Banjir dan Longsor Terbanyak Telan Korban pada 2017, Waspadai Ancaman Bencana Tahun Depan

 

Sejak awal tahun, terhitung musim penghujan banjir dan longsor mulai terjadi di berbagai daerah, dengan puncak pada Februari 2017. Banjir dan longsor pun jadi melanda, seperti 9-10 Februari melanda perbukitan Kintamani, Bangli, Bali. Sebanyak 12 warga dilaporkan meninggal dunia. Hampir bersamaan, Bitung, Sulawesi Utara, juga banjir.

Maret, longsor masih terjadi di beberapa daerah, seperti Jawa Barat. Pada April, Ponorogo, Jawa Timur,  juga alami  longsor merenggut 28 jiwa.

Akhir tahun ini juga ditutup dengan beragam kejadian longsor, banjir dan puting beliung di banyak daerah seperti Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, sampai Jakarta.

Kala penghujan, banjir dan longsor jadi bencana ‘tren’, musim kemarau, kebakaran hutan dan lahan sampai pemukiman pun menimpa. Silih berganti.

”Indonesia dikenal dengan laboratorium bencana,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas        Badan Nasional Penanggulangan Bencana, baru-baru ini kala refleksi akhir tahun di Jakarta.

Indonesia, daerah rentan bencana. Sepanjang tahun, dari Januari hingga Desember,  selalu terjadi bencana, mulai banjir, puting beliung, longsor, kebakaran hutan dan lahan, gempa bumi, erupsi gunung berapi, dan tsunami.

BNPB menyebutkan,  bencana terjadi kebanyakan karena kerusakan alam kian meningkat. Pemulihan lahan, katanya,  tak sebanding kerusakan yang terjadi.

Kondisi ini, terakumulasi terus-menerus. Kalau tak segera terantisipasi semua pihak akan makin parah. Tahun ini, kejadian bencana meningkat dari tahun sebelumnya.

Sutopo mengatakan, tren bencana Indonesia sejak 2002, lebih 93% karena bencana hidrometrologi. Bencana meteorologi adalah bencana yang muncul karena parameter meteorologi seperti curah hujan, kelembaban, temperatur maupun angin. Bencana-bencana itu seperti banjir, longsor, kekeringan, puting beliung, kebakaran hutan, El-Nino, La-Nina, Longsor, sampai gelombang  panan maupun dingin. Tahun 2017, katanya, banjir, puting beliung, dan tanah longsor paling dominan.

”Tahun 2017, tanah longsor bencana paling mematikan dan banjir bencana paling banyak,” katanya.

Selama 2017, sampai 22 Desember, tercatat 377 tewas dan hilang, 1.005 luka-luka dan 3.494.319 orang mengungsi serta menderita.

Kerusakan fisik karena bencana meliputi 47.442 rumah rusak (10.457 rusak berat, 10.470 rusak sedang dan 26.515 rusak ringan), 365.194 rumah terendam banjir. Sebanyak 2.083 bangunan fasilitas umum rusak, meliputi 1.272 fasilitas pendidikan, 698 peribadatan dan 113 fasilitas kesehatan.

Tercatat, ada 2.341 bencana selama 2017 dengan rincian banjir (787), puting beliung (716), tanah longsor (614), kebakaran hutan dan lahan (96). Lalu, banjir dan tanah longsor (76), kekeringan (19), dan gempabumi (20), gelombang pasang dan abrasi (11), dan letusan gunungapi (2).

Longsor, katanya, jadi bencana paling banyak menimbulkan korban jiwa, sekitar 156 orang tewas, 168 jiwa luka-luka, 52.930 mengungsi dan menderita. Selama 2017, sekitar 7.000-an rumah rusak karena longsor.

Banjir sebabkan 135 orang tewas, 91 jiwa luka-luka, lebih 2,3 juta jiwa mengungsi, dan ribuan rumah rusak. Puting beliung (angin kencang) pun alami peningkatan. Ada 716 puting beliung dengan 30 jiwa tewas, 199 luka, 14.901 jiwa mengungsi dan menderita, dan sekitar 15.000-an rumah rusak.

Memasuki penghujung tahun, pada 27-29 November lalu, siklon tropis Cempaka sebabkan bencana banjir, longsor dan puting beliung pada 28 kabupaten dan kota di Jawa. Sekitar 41 orang tewas, 13 luka-luka dan 4.888 rumah rusak.

Sutopo bilang, daerah paling terdampak Pacitan, Wonogiri, Gunung Kidul dan Kulon Progo.

Korban bencana di Indonesia, terbilang tinggi karena sekitar 150 juta jiwa tinggal di daerah rawan bencana. Sekitar, 63,7 juta jiwa tinggal di rawan banjir dari zona sedang hingga merah, 40,9 juta jiwa rentan bahaya sedang-tinggi bencana longsor.

BNPB memprediksi,  bencana hidrometrologi masih menghantui hingga 2018. Mulai dari banjir, longsor, hingga puting beliung.

 

Kondisi Polsek Pangkalan, Kabupaten Limapuluh Kota, 3 Maret 2017. Foto: BPBD Limapuluh Kota

 

Berdasarkan, tren bencana sejak 2002, kejadian bencana diperkirakan masih berada pada angka 2.000-an seperti dua tahun sebelumnya.

”Menurut prakiraan BMKG, musim hujan dan kemarau pada 2018 akan normal. Diprediksi kita ada sekitar 2000 kejadian bencana di seluruh Indonesia, 90% bencana hidrometeorologi,” katanya.

Besaran bencana banjir maupun longsor tergantung dari intensitas hujan dan kondisi lingkungan yang sudah darurat ekologis, seperti lingkungan rusak, degradasi hutan, DAS kritis dan tingginya kerentanan lain  yang menyebabkan banjir dan longsor meluas. Tata ruang daerah yang carut marut juga berkontribusi pemicu bencana.

Menurut dia, longsor, jadi bencana hidrometrologi banyak menelan korban karena masyarakat banyak tinggal di zona merah rawan.

Musim penghujan masih berlanjut, puncak pada Februari hingga Maret 2018, dengan pola dari November 2017 hingga April 2018.”

Dia mengingatkan, masyarakat yang langganan banjir maupun tanah longsor selalu waspada. Peta wilayah rawan, katanya,  masih sama bahkan meluas jika ada kejadian ekstrim.

Dampak perubahan iklim global, kata Sutopo, memiliki pengaruh besar, seperti hujan makin lebat dan frekuensi meningkat.

Pulau Jawa, katanya, jadi provinsi paling rentan bencana. “Konsentrasi bencana banyak di Pulau Jawa. Karena daya dukung dan tampung lingkungan sudah terlampaui. Ini menyebabkan banyak kejadian,” katanya seraya bilang penduduk Jawa sekitar 155 juta jiwa dari 261 juta populasi Indonesia.

Sebaran kejadian bencana terbanyak di Jawa Tengah, yakni 600 bencana, diikuti Jawa Timur, Jawa Barat, Aceh dan Kalimantan Selatan. Adapun, kejadian bencana per kabupaten (kota),  lima daerah paling sering terjadi bencana adalah kabupaten dan kota Bogor, terjadi 79 bencana. Selanjutnya, kabupaten dan Kota Cilacap, Ponorogo, Temanggung dan Banyumas.

 

Pilkada pengaruhi penanganan bencana?

Sutopo mengingatkan, pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 171 daerah di Indonesia, diikuti 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota bisa berpengaruh pada upaya penanggulangan bencana hingga perlu antisipasi sejak dini.

”Bencana melanda daerah rawan bencana ini menyebabkan keluarga miskin meningkat,” katanya. Kondisi ini, katanya, karena ada peningkatan gagal panen, kehilangan aset produksi, dan kehidupan sehari-hari terganggu.

”Penyakit bermunculan, utang meningkat, kehidupan keluarga miskin jadi lebih sengsara karena mengalami proses pendalaman kemiskinan.”

Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG mengatakan, hingga Desember, sebanyak 93,27% wilayah Indonesia memasuki musim hujan,  sisanya mengalami kemarau lokal, seperti beberapa wilayah di Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Sulawesi dan Maluku.

Puncak hujan pada Desember ini terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Untuk Januari 2018, puncak hujan di Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara.

”Iini karena supply masa udara lembab dari Samudera Pasifik dan daratan Asia serta dari Samudera Hindia terakumulasi di kepulauan Indonesia, hingga sangat insentif penyebab tingginya potensi hujan lebat di Indonesia,” katanya.

 

 

Tak hanya itu, masyarakat perlu mewaspadai potensi angin kencang lebih dari 20 knot atau lebih dari 36 km/jam, seperti di Laut China Selatan, Laut Natuna, Laut Jawa, Laut Banda, Samudera Hindia Selatan,  Jawa Tengah hingga NTB.

”Angin kencang ini berpengaruh pada gelombang tinggi, khusus Perairan barat Sumatera, Laut Natuna, Laut Jawa, Laut Banda, dan perairan selatan Jawa hingga Nusa Tenggara.

 

Anggaran BNPB malah turun

Berdasarkan data BNPB, tahun 2017,  bencana turun 4,7% dibandingkan 2016, korban meninggal dan hilang turun 36% dan kerusakan rumah turun 8%. Meski demikian, korban menderita dan mengungsi mengalami kenaikan 9%.

”Rata-rata kerugian ekonomi setiap tahun karena bencana sekitar Rp30 triliun,” kata Sutopo.

Angka ini, belum termasuk dampak kerugian dan kerusakan karena bencana besar. Total perkiraan kerugian bencana 2017 sebesar Rp12,94 triliun.

BNPB memprediksi,  melihat musim sama, bencana pada 2018, masih relatif konstan, sekitar 2.000-an. Sayangnya, anggaran malah turun hampir 50%.

Pada 2017, APBN BNPB sebesar Rp1,2 triliun, untuk gaji pegawai dan penanggulangan bencana. ”Tahun depan, dana APBN berkurang jadi Rp748 Miliar. Ini ironi, di satu sisi bencana meningkat, dana berkurang.”

Selain dari APBN, BNPB juga mendapatkan dana cadangan, biasa disebut dana alokasi khusus, berada di Kementerian Keuangan Rp4 triliun dan dibantu APBD tetapi anggaran daerah sangat terbatas. ”Rata-rata 0,02%, apalagi ini mendekati pilkada, dana pasti berkurang,” katanya.

Sutopo memperkirakan,  dana ideal BNPB dalam penanganan bencana cepat Rp15 triliun.”Jadi begitu rumah hancur, kita membuat stimulus, bantu dana ke warga. Sekarang, harus menunggu tahun depan, belum cair dana tapi ada lokasi lain yang terkena bencana lagi. Inilah yang menyebabkan penanggulangan bencana tak dapat cepat,” ucap Sutopo.

 

Gempa bumi dan gunung berapi

Ada bencana lain seperti gempa bumi dan gunung berapi. BNPB meminta baik pemerintah maupun masyarakat mewaspadai peta rawan gempa.

Di tahun 2017, ditemukan 214 sumber gempa baru, jadi teridentifikasi 295 sesar aktif  yang perlu jadi perhatian. Jawa, katanya,  memiliki 37 sesar aktif, Sulawesi (48), Papua (79), Nusa Tenggara dan Laut Banda (49).

Berdasarkan data BMKG, selama 2017,  terjadi gempa 6.893 gempa, 508 kali memiliki kekuatan lebih 5 SR dan 19 gempa bumi yang merusak. Paling besar adalah gempa bumi di Tasikmalaya, kekuatan 6.9 SR. ”Rata-rata 718 gempa setiap bulan,” kata Dwikorita.

Ada sekitar 4.500 kali gempa per tahun tercatat BMKG. Gempa bumi magnitude lima atau lebih merusak dan terjadi rata-rata 360 kali per tahun. ”Sebagai langkah pengurangan dampak risiko gempa bumi dan tsunami, masyarakat diimbau lebih siap sebelum bencana terjadi, seperti struktur bangunan, langkah penyelamatan gempa bumi dan tsunami.”

BNPB memprediksi,  rata-rata 500 gempa setiap bulan pada 2018. Wilayah timur Indonesia perlu lebih diperhatikan, karena wilayah itu memiliki seismisitas dan geologi lebih rumit serta kerentanan lebih tinggi.

Setiap gempa, seringkali berkorelasi dengan potensi tsunami. Namun, katanya, pemicu tsunami itu gempa berkekuatan 7 SR ke atas, dengan pusat gempa berada 20 km dari permukaan dan di jalur subduksi.

Pembelajaran catatan gempa dangkal dan tsunami di Indonesia yang pernah terjadi sebelumnya, katanya, jadi sangat penting.

Dia sebutkan, beberapa lokasi sudah lama tak gempa meskipun daerah itu punya catatan pernah gempa dan tsunami besar.

Beberapa contoh, pada 1674 di Ambon pernah gempa dangkal dan tsunami hingga 80-100 meter menelan korban jiwa sampai 2.243 jiwa. Tahun 1992, di Ende, Flores Timur,  pernah gempa kekuatan 7,8 SR memicu tsunami 36 meter, menelan 2.600 korban jiwa tewas dan hilang.

”Peralatan mitigasi dan sumber daya manusia masih rendah untuk mengantisipasi tsunami,” katanya. Jadi, kesiapsiagaan ini harus terus dilakukan sepanjang tahun.

Berdasarkan Indeks Resiko Bencana di Indonesia, ancaman tsunami di Indonesia, ada 233 dari 515 kabupaten dan 23 dari 34 provinsi.

Hingga kini terdapat 20 gunung api aktif dari 127 gunung api status di atas normal. Kini, terdapat dua status awas dan 18 status waspada. Gunung Agung dan Sinabung,  hingga kini masih status awas.

Gunung Sinabung sudah menetapkan status awas sejak 2 Juni 2015, adapun relokasi sebanyak tiga tahap. Total dana digelontorkan mencapai Rp589 miliar.

Gunung Agung,  sejak 27 November 2017 hingga sekarang, pengungsi mencapai 72.114 jiwa di 240 titik. Bencana ini jadi kerugian ekonomi paling besar, mencapai Rp11 triliun. Paling besar penurunan, katanya,  dari sektor pariwisata, sekitar Rp9 triliun sejak penetapan status awas pada September hingga kini.

Ada 127 gunung aktif di Indonesia. Sebanyak 75 kabupaten dan kota berada di bahaya sedang-tinggi dari erupsi gunung api dan 1,2 juta penduduk terpapar bahaya itu.

 

Kebakaran hutan dan lahan

Tahun ini, kebakaran hutan dan lahan dapat teratasi lebih baik. Tahun depan, kata Sutopo, harus lebih intensif, apalagi Agustus-September masuk puncak kemarau.

Khusus di Sumatera Selatan, perlu diperhatikan, pada 18 Agustus 2018–2 September 2018 ada perhelatan Asian Games 2018.

”Penanganan karhutla telah berhasil ini juga karena ada upaya serius dan kompak antarberbagai pihak,” katanya.

Luas karhutla tahun ini, berkurang 65,7% dibandingkan 2016, titik hotpsot berkurang hingga 33% dan indikator keberhasilan lain baik seperti jarak lihat, korban ISPA, pencemaran udara dan lain-lain.

 

Relawan melintas di jalur banjir bandang Grabag, Magelang. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , ,