Pembangunan Resort Dinilai Ancam Sumber Air Kota Batu

Tiga tahun sudah warga Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu menentang pembangunan hotel dan resort. Penentangan mereka bukannya tak beralasan.  Sumber mata air yang selama ini digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari terancam hilang. Warga yang mayoritas menggantungkan hidupnya sebagai petani juga terancam hilang tergantikan oleh pebisnis resort dan hotel berbintang. Salah satu oleh pembangunan hotel “The Rayja.”

Analisis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional dalam siaran persnya dipaparkan, Kota Batu sebenarnya adalah wilayah yang diperuntukkan untuk wilayah serapan, dengan letak dilereng gunung dan banyaknya mata air berada disan Menurut Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kota Batu bahwa hasil pemantauan kondisi mata air pada tahun 2005, ditemukan 53 mata air yang telah mati dan 58 mata air lainnya mengalami penurunan debit.

Pada tahun 2009, debit mata air terus mengalami penurunan dan beberapa mata air terdeteksi mengandung bakteri E-coli. Kondisi ini terjadi karena laju konservasi alam tidak seimbang dengan tingkat kerusakan yang terjadi. Mayoritas kerusakan yang terjadi tersebut diawali dengan alih fungsi kawasan lindung maupun lahan pertanian yang lambat laun membuat kondisi lahan menjadi kritis.

Direktur eksekutif WALHI Jawa Timur, Ony Mahardika kepada Mongabay-Indonesia menjelaskan, saat ini di Kota Batu hanya tersisa enam mata air yang tergolong baik dengan debit air yang cukup besar, lima diantaranya berada di Kecamatan Bumiaji dan satu di Kecamatan Batu. Salah satunya yaitu Sumber Umbul Gemulo yang berada di Dusun Cangar Desa Bulukerto Kecamatan Bumiaji yang memiliki debit 179 liter/detik.

Ony Mahardika menambahkan, kondisi Sumber Mata Air Umbul Gemulo yang cukup baik didukung oleh ekosistem di sekitar sumber serta kearifan lokal warga yang cukup terjaga dengan baik. Terbukti dengan keberadaan beberapa jenis spesies hewan dan tanaman yang ada di sekitarnya. Beberapa spesies yang masih bisa dijumpai diantaranya udang air tawar, ikan mas, berbagai jenis burung -diantaranya burung cendet, kutilang, kuntul, gemek, gereja, dan berbagai jenis tanaman diantaranya pohon beringin, beringin putih, caju putih, palm raja, kelengkeng, serta tanaman air lainnya.

Pipa-pipa PDAM dan Himpunan Pengguna Air MInum (HIPAM). Foto: Tommy Apriando
Pipa-pipa PDAM dan Himpunan Pengguna Air MInum (HIPAM). Foto: Tommy Apriando

“Tiga tahun ini keselamatan warga terancam dengan adanya rencana pembangunan hotel The Rayja yang berjarak sekitar 100 meter dari Sumber Umbul Gemulo. Yang akan mengakibatkan bencana yang lebih besar (krisis air) dan kerusakan ekologi berkepanjangan.”

“Sumber Umbul Gemulo menjadi tumpuan hidup tidak hanya bagi enam ribu warga Desa Bulukerto, tapi juga bagi ribuan warga di enam desa lainnya dan PDAM Kota Batu yang mensuplai kebutuhan air bersih bagi warga Kota Batu,” kata Ony Mahardika.

Enam desa tersebut diantaranya adalah Desa Sidomulyo, Bumiaji, Pandanrejo, Sisir, Mojorejo, dan Pendem.

Agus Mulyono, dari Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA), warga Desa Bulukerto, kepada Mongabay Indonesia, pembangunan Hotel The Rayja tersebut mengancam sumber air Gemulo yang menjadi satu-satunya sumber air yang digunakan enam Desa dengan jumlah lebih dari 1500 kepala keluarga.

“Debit air terus menurun. Mayoritas warga desa sebagai petani. Bagaimana kami bisa bertani dan hidup jika sumber mata air kami hilang,” kata Agus Mulyono.

Data WALHI Nasional yang dihimpun dari FMPMA, lebih dari 65 persen mata air yang ada di Kota Batu berada pada lahan dengan kondisi kritis dan sangat kritis. Dalam catatan FMPMA presentase lokasi mata air kritis sebanyak 57 (53%) titik, sangat kritis 15 (14%), baik 4 (4%) dan dalam kondisi normal sebenyak 32 (29%).

“Kekawatirannya adalah ke depan Kota Batu jadi krisis air,”kata  Muhammad Islah, Manager Kampanye Kedaulatan Pangan dan Air Walhi Nasional.

Selain itu, berdasarkan temuan WALHI, Izin Mendirikan Bangunan Hotel The Rayja, juga diduga terdapat indikasi mal administrasi. Seperti tandatangan yang dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang sampai adanya indikasi pemalsuan surat dan tindak pidana lingkungan hidup karena izin dikeluarkan tanpa adanya dokumen lingkungan.

Surat Rekomendasi untuk tidak meneruskan pembangunan hotel dari Kementerian Lingkungan Hidup. Silakan klik untuk memperbesar surat.
Surat Rekomendasi untuk tidak meneruskan pembangunan hotel dari Kementerian Lingkungan Hidup. Silakan klik untuk memperbesar surat.

Terhadap penolakan yang dilakukan warganya, Walikota Batu sebenarnya sudah beberapa kali mengeluarkan surat. Mulai dari surat penyataan untuk mencabut pembangunan hotel The Rayja pada 3 Mei 2012 dan surat yang isinya tentang penghentian aktivitas pembangunan hotel serta pemerintah kota Batu menjanjikan membeli lahan lokasi rencana pembangunan hotel The Rayja untuk dijadikan lokasi konservasi sumber mata air tertanggal 17 Juni 2013.

Akan tetapi, dalam pantauan Mongabay-Indonesia bersama FMPMA, Kamis, 3 Oktober 2013 lalu. Aktivitas pembangunan hotel masih terus berlanjut. Padahal, selain surat dari Walikota Batu, surat bernomor 730/287/422.400/2013 ditandatangani oleh Widodo, SH, MH selaku Sekretaris Daerah Kota Batu, pada 21 Juni 2013 lalu, yang ditujukan kepada Saudara Willy Suhartano, sebagai pemilik bangunan Hotel The Rayja untuk menghentikan aktivitas pembangunan hotel.

Kalau memang pernyataan walikota itu serius, harus ada implementasi nyata menghentikan pembangunan. Tapi, sampai sekarang tidak dilakukan. “Kami semakin yakin bahwa Walikota Batu tidak sungguh-sungguh menangani kasus tersebut. Ini salah satu bentuk pembohongan publik terhadap rakyatnya,” tambah Ony.

Dilain sisi perjuangan masyarakat ini dikriminalkan oleh aparat kepolisian pada Juni 2013, lima orang dipanggil Polres Batu untuk dimintai keterangannya sebagai saksi atas laporan pemilik Hotel The Rayja. Tidak cukup dengan itu pemilik hotel The Rayja, pada bulan Agustus lalu melalui pengacaranya mengajukan gugatan perdata sebesar 30 milliar dan 25 juta kepada salah satu warga bernama Haji Rudi.

“Saya dituduh telah menghambat pembangunan hotel dengan mengirikan surat. Surat tentang penolakan pembangunan hotel yang mengancam hilangnya sumber mata air. Sehingga dengan surat saya itu menyebabkan pihak hotel rugi, lalu mereka mengugat saya,” kata Haji Rudi kepada Mongabay Indonesia.

Ony Mahardika menambahkan, kriminalisasi dan gugatan pihak Hotel The Rayja merupakan salah satu upaya bentuk melemahkan gerakan masyarakat yang berjuang menyelamatkan lingkungan. Apalagi gugatan soalah-olah dipaksakan, karena tidak mendasar sesuai fakta yang ada dan tidak masuk akal sama sekali. Kalau kita mengacu kembali UU Lingkungan  nomor 32 tahun 2009, pasal 66 berbunyi “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”

Zainal Arifin, warga Sidomulyo kepada Mongabay Indonesia mengatakan jika memang  pemerintah Kota Batu serius ingin menyelamatkan Kota Batu agar tidak terjadi krisis air. Apalagi Kota Batu sebagau kawasan hulu das brantas.  Seharusnya aspek menyelamatkan & memulihakan kawasan harus menjadi pertimbangan serius dan agenda pertama menyelamatkan lingkungan dan menghindari bencana yang luas yang berdampak langsung pada masyarakat.

“Izin hotel itu harus dicabut, tidak hanya menghentikan aktifitas pembangunan.Jika Pemkot Batu benar-benar peduli lingkungan dan peduli pada keselamatan masyrakatnya,” kata Zainal Arifin.

Pada tanggal 28 Agustus 2013 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup memberikan surat rekomendasi yang ditujukan kepada Walikota Batu. Surar bernomor B-9430/Dep.V/LH/HK/08/2013 tersebut merekomendasikan bahwa kegiatan pembangunan dan usaha hotel The Rayja Batu resort wajib memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan tidak tepat hanya dengan dokumen UKL-UPL. Kemudian, dalam surat tersebut juga disebutkan Kementerian Lingkungan Hidup menyetujui pengehentian sementara kegiatan pembangunan hotel The Rayja Batu Resort dan diperintahkan untuk segera melakukan penyusunan AMDAL.

Merespon dikeluarkannya surat rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup tersebut, WALHI Jawa Timur menambahkan, terkait dengan penyusunan AMDAL harus sesuai aturan yang ada. Salah satunya yang paling penting yaitu partisipasi melibatkan masyarakat sekitar dan harus terbuka dipublik dalam penyusunan AMDAL dan tidak boleh manipulasi data.

“Yang paling penting harus ada persetujuan oleh masyarakat. Terutama masyarakat terdampak. Jika nanti masyarakat tidak setuju, jangan dipaksakan untuk membangun. Dan pemerintah daerah jangan keluarkan izin,” tutup Ony.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,