Indonesia adalah pengekspor batubara terbesar di dunia yang memasok energi ke China, India dan negara-negara lainnya. Indonesia juga merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia (setelah Cina, Amerika, dan Uni Eropa) yang sebagian besar disebabkan oleh tingkat deforestasi yang tinggi dan kebakaran lahan gambut.
Peringkat ini belum termasuk emisi karbon yang ‘diekspor’ oleh Indonesia dalam bentuk batubara. Pada pertemuan tentang iklim COP di Polandia, para delegasi Indonesia sedang membahas isu batubara dan emisi karbon pada pertemuan PBB tentang perubahan iklim.
Diskusi Perubahan Iklim di ‘Negara Batu bara’
Konferensi Perubahan Iklim 2013 (Conference of the Parties/COP) dalam Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) telah dijuluki sebagai “COP Batu Bara” karena Asosiasi Batu bara Dunia pada saat itu juga mengadakan acara yang sama dimana perwakilan dari hampir 200 negara berdiskusi mengenai bagaimana mengatasi perubahan iklim.
Polandia telah dikritik karena menyelenggarakan dua pertemuan penting secara bersamaan, dan dijuluki ‘Negara Batubara’ karena ketergantungannya yang besar terhadap batubara (lebih dari 89% dari energi berasal dari batubara).
Dalam pertemuan tentang COP sebelumnya di Bali, Indonesia dipuji oleh masyarakat internasional atas komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% (41% dengan bantuan internasional) pada tahun 2020. Sesuai dengan komitmen, moratorium izin hutan selama 2 tahun telah diberlakukan sejak tahun 2011.
Namun, peta terbaru untuk hutan resolusi tingkat tinggi yang minggu lalu diterbitkan oleh majalah Science mengungkapkan bahwa deforestasi terus meningkat selama 2011-2012, dan bahkan kebakaran hutan di Sumatera pada Juni 2013 lalu adalah yang terburuk sejak kebakaran hutan di Indonesia tahun 1997.
Tantangan lainnya untuk mengurangi emisi di Indonesia adalah bagaimana menyeimbangkan lahan dan konservasi sumber daya alam dengan pembangunan ekonomi. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) memetakan visi pembangunan negara hingga tahun 2025.
Perencanaan ekonomi sangat tergantung pada penggalian sumberdaya alam, termasuk pembukaan cadangan batu barabaru di Sumatera dan Kalimantan.
Paradigma Batu Bara
Batubara menunjukkan tantangan, yang mungkin lebih daripada bahan bakar fosil lainnya, yang dihadapi oleh masyarakat global dalam memerangi perubahan iklim. Batubara berkontribusi atas 44% emisi karbon dari bahan bakar secara global – lebih besar dari minyak (35%) dan gas alam (20%). Batubara mengeluarkan karbon dioksida (CO2) yang lebih tinggi daripada bahan bakar fosil lainnya. Pertambangan batu bara berkontribusi atas 8-10 persen emisi metana (CH4) buatan manusia secara global.
Umat manusia masih sangat bergantung pada batubara untuk pemanas, listrik, dan pabrik baja. Kita harus menghentikan ketergantungan kita terhadap batu bara untuk membatasi dampak terhadap iklim, walapun transisi ini akan memerlukan pergeseran paradigma energi secara internasional.
“Konsep teknologi dasar di mana kita hidup saat ini memiliki premis dan proses yang sama dengan yang mengubah revolusi industri 200 tahun yang lalu,” demikian eksekutif energi Peter Bond menjelaskan dalam COP-19, “Proses ini berlanjut menjadi lebih efisien, tetapi filosofi sebenarnya tidak berbeda dengan ketika Mr. Watt menemukan mesin uap.”
Wawasan industri batubara ini penting karena masyarakat kita masih sangat bergantung pada batu bara, minyak, dan gas alam, terlepas dari segala kemajuan teknologi yang kita miliki selama dua abad terakhir.
Tapi batubara tidak bisa menjadi sumber daya untuk kemajuan umat manusia selamanya. Pada tahun 2012, telah diperkirakan bahwa sumber daya batubara dunia akan habis dalam waktu kurang dari 132 tahun. Dengan demikian, kita akan terus menggunakan cadangan bahan bakar fosil yang sebenarnya juga diperlukan oleh generasi mendatang, sampai umat manusia menemukan alternatif lain.
Jalur Kereta Api Batu Bara
“Untuk menjaga atmosfer, sebagian besar dari cadangan batubara yang ada harus tetap tinggal di dalam tanah,” kata Kepala Iklim PBB Christiana Figueres kepada Asosiasi Batubara Dunia di Warsawa dalam pertemuan COP-19. Namun, cadangan batubara ini terus dibuka dan diperluas di negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Di propinsi Kalimantan Tengah, telah dijalankan perencanaan untuk membangun kereta api yang akan membentang sepanjang 425 kilometer dan mengangkut batubara dari “jantung” Borneo ke pelabuhan di dekat Laut Jawa. Dalam pelaksanaannya, rel kereta api tersebut akan melewati Kabupaten Murung Raya, Barito Utara, Barito Timur, Barito Selatan, dan Kapuas, menggusur jumlah masyarakat setempat yang tidak diketahui jumlahnya.
Jalur kereta api akan dibangun melalui tingkat kemiringan lereng dalam ekosistem dan diperkirakan akan menghasilkan deforestasi dan degradasi lahan basah. Beberapa masalah lingkungan terkait dengan pertambangan batubara tersebut mencakup pelepasan asam dan pengendapan yang sulit untuk ditampung dan dapat menyebabkan pencemaran air. Polusi ini akan terjadi di daerah tangkapan air Barito, daerah aliran sungai (DAS) utama di pulau Kalimantan, yang akan berisiko bagi pasokan air masyarakat setempat. Bahkan, partikel abu mengambang berasal dari batu bara yang mengandung timbal, arsenik, dan merkuri adalah racun bagi kesehatan manusia.
Dengan biaya sekitar US$ 2,5 miliar (yang sebagian akan dibiayai dengan uang pajak Indonesia melalui “kemitraan publik-swasta”), jalur kereta api “Puruk Cahu-Bangkuang-Batanjung” akan mampu mengangkut hingga 49,7 juta metrik ton batubara dari pedalaman Kalimantan setiap tahunnya.
Langkah Selanjutnya
Saat ini, keputusan yang akan membentuk lingkungan masa depan untuk Indonesia dan mempengaruhi iklim dunia sedang dilakukan – termasuk dampak perluasan penggalian batu bara di Kalimantan.Melihat perkembangan di masa yang akan datang, Sekretaris Eksekutif UNFCCC Christiana Figueres menyerukan kepada para pemimpin dunia, industri batubara dan masyarakat untuk merencanakan langkah baru.
“Kita harus segera mengambil langkah-langkah yang menempatkan kita pada jalur ambisius menuju puncak global pada akhir dekade ini, dan mencapai emisi nol dalam paruh kedua abad ini. Langkah-langkah yang melihat garis dasar (bottom-line) lebih dari kuartal berikutnya dan bottom-line generasi berikutnya, mencari langkah-langkah yang mengutamakan kesehatan, keamanan dan keberlanjutan (sustainability). Demi anak-anak anda dan anak-anak saya, cucu-cucu kita dan cucu-cucu mereka yang akan melihat kembali hari ini dan menilai komitmen bersama kita untuk mereka.”
Rut Dini Prasti, peneliti di Yayasan Tambuhak Sinta, sebuah LSM yang bekerja untuk mengurangi pencemaran merkuri dari pertambangan emas skala kecil di Indonesia. Kussaritano, Direktur Eksekutif, Mitra Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah. Wendy Miles adalah Fellow, Badan Perlindungan Lingkungan A.S. di Universitas Hawaii dan East-West Center.
Tulisan ini adalah opini penulis yang merupakan terjemahan dari judul asli “Mining the Heart of Borneo: coal production in Indonesia”