Ribuan Warga Lakukan Pemantauan Sungai Secara Massal Demi Lestarikan Sungai

Menjaga lingkungan, memang bukan hanya tugas pemerintah belaka. Melestarikan lingkungan sekitar, adalah bagian dari tanggung jawab setiap warga negara yang hidup di tanah air. Namun sayangnya, seringkali akses untuk turut serta berkontribusi dalam pelestarian alam, sangat terbatas. Baik terbatas secara akses, maupun dalam peran serta yang bisa dilakukan secara langsung.

Terkait hal ini, Direktur Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation), Prigi Arisandi menggagas sebuah upaya yang memungkinkan masyarakat untuk turut secara aktif melakukan pengukuran kondisi sungai di sekitar mereka secara langsung. Metode yang bernama biotilik ini, memungkinkan setiap individu di masyarakat berperan aktif dalam melakukan pengukuran tingkat kesehatan sungai yang menjadi sumber air bagi setiap orang.

“Sebenarnya kami ingin menunjukkan, bahwa selama ini kan pengukuran kesehatan sungai itu tergantung pada apa yang dilakukan oleh pemerintah. Nah lewat metode ini kami juga ingin memperlihatkan bahwa masyarakat bisa berperan serta dalam melakukan pengukuran sungai versi mereka, sebagai bagian dari upaya pelestarian lingkungan,” ungkap Prigi kepada Mongabay-Indonesia.

Biotilik adalah metode sederhana yang praktis dan mudah untuk mengetahui kondisi sungai. Metode ini bisa dilakukan oleh banyak orang. Foto: Ecoton

Tanggal 18 Juni 2013 silam, masyarakat yang hidup di sekitar sungai melakukan pengukuran sungai secara massal di beberapa kota sekaligus. Pengukuran massal ini dilakukan di sungai Brantas, Surabaya, sungai Bengawan Solo, Jawa Tengah, sungai Musi Palembang, dan juga Sungai Citarum, di Jawa Barat.

Di Surabaya, Jawa Timur sendiri sekitar seribu orang warga masyarakat secara serentak melakukan pengukuran sungai Brantas dan sebelas anak-anak sungainya, seperti Kali Kuncir di Nganjuk, Kali Klinter di Kertosono, Kali Gunting di Mojoagung dan Kali Surabaya di Driyorejo.

Dari hasil uji biotilik yang dilakukan oleh masyarakat di sungai Brantas dan anak-anak sungainya menunjukkan bahwa mulai segmen tengah di Sungai Klinter di Kertosono hingga kali Surabaya  di Wringinanom menunjukkan kondisi air yang tercemar sedang, sedangkan kawasan hilir mengindikasikan tercemar sedang hingga berat.

“Secara umum kita dapat mengategorikan bahwa Kali Brantas saat ini sedang dalam kondisi sakit,” ungkap Daru Setyo Rini, Koordinator Pemantauan Kualitas Air Kali Brantas Secara Massal dengan Metode Biotilik.

Kondisi sungai yang masih sehat ditemukan dari pengukuran yang dilakukan oleh masyarakat di daerah hulu sungai di Wonosalam dan Kali Kuncir di Nganjuk.

“Harapannya lewat adanya pemantauan secara berkala yang dilakukan oleh masyarakat ini, kami juga bisa mendorong pemerintah untuk menerapkan suaka ikan di Kali Brantas. Kami baru saja meluncurkan program kawasan wisata edukasi ekosistem sungai. Program ini diluncurkan dengan harapan pihak sekolah juga bisa berkontribusi dalam melestarikan sungai Brantas sebagai bagian dari tanggung jawab warga negara terhadap lingkungan mereka,” sambung Prigi lebih lanjut.

Sebelumnya, dalam sebuah kongres Remaja Kali Brantas tahun 2013 yang dilakukan beberapa hari sebelumnya, sejumlah sekolah menandatangani Petisi Kali Brantas 2013 yang berjudul ‘Merajut Mimpi Kali Brantas 2013’. Lewat petisi ini mereka menyampaikan mimpi mereka untuk bisa memiliki sebuah sungai yang bersih, tanpa kotoran, memiliki hutan di hulu dan sungai bisa memberikan manfaat bagi manusia dan lingkungan.

Metode Biotilik, Praktis, Murah dan Cepat

Biotilik atau biomonitoring sendiri adalah metode pemantauan kesehatan sungai dengan menggunakan indikator makro invertebrata (hewan tidak bertulang belakang) seperti bentos, capung, udang, siput, dan cacing.  Hasil pemantauan Biotilik dapat memberikan petunjuk adanya gangguan lingkungan pada ekosistem sungai, sehingga dapat dirumuskan upaya penanggulangan yang dibutuhkan.

Menurut Prigi Arisandi dari Ecoton dan Ketua BT Telapak-Jabagtim, Biotilik merupakan metode yang mudah digunakan karena hanya memerlukan pengambilan sampel biota di dasar, tepian sungai atau yang menempel di bebatuan atau substrat. Biota yang ditemukan tinggal dicocokkan dengan biota yang tertera dalam gambar panduan yang terdapat di dalam modul.

Untuk selanjutnya, biota yang didapat dikelompokkan menjadi biota yang tidak toleran (sensitif) terhadap pencemaran dan biota yang toleran (tidak sensitif) terhadap pencemaran.

Keberadaan biota yang sensitif dengan pencemaran mengindikasikan bahwa kondisi suatu sungai masih tetap bagus kualitasnya (tidak tercemar), seperti larva kunang-kunang atau larva capung.  Sedangkan biota yang tidak sensitif terhadap pencemaran mencirikan bahwa sungai telah sakit dan tercemar, diantara biota ini adalah cacing tanah (cacing darah) dan cuncum.

Dibandingkan dengan metode konvensional yang ada, dengan metode Biotilik untuk mengetahui kualitas air di suatu lokasi, hasilnya dapat diketahui paling lama 1 jam, padahal dengan metode fisika kimia seperti BOD dan COD, dibutuhkan waktu minimal lima hari untuk pengujian laboratorium.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,