Potensi kebakaran hutan dan lahan di berbagai wilayah di Indonesia masih belum akan usai. Hal ini terungkap dari hasil pantauan satelit NOAA 18 yang memperkirakan akan terjadinya El Nino di bulan Oktober mendatang, dan akan mempengaruhi tingkat kekeringan udara berbagai wilayah tanah air.
El Nino, yang diperkirakan akan menyerang Oktober mendatang, adalah sebuah gejala penyimpangan pada suhu permukaan Samudra Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata normalnya. Gejala ini lebih umum dikenal di kalangan awam dengan nama El Niño. Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menamakan arus laut hangat yang kadang-kadang mengalir dari Utara ke Selatan antara pelabuhan Paita dan Pacasmayo di daerah Peru yang terjadi pada bulan Desember. Kejadian ini kemudian semakin sering muncul yaitu setiap tiga hingga tujuh tahun serta dapat memengaruhi iklim dunia selama lebih dari satu tahun. Karena fluktuasi dari tekanan udara dan pola angin di Selatan Pasifik yang menyertai El Niño, fenomena ini dikenal dengan nama El Niño–Southern Oscillation (ENSO). Gejala El Niño tidak selalu diikuti dengan Southern Oscillation, dan tanpa kombinasi keduanya efek global tidak terjadi. El nino terjadi karena pemanasan di ekuator samudra pasifik dan pemanasan global juga menjadi salah satu unsurnya.
El Nino ini membuat hembusan angin yang dibawa menjadi sangat minim uap air dan bersifat kering, sehingga tidak terjadi hujan di wilayah-wilayah yang terdampak. Artinya, kemungkinan munculnya titik api di wilayah yang rawan kebakaran juga akan besar terjadi. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya. “Berdasarkan informasi FDRS dan prediksi curah hujan yang menurun, maka kebakaran lahan dan hutan akan berpotensi terjadi pada delapan Provinsi rawan, yakni Sumatera Utara, Riau, jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,” ungkap Balthasar.
Selain prediksi cuaca bulan Oktober mendatang yang dikhawatirkan akan mengganggu jalannya pesta olahraga PON XVIII di Riau, Kementerian Lingkungan Hidup juga mengungkap berbagai fakta terkait pantauan satelit NOAA 18 di berbagai wilayah RI. Berdasar hasil pantauan tersebut, dari Januari sampai 15 Juli 2012, jumlah titik panas tertinggi terjadi tiga propinsi, yaitu di Provinsi Riau 2643 titik api, Sumatera Selatan 1180 titik api dan Kalimantan Barat 1053 titik api.
Di Provinsi Riau sendiri jumlah titik api terbanyak terdistribusi di Kabupaten Pelalawan yang tertinggi (527), Bengkalis (420) dan Rokan Hilir (405).
Dari hasil pantauan itu, dikatakan juga Fire Danger Rating System (FDRS) pada 15 Juli 2012 menunjukkan, Provinsi Riau dan Kalimantan Barat sangat mudah kebakaran, akan sangat sulit untuk dikendalikan. Bisa mengakibatkan penurunan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU), dan pencemaran asap lintas batas.
FDRS adalah sistem untuk mengetahui tingkat kerawanan kawasan yang didasarkan pada kelembaban, suhu, dan curah hujan. Lebih lanjut dijelaskan, tinjauan lapangan pada 19 – 21 Juni 2012 di Riau dan Kalimantan Barat, terlihat kebakaran terjadi di lahan milik masyarakat, kawasan hutan dan perkebunan.
“Sementara itu, sistem peringatan dini, pencegahan dan penanggulangan serta penegakan hukum di daerah masih harus ditingkatkan,” katanya.
Sebagai tindak lanjut, Kementerian Lingkungan Hidup menyarankan pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan hutan perlu ditingkatkan pada delapan Provinsi rawan, serta diusulkan untuk menetapkan dua Kabupaten di Riau yakni Pelalawan dan Rokan Hilir, serta dan dua Kabupaten di Kalbar yakni Sambas dan Kubu Raya sebagai prioritas pencegahan dan penanggulangan.
“Perlu dipersiapkan juga operasi hujan buatan di Provinsi rawan dan untuk menghadapi penyelenggaraan PON September 2012 di Pekanbaru,” tandasnya. Dikhawatirkan, asap bakal mengganggu berbagai pertandingan yang diikuti seluruh provinsi.