengajukan tuntutan kepada PLTU untuk mengeruk muara yang kini dangkal. Hari ini, kami menuntut janji PLTU, realisasi janji PLTU III tahun lalu,” kata Muhammad Tobiin, nelayan peserta aksi.

Dia bilang, terumbu karang rusak, dan mereka sulit mencari ikan. Janji tiga tahun lalu, katanya, tidak ada realisasi hingga kini. “Hari ini kami ajak semua nelayan menuntut realisasi janji PLTU di Desa Teluk,” katanya.

Saat musim angin barat, katanya, batubara dari kapal tongkang tumpah, disapu ombak hingga ke pinggiran pantai. Akibatnya, banyak terumbu karang di pinggiran pantai rusak.

“Dulu kami sejahtera. Setiap hari melaut tak ada masalah. Kini setelah ada PLTU, dampak baru terasa beberapa tahun kemudian, terjadi abrasi dan pendangkalan muara.”

Selain pengerukan, nelayan juga meminta ganti rugi karena kapal tongkang yang menghalangi jalur lintasan nelayan, dan sering merusak jaring, kipas dan as poros perahu. Seringkali perahu nelayan kandas.

Nelayan juga protes penggunaan jalan desa oleh PLTU sebagai akses keluar masuk kendaraan yang menyebabkan jalanan hancur dan rusak.

“Itu jalan desa, dipakai PLTU bahkan ditutup. Kami minta kembalikan jalan kami,” kata Ade.

 

Nelayan dan PLTU. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Akui cemari laut

Tepat tengah hari, Manager Indonesia Power, Parsono,  tampak menemui massa. Parsono didampingi beberapa staf mula-mula berusaha mengajak utusan nelayan berunding. Komando di perahu utama menolak.

“Kami tidak mau ada diskusi di meja atau dalam ruangan. Apa yang ingin bapak sampaikan, sampaikan di sini agar semua mendengar. Kawan-kawan mohon tak ada yang naik (ke dermaga),” perintah suara komando.

Sepakat dengan permintaan nelayan, Parsono bicara.

Awalnya, Parsono mengakui kapal tongkang pengangkut batubara PLTU telah mencemari laut di mana para nelayan biasa mencari ikan. PLTU, katanya, telah lama membicarakan rencana pengerukan muara yang kini dangkal.

“Saya berusaha sekuat tenaga menggalang dana untuk menyelesaikan masalah ini. Bersama manajemen kami berkunjung ke mulut muara. Kami juga sudah memberi tahu perusahaan pemasok. Setiap kali rapat direksi saya selalu menyampaikan ini,” katanya.

Perusahaan pemasok, kata Parsono, bersedia memberikan dukungan dana untuk pengerukan muara. Namun kedua pihak, baik PLTU maupun pemasok berdalih bingung soal teknis pengiriman dana.

“Kami belum bisa menentukan akan dikirim kemana dana itu,” katanya, beralasan.

Manajemen PLTU, katanya,  akan mengirimkan surat kembali kepada direksi dan pemasok soal tuntunan nelayan itu.

Nelayan peserta aksi menjawab singkat alasan Parsono. Menurut nelayan, PLTU mestinya mem-black list perusahaan yang tak mengindahkan surat atau teguran manajemen PLTU.

“Manajemen juga tak pernah ada sanksi untuk perusahaan yang merusak lingkungan laut.”

Hingga tengah hari berlalu tak kunjung ada kesepakatan. Perdebatan manajer Indonesia Power dan para nelayan makin alot. Nelayan membeberkan lebih banyak dampak negatif kehadiran PLTU di wilayah mereka, seperti polusi, penyakit ISPA yang menjangkiti warga hingga jalan desa rusak karena kendaraan pembangkit.

Parsono berkilah tak ingin membicarakan masalah lain, selain pendangkalan muara dalam pertemuan itu.

Para nelayan tak lagi bisa menerima alasan apapun yang disampaikan Parsono. Menurut mereka dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya hal sama diungkapkan PLTU.

Akhirnya menjelang sore, nelayan memberi ultimatum pada PLTU. Mereka memberi waktu 7×24 jam untuk pengerukan.

“Jika tidak,  kami akan kembali dengan masa lebih besar, dan akan menduduki dermaga ini 3×24 jam.”

 

Nelayan setop melaut dan aksi protes ke Dermaga PLTU Labuan. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Tanggungjawab PLTU

Didit Wicaksono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, mengatakan, manajemen PLTU pihak paling bertanggungjawab mengenai kerusakan lingkungan.

“Karena kondisi ini hasil aktivitas mereka. Dampak yang timbul karena PLTU tidak melakukan kerja sesuai kaidah yang benar. Bahkan mungkin melanggar aturan dalam Amdal,” katanya.

Untuk pemulihan lingkungan, kata Didit, perlu keseriusan PLTU karena akumulasi dari pola-pola kerja sejak awal tak memperdulikan lingkungan dan masyarakat sekitar.

“Jangan hanya pemulihan lingkungan yang tampak tapi harus menyeluruh dan tuntas.”

Kondisi serupa, kata Didit, ditemui di semua daerah yang memiliki PLTU. Permasalahan pendangkalan dan sedimentasi ditemui di PLTU Jepara, Cirebon. Pun dampak polusi tak lepas dimanapun pembangkit batubara beroperasi.

PLTU Labuan II Banten ini bagian dari program percepatan 10.000 Mw era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Greenpeace sangat menyayangkan, kala masalah timbul selesai, pemerintahan Presiden Joko Widodo mencanangkan lagi program 35.000 Mw yang sebagian besar masih PLTU batubara.

“Mengingat banyak kerusakan ditimbulkan PLTU, harusnya pemerintah berpikir ulang dan beralih ke energi baru dan terbarukan yang begitu melimpah di Indonesia.”

Mengenai kesulitan pendanaan yang dinyatakan manajemen Indonesia Power, Didit menilai tak masuk akal. Dalam rancangan pembangunan mestinya PLTU membangun break water,  dalam Amdal juga memasukkan dampak yang ditimbulkan dan pola mitigasi. “Artinya, perusahaan mestinya sudah mengalokasikan dana untuk mengatasi ini.”

 

Mulai pengerukan

Seminggu setelah aksi nelayan, PLTU akhirnya mengeruk muara. “Kemarin sudah mulai pengerukan,” kata Ade melalui pesan singkat kepada Mongabay, pekan lalu.

Namun, katanya, warga Desa Teluk masih akan menuntut PLTU memenuhi tuntutan lain terkait ganti rugi kerusakan jaring dan perahu serta jalan desa. (Habis)

 

Aksi warga Labuan, protes pencemaran oleh PLTU. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,