“Saya mengucapkan terima kasih atas dukungan dan doa untuk suami saya, Anwar Sadat. Saya merasa terbantu dan menjadi lebih sabar dalam menghadapi masalah ini karena merasa tidak sendiri. Masih banyak orang yang peduli pada perjuangan,” kata Nitra Primiade A, istri Anwar Sadat, dalam pesan berantai yang saya terima akhir Februari 2013.
Lewat pesan itu pula Nitra mengajak semua kalangan menyebarkan petisi di change.org yang meminta pengadilan membebaskan Anwar Sadat, Dedek Chaniago dan Kamaludin. Kini, penandatangan di change.org, sampai berita ini diturunkan sudah mencapai 12.988 orang.
Anwar Sadat, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan (Sumsel), bersama Dedek Chaniago dan Kamaludin ditangkap polisi pada Selasa (29/1/13). Saat itu, sekitar 500 orang terdiri dari aktivis berbagai organisasi masyarakat sipil di Sumsel dan petani Ogan Ilir aksi di depan Mapolda. Aksi ini berakhir bentrok dengan polisi.
Serbuan aparat kepada peserta aksi di tengah guyuran hujan itu menyebabkan beberapa aktivis dan petani menderita luka-luka, termasuk Anwar Sadat, bersimbah darah dengan robek di kepala. Dari aksi itu, sekitar 25 orang diamankan, 11 ditahan di Polda Sumsel, 14 di Polresta Palembang. Saat itu, Anwar Sadat mendampingi petani Ogan Ilir, yang sudah sejak 1982 berkonflik lahan dengan PT PN VII unit Cinta Manis.
Rencananya, kasus Anwar Sadat mulai sidang Senin(4/3/13) ini. Namun, pada Rabu (27/2/13), sidang gugatan praperadilan Anwar Sadat terhadap penyidik Polda Sumsel di PN Palembang, digelar. Ini gugatan praperadilan terhadap penangkapan dan penahanan Polda Sumsel. Anwar Sadat ditangkap dan ditahan karena menurut penyidik melanggar pasal 170 KUHP.
Muhnur Satyahaprabu, salah satu pengacara Anwar Sadat dkk yang tergabung dalam Tim Pembela Hukum dan Pencari Fakta (Tahta) mengatakan, ada beberapa alasan mengapa tim kuasa hukum perlu mengajukan permohonan praperadilan. “Kami menyakini penyidik Polda Sumsel melanggar beberapa pasal dalam KUHAP antara lain pasal 17, pasal 18 ayat (2) dan pasal 75 KUHAP” katanya, Rabu(27/2/13).
Dalam gugatan itu, selain menuntut pembatalan proses hukum, Anwar sadat juga menggugat ganti rugi kepada Polda Sumsel Rp1. “Ini sebagai penegasan bahwa hak rakyat dan nilai keadilan jauh lebih bernilai dari uang.”
Tak hanya Sadat, Muhamad Ridwan, Ketua Serikat Tani Riau (STR), mengalami nasib sama. Ridwan, ditangkap kepolisian, Minggu(3/2/13) malam. Surat perintah penangkapan dikeluarkan Polres Bengkalis, yang menuduh Ridwan menghasut dan perbuatan tidak menyenangkan. Selama ini, Ridwan aktif membela dan memperjuangkan petani Pulau Padang, Kepulauan Meranti, melawan PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), anak usaha APRIL.
Pertengahan tahun lalu, bersama sembilan petani Pulau Padang yang lain, Ridwan berencana bakar diri di depan istana negara di Jakarta. Mereka protes kepada pemerintah lewat Kementerian Kehutanan (Kemenhut), yang memberikan izin kepada PT RAPP menggarap Pulau Padang, menjadi hutan tanaman industri (HTI).
Tuntutan warga yang menolak keberadaan RAPP ini, bukan hanya masalah lahan, tetapi juga kekhawatiran kerusakan lingkungan dan ekologi di Pulau Padang. Awal Juni tahun lalu Ridwan mengatakan, aksi bakar diri ini sudah lama dipersiapkan, setelah mereka merasa mendapat perlakuan tidak baik dari Kemenhut.
Dia menceritakan, setelah mendapat penolakan warga, Bupati Meranti sudah revisi keputusan HTI itu. Saat itu, setelah aksi jahit mulut di DPR RI, Kemenhut membuat kesepakatan bersama dengan DPD RI beserta STR dan Forum Komuniksi Penyelamatan Pulau Padang. Sayangnya, kesepakatan ini hanya sebuah kesepakatan tanpa realisasi.
Masih di Pulau Sumatera, konflik lahan antara PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (Sumut), menyebabkan 31 warga ditangkap, Senin(25/2/13). Dari 31 orang itu, 16 menjadi tersangka, 15 warga dibebaskan.
Mereka yang ditangkap ini antara lain, warga dari Desa Sipituhuta, Hanup Marbun (37), Leo Marbun(40), Onri Marbun (35), Jusman Sinambela (50), Jaman Lumban Batu (40), Roy Marbun (35), Fernando Lumbangaol (30), Filter Lumban Batu (45), Daud Marbun (35). Dari Desa Pandumaan Elister Lumbangaol (45) Janser Lumbangaol (35) Poster Pasaribu (32), Madilaham Lumbangaol (32) Tumpal Pandiangan (40).
Konflik ini memanas karena TPL mulai menanam kayu putih (eucalyptus) di wilayah Hutan Kemenyan di Dolok Ginjang, padahal sesuai kesepakatan proses tanam menanam dihentikan dahulu. Warga protes hingga terjadi bentrok dengan massa karyawan TPL.
Masalah ini dilatarbelakangi keberadaan TPL yang telah mendapatkan konsesi hingga 200.000 hektar. Padahal hutan kemenyan telah turun menurun, sejak 1800, menjadi tumpuan hidup warga.Berbagai upaya dilakukan masyarakat, mengadukan persoalan ini di daerah sampai pusat. Terakhir, bersama Pansus DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan sudah pemetaan menentukan tapal batas.
Hasil dari pemetaan ini pun sudah disampaikan ke Kementerian Kehutanan melalui Bupati Humbang Hasundutan dengan surat Nomor 522/083/DKLH/2012 tertanggal 25 Juni 2012. Isinya, agar tanah atau wilayah adat ini dikeluarkan dari konsesi TPL dan kawasan hutan negara. Ini juga sesuai Keputusan DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Panitia Khusus SK 44/Menhut-II/2005 dan Eksistensi PT Toba Pulp Lestari di Kabupaten Humbang Hasundutan. Namun, hingga kini, belum ada kejelasan dari Kemenhut.
Kriminalisasi aktivis dan warga yang berjuang menuntut perhatian keberlangsungan hidup mereka dan alam, tampak makin menjadi-jadi. Dari catatan Walhi, kriminalisasi pada Februari 2013 mengalami peningkatan dari 32 orang bulan lalu menjadi 42 orang.
Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Besar, Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, jajaran kepolisian minim mendapat kontrol dari DPR dan Presiden. “Ini diperkirakan mengakibatkan makin meningkatnya peran polisi dalam mem-backing perusahaan perusak lingkungan dan pelanggar HAM,” ujar dia.
Janji Mabes Polri pada awal Februari yang menyatakan 2013 zero konflik, tak mampu dibuktikan, ketika jajaran Polda Sumut juga menangkap 31 petani kemenyan, 25 Februari lalu. “Dengan kondisi ini sudah seharusnya evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Polri dan tidak layaknya status terdakwa diajukan kepada Anwar Sadat dan kawan-kawan serta para petani dan masyarakat yang menuntut hak mereka.”