“Jangan pernah mau kebun karet ditebang jadi sawit. Rugi,” kata Nawawi, warga Parit Tenaga Baru, Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya. Dia juga Wakil Ketua Kelompok Masyarakat Tenaga Baru. Desa ini tempat beroperasi salah satu anak usaha Wilmar International Limited, PT Bumi Pratama Khatulistiwa (PT BPK).
Nawawi memilih mengurus 600 pohon karetnya daripada menjadi petani plasma maupun pekerja di kebun sawit. Bagi dia, lebih menjanjikan mengelola kebun karet dan tanaman lain seperti langsat, maupun durian daripada sawit. “Walau harga karet lagi turun, per hari menghasilkan sekitar Rp400 ribu. Kalau sebelumnya sampai Rp1 juta.”
Sejak perusahaan sawit ada, warga sekitar mayoritas sebagai buruh harian atau pekerja borongan. Upah yang diberikan pun rendah. “Misal membersihkan satu pohon, itu dibayar Rp175.” Membersihkan pohon sawit, tidak gampang, harus benar-benar bersih menurut petugas perusahaan. “Biasa sudah selesai bersihkan, mereka bilang belum, itu warga disuruh bersihkan lagi dan tak dibayar.”
Untuk buruh harian dengan jam kerja 6.00 sampai 15.00, upah Rp37.500 per hari. Pekerja borongan tak kalah miris, dalam 1,5 bulan kadang ada yang mendapatkan hasil hanya Rp200 ribu!
Ungkapan Nawawi diamini Bambang Haryono, Ketua Kelompok Tani Desa Sungai Enau. Menurut dia, masalah kesejahteraan pekerja yang rendah, menjadi salah satu pemicu warga terus aksi. Pekerja atau buruh harian tetap/BHT) maupun buruh harian lepas (BHL) sama-sama tak mendapatkan upah layak. Dengan upah sekitar Rp960 ribuan per bulan, pekerja tak mendapatkan tunjangan apa-apa lagi. “Bukan itu saja, status mereka nih tak jelas. Ada yang sudah tiga tahun, tak diangkat-angkat. Jadi buruh harian lepas terus.”
Para pekerja protes. Mereka berupaya menempuh jalur musyawarah, tetapi tak membuahkan hasil. “Kita sarankan mediasi dulu. Pakai cara-cara musyawarah tapi tak mendapat tanggapan perusahaan,” ucap Bambang.
Merekapun mengirimkan surat berisi antara lain mempertanyakan status dan peningkatan kesejahteraan, kepada perusahaan yang ditembuskan ke Dinas Tenaga Kerja dan DPRD. “Mereka minta perusahaan mempekerjakan mereka sesuai aturan pemerintah. Tetap saja tak ada tanggapan.”
Ternyata tak hanya pekerja di perusahaan dan kebun sawit inti yang merasa tak diperlakukan layak. Para petani plasma pun mengalami nasib tak jauh beda. Banyak petani mengeluh karena pendapatan dari kebun plasma sangat rendah. Per bulan, ada yang hanya Rp50 ribu.
Ali, petani Parit Kongsi, kerab merasakan per bulan hanya mendapatkan Rp50 ribu. Dia tak habis pikir, hasil begitu kecil. Dia sering mempertanyakan, tapi ada saja alasan dari ketua kelompok petani plasma di sana. “Padahal, satu persil saja ada 290 pokok. Tapi hasil segitu.”
Ali bersyukur tak menggantungkan pendapatan dari sawit kebun plasma. Dia masih memiliki sekitar 30 hektar kebun karet unggul. Belum lagi, hasil kebun lain seperti 100 pohon durian, 170 pohon langsat, sampai petai yang biasa dipasok ke restoran-restoran di Pontianak.
Dia sempat berpikir mau menebang karet menjadi sawit tetapi urung. Dia hanya menebang sekitar 20 hektar pohon karet tua kurang produktif, kini tersisa 30 hektar yang unggul. “Sayang juga. Kalau semua kebun jadi sawit, tak bagus. Bagus, banyak, ada karet, durian, langsat dan sawit.”
Saderi, Ketua Kelompok Masyarakat Tanaga Baru, mengalami nasib sama. Dari hasil kebun sawit plasma, per bulan menerima hanya Rp50 ribu-Rp70 ribu bahkan biasa tak mendapatkan sama sekali. “Ini dipermainkan.”
Walhi Kalimantan Barat (Kalbar) sudah melakukan penelitian lapangan seputar beragam persoalan dampak kehadiran PT BPK pada April 2012. Hendrikus Adam, Koordinator Divisi Riset dan Dokumentasi Walhi Kalbar mengungkapkan, terjadi aksi protes oleh masyarakat adat maupun karyawan karena perusahaan dianggap merugikan mereka. “Seperti protes karyawan dan buruh mengenai penghapusan dana insentif, tuntutan mendapatkan cuti kerja dan tunjangan kesehatan, serta kenaikan upah.”
Dia mengatakan, Wilmar sebagai anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil(RSPO) dan yang mendapat kucuran dana perpanjangan dari Bank Dunia, sebenarnya terikat dengan sejumlah aturan main dalam mengelola kebun secara berkelanjutan.
Dalam standar RSPO dan International Finance Corporate (IFC) seharusnya menjadi rambu-rambu kinerja group ini. Adapun sejumlah poin standar RSPO seperti komitmen terhadap transparansi, memenuhi hukum dan peraturan berlaku, komitmen kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang, dan penggunaan praktik terbaik tepat oleh perkebunan dan pabrik.
Lalu, tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keragaman hayati, pertimbangan bertanggungjawab atas karyawan, individu, dan komunitas yang terkena dampak perkebunan dan pabrik, pengembangan perkebunan baru yang bertanggungjawab serta komitmen perbaikan terus menerus pada wilayah-wilayah utama aktivitas.
Sedangkan standar IFC memuat sejumlah kriteria meliputi penilaian sosial, lingkungan dan sistem managemen, tenaga kerja dan kondisi kerja, pencegahan pencemaran dan penggunaan, dan kesehatan, keselamatan dan keamanan masyarakat. Kemudian pembebasan lahan dan pemukiman kembali, konservasi keragaman hayati dan pengelolaan sumbser daya alam berkelanjutan, masyarakat adat serta warisan budaya.
“Jadi, bila terjadi pelanggaran standar kinerja itu, memperlihatkan komitmen perusahaan lemah dan tak ada keseriusan memberdayakan rakyat, mengakomodir hak-hak komunitas dan lingkungan berkelanjutan,” ujar Adam.
Menurut dia, kehadiran kebun sawit ini, melahirkan pro maupun kontra di masyarakat. Mereka yang pro menganggap kehadiran perusahaan membawa dampak baik karena diberi kemudahan transportasi jalan dan lapangan pekerjaan. Namun, sebagian masyarakat merasa kehadiran BPK, menyebabkan tanah mereka makin sempit hingga tidak bisa berladang. Hutan yang dulu ada, sekarang hilang. “Banyak hal lain muncul dari masalah sosial budaya warga tempatan, sampai persoalan lingkungan hidup.” (lihat grafis).
“Fakta-fakta lapangan ini menjelaskan ekspansi perkebunan sawit Wilmar Group melalui perusahaan PTBPK masih menyisakan persoalan.” Dengan kondisi ini, jelas perusahaan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan berkelanjutan dalam pengelolaan kebun. “Juga mengabaikan sejumlah poin terkait kewajiban yang harusnya dipatuhi sebagai anggota RSPO dan standar kinerja IFC.”
Untuk itu, Walhi Kalbar merekomendasikan beberapa hal. Pertama, optimalisasi peran pemerintah dalam evaluasi dan pengawasan terhadap PT. BPK. “ Ini untuk mendorong pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat juga pekerja atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta sejumlah hak-hak lain.” Kedua, perusahaan diminta memperlakukan pekerja adil dan bermartabat. Ketiga, meminta RSPO memberi tindakan terhadap perusahaan.