,

Laporan WWF: Tangkap Tuna Pakai Bom Makin Marak di Flores Timur

WWF Indonesia, Kamis(14/3/13) merilis laporan terbaru yang mengungkapkan, penangkapan tuna menggunakan bom makin marak di perairan Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam laporan berjudul “Potret Pemboman Ikan Tuna di Perairan Kabupaten Flores Timur” ini menunjukkan, mulai akhir 2011, nelayan pembom makin meningkat. Pembom tuna teridentifikasi dari Ende, Maumere, Sagu, Sulamu, dan Flores Timur.

Hasil penelitian, di satu desa di Kabupaten Flores Timur, tercatat pada September 2011,  hanya 10 armada nelayan menangkap ikan dengan alat pancing, selebihnya perahu berbom sekitar 98 armada dengan ukuran 2-3 gross tonase (GT).  Mereka menggunakan kapal sendiri atau menjadi penyelam di kapal lain. Kondisi ini juga terjadi di lokasi lain seperti Perairan Pulau Tiga, Selat Solor, Pulau Solor Bagian Selatan, Selat Lamakera, dan Lembata bagian Selatan.

Aktivitas pemboman ini terjadi pada bulan-bulan dimana tuna banyak bergerombol dan berada di permukaan, antara  April –November, pada Desember–Maret mereka beralih menangkap jenis lain.

Nelayan rata-rata melaut 8-15 trip per bulan, berlangsung selama 12 jam per trip. Pemboman ini dilakukan oleh kelompok nelayan, dalam satu armada ada lima smapai 10 nelayan, terdiri dari satu juru kemudi,  satu pelempar, sisanya penyelam.Mereka biasa membawa tujuh sampai 10 botol bom setiap trip melaut. Penggunaan tergantung keberadaan tuna. Aksi ini diawali dengan bom dilempar ke kumpulan tuna, setelah meledak para penyelam segera berloncatan ke air membawa tuna ke permukaan sebelum tenggelam.

Saking intensifnya, untuk mengefisienkan waktu, bahan bakar dan jarak tempuh, nelayan pembom dan kapal penampung bersama beriringan menuju lokasi penangkapan tuna.

Adapun bahan pembuatan bom itu terdiri atas botol kaca, pupuk dan kep (mesiu). Dari informasi nelayan, harga jual bahan-bahan ini antara lain, pupuk Rp1,5 juta  per 50 kg dan mesiu Rp5 –Rp6 juta  per boks. Bahan pupuk bisa untuk 100 botol bom.

Praktik penangkapan ikan dengan bom ini menyebabkan kerusakan ekosistem, dan pemborosan sumber daya tuna maupun janis satwa air lain yang menjadi korban bom seperti lumba-lumba. Temuan WWF, setidaknya 50 persen tuna yang terkena bom tenggelam ke laut dan terbuang percuma sebelum sempat diambil nelayan.

Tak hanya ekosistem yang menjadi korban, para nelayan tak jarang cacat permanen bahkan meningkat terkena bom itu. Di salah satu desa survei, sejak 2004-2013 ditemukan, lima orang meninggal dan dua cacat seumur hidup  karena insiden ledakan bom ikan.

Wawan Ridwan, Direktur Program Kelautan dan Perikanan WWF-Indonesia, mengatakan, praktik penangkapan ikan dengan merusak ini harus dihentikan. “Permintaan dan perdagangan produk perikanan hasil tangkapan merusak harus bertahap dikurangi dan dihentikan,” katanya di Jakarta dalam acara launching laporan ini.

Memang, katanya, upaya ini tak mudah karena tak hanya menyangkut kebijakan, juga mekanisme pasar. “Penegakan hukum dan pengawasan menjadi penting dan harus segera dilakukan di lapangan.”

Dia mengingatkan, sebagai komoditas perikanan utama global, upaya para pemasok sangat penting dalam memastikan produk ramah lingkungan dan tidak dari aktivitas-aktivitas merusak.  “Upaya penelusuran asal-usul produk juga tak kalah penting,” ujar dia.

Salah satu upaya WWF, melalui pendampingan dan penguatan kapasitas kelompok-kelompok nelayan dan menjembatani masuk ke pasar produk-produk ramah lingkungan.

Peluncuran laporan ini di sela-sela acara “Seafood Savers Annual Meeting,” sebuah forum pertemuan tahunan dihadiri pelaku bisnis sektor perikanan berkelanjutan melalui inisiasi Seafood Savers difasilitasi WWF Indonesia. Saat ini, inisiatif Seafood Savers menaungi 10 perusahaan terdiri dari perusahaan ritel, produsen ikan karang, tuna, udang, serta rantai industri hotel dan restoran.

Dalam pertemuan tahunan ini, Seafood Savers meresmikan keanggotaan dua perusahaan kandidat, yaitu UD. Pulau Mas dan PT Arta Mina Tama. UD. Pulau Mas merupakan perusahaan pengekspor kerapu hidu pasal Bali, menguasai 60 persen produksi perikanan kerapu hidup di Indonesia. PT Arta Mina Tama (AMT) merupakan penangkap ikan tuna berpusat di Muara Baru, Jakarta. AMT mengikutsertakan produk tuna sirip kuning atau yellowfin tuna (Thunnusalbacares) dalam program perbaikan perikanan yang dijalankan Seafood Savers.

Laporan lengkap bisa dilihat di sini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,