,

Greenpeace Desak RSPO Larang Kebun Sawit di Hutan dan Gambut

GREENPEACE Internasional mendesak Roundtable on Sustainable Palm Oil  (RSPO) bisa menetapkan pelarangan penuh pengembangan kebun sawit di hutan dan lahan gambut. Pertemuan rutin RSPO ke 10 ini diselenggarakan di Singapura, 30 Oktober hingga 1 November 2012.

Wirendro Sumargo, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, sampai saat ini, perusahaan yang  menjadi anggota dan produk berlabel RSPO, belum menjamin produk mereka bukan dari hasil merusak hutan dan lahan gambut. “Standar RSPO masih sangat lemah, karena belum bisa memastikan pembangunan sawit tidak ada menyebabkan deforestasi,” katanya di Jakarta, Senin(29/10/12).

Indonesia, sebagai produsen sawit nomor satu dunia, dengan luas lahan sembilan juta hektar. Potensi pengembangan kebun, dua kali lipat pada 2030 dan tiga kali lipat pada 2050.  Dengan pengembangan sawit yang massif ini, paling menerima dampak adalah alam Indonesia. Sebab, pengembangan kebun sawit di Indonesia, berkaitan erat dengan membuka hutan dan merusak gambut. Saat ini saja, sekitar dua juta hektar kebun sawit ada di lahan gambut.

“Untuk itu Greenpeace mendesak RSPO mengetatkan standar mereka dengan melarang penuh kebun sawit dikembangkan di hutan dan lahan gambut.”

Rendro mengatakan, pembukaan sawit  dengan merusak hutan dan lahan gambut, menyebabkan pelepasan emisi gas begitu cepat. Di Indonesia, dua sektor ini menyumbang 80 persen pelepasan emisi karbon. Luas gambut Indonesia, hanya 0,1 persen dari dunia tapi menyumbang empat persen gas rumah kaca.

Beberapa tahun ini, RSPO memang telah membahas mengenai cara menangani masalah gas rumah kaca dampak deforestasi dan pengeringan gambut. “Ini dilanjutkan dengan pertemuan 2010, tapi belum jelas, apakah akan diadopsi lahan gambut dan hutan diproteksi, tak akan dibangun kebun sawit,” ujar dia.

Suzanne Kroger, Koordinator Kampanye Sawit, Jaringan Hutan Greenpeace, menambahkan, dalam pertemuan di Singapura ini, kesempatan bagi RSPO mengetatkan standar mereka dengan mendorong perlindungan hutan dan gambut. Dia juga berharap, konsumen-konsumen sawit dunia seperti dari Eropa, lebih peduli,  hingga mampu mendesak produsen agar memperkuat standar RSPO ini.

Terkait isu hutan dan gambut ini pula, Greenpeace Internasional, telah mengeluarkan rapor untuk 11 perusahaan besar sawit di dunia. Posisi rapor terburuk diduduki dua perusahaan anggota RSPO, Indofood Agri Resources Ltd dan PT Darmex Agro (Duta Palma). Dua perusahaan ini, dalam kebijakan perusahaan sama-sama tidak memperhatikan masalah perlindungan hutan maupun lahan gambut. Produk sawit mereka pun masih di bawah 25 persen yang mendapatkan sertifikat RSPO. PT Astra Agro Lestari Tbk, non anggota RSPO yang memiliki 2,5 persen produksi dunia, juga belum memiliki kebijakan melindungi hutan dan lahan gambut.

Rapor 11 perusahaan besar sawit dunia. Tanda centang tebal menunjukkan perusahaan itu sudah lebih dari 50 persen peduli pada perlindungan hutan, gambut, maupun 50 persen lebih produk bersertifikat RSPO. Untuk centang tipis, menunjukkan persentase 25-50 persen.

RSPO Beyond

Dalam pertemuan RSPO nanti, Greenpeace akan menggalang dukungan mengajak produsen dan konsumen sawit dunia untuk komit dengan memiliki standar RSPO yang lebih maju (RSPO beyond). Menurut Rendro,  Greenpeace akan membentuk kelompok tersendiri bersama perusahaan-perusahaan antara lain, Agropalma Brazil, New Britain Oil Ltd dan Golden Agri Resources Ltd (GAR). “Tak hanya produsen, kami juga mengajak konsumen yang memiliki komitmen mendorong RSPO beyond, lewat penyelamatan hutan dan lahan gambut dari kebun sawit.”

Artikel yang diterbitkan oleh
,