Hasil investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan banyak pelanggaran HAM di kawasan HGU PT Asiatic Persada yang berada di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. “Itu sudah berlangsung lama sejak tahun 1990-an. Penggusuran, kekerasan, konflik. Kami akan mendesak BPN Pusat untuk meninjau ulang HGU PT Asiatic,” kata Wakil Ketua Komnas HAM, Dianto Bachriadi kepada wartawan di Jambi, Kamis (23/1) lalu.
Sejak setahun terakhir, kata Dianto, PT Asiatic banyak mengingkari kesepakatan-kesepakatan mediasi yang dilakukan Komnas HAM dan pemerintah. Terutama soal pengukuran tanah ulayat Suku Anak Dalam (SAD) seluas 3.550 hektare yang tak pernah diindahkan oleh pihak perusahaan.
“Kanwil BPN Provinsi Jambi sudah siap melakukan pengukuran ulang namun selalu gagal dilakukan karena pihak perusahaan tidak setuju. Prosedurnya menyebutkan jika ada spot-spot perkampungan masyarakat maka biaya pengukuran ulang menjadi tanggung jawab pemegang HGU. “Kalau tak punya uang ya sudah, jangan berinvestasi di sini!” ujar Dianto.
Bukan hanya mengingkari dan bukan pula menyelesaikan akar masalah, ujar Dianto, perusahaan justru memunculkan persoalan baru dengan melakukan penggusuran untuk memindahkan masyarakat SAD dari lahan HGU.
Data Serikat Petani Nasional (STN) menyebutkan akibat penggusuran yang dilakukan sejak 7 Desember hingga 14 Desember 2013 di empat dusun: Pinang Tinggi, Bukit Terawang, Padang Salak, dan Tanah Menang – kesemuanya berada di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari – sekitar 1.000 lebih rumah dan pondok milik 2.000-an jiwa warga SAD kehilangan tempat tinggal.
Penggusuran itu jelas terindikasi disengaja untuk memindahkan warga dari lahan HGU ke lokasi lain. Banyak hak-hak masyarakat yang dilanggar seperti hak hidup, hak untuk bekerja, hak anak, dan lain-lain yang dilanggar. “Polisi juga terlibat dalam pelanggaran ini. Mereka adalah wakil ketua Tim Terpadu Kabupaten Batanghari, maka secara langsung maupun tidak langsung, mereka terlibat dalam pelanggaran itu. Kami sudah ingatkan itu kepada kepolisian,” kata Dianto.
Akibat penggusuran dan penjarahan dari 7 hingga 14 Desember 2013 masyarakat SAD mengungsi. Sebagian terpencar-pencar, sebagian menginap di rumah keluarga. Sejak 10 Desember 2013 sekitar ratusan warga mondok di kantor Komnas HAM. Di Jambi, setelah sebulan mondok dan bikin tenda di depan Kantor Gubernur Jambi mereka dipaksa hengkang pada 8 Januari 2014. Tak lama kemudian, sebagian dari mereka sekitar 200 lebih warga SAD sudah lebih dari sepekan menginap di Kantor Lembaga Adat Melayu Jambi hingga berita ini diturunkan.
Secara terbuka, kata Dianto, Pemerintah dan Kapolda Jambi, kata Dianto, sudah memberikan jaminan untuk mengembalikan seluruh masyarakat SAD ke lokasi semula sebelum penggusuran menjamin perlindungan serta rasa aman sebagai warganegara dapat beraktivitas seperti biasa.
Lahan 2.000 hektare itu Ilegal!
Menurut Komnas HAM, lahan 2.000 hektare yang hendak dibagikan kepada masyarakat SAD itu di luar HGU. Lahan yang katanya diklaim sebagai wilayah kelola perusahaan tetapi setelah diperiksa baru sebatas izin lokasi yang sudah habis dicabut izinnya beberapa tahun lalu tetapi diterbitkan kembali.
“Hukum kita menyebutkan bahwa izin lokasi bukan berarti perusahaan boleh beroperasi, itu hanya untuk membereskan urusan-urusan pertanahannya. Statusnya masih tanah negara. Jika beroperasi itu artinya ilegal,” kata Dianto.
Seperti diberitakan sejak 27 Desember 2013 Polda Jambi menahan 11 warga SAD. Mereka adalah Dwi Sumarno, Joko, Man, Sujarwo, dan Gunadi, Muhardi Sukaryanto, Seman bin Holidi, Mus bin Holidi, Febriansyah bin Agus Wijaya, A. Rohman bin Kamang, dan Lit Sabli bin Yunus. Mereka dijerat dengan pasal 363 KUHP dan atau 480 KUHP dengan tuduhan mencuri buah sawit di lahan HGU PT Asiatic Persada, Kebun II Afdeling 6 Blok 314 B.
Komnas HAM juga sudah meminta proses hukum terhadap mereka itu ditangguhkan dulu sampai proses penyelesaian konflik selesai. “Jika polisi menyatakan tindakan mereka kriminal kita bisa berargumentasi bahwa itu wilayah abu-abu, bukan kriminal. Kami bukan bermaksud mengintervensi namun meminta polisi agar mempertimbangkan kembali dasar-dasar hukumnya,” katanya.
Mongabay Indonesia mendapatkan salinan dokumen Mahkamah Agung RI tertanggal 4 Januari 2012 nomor 1325 K/PDT/2010 yang berbunyi menolak permohonan kasasi PT Jamer Tulen dan PT Maju Perkasa Sawit – keduanya anak perusahaan PT Asiatic Persada.
Kedua perusahaan itu berperkara dengan Kepala Desa Bungku karena telah menerbitkan surat nomor 498/Pem-BK/XII/2008 tertanggal 1 Desember 2008 yang berbunyi melarang kedua perusahaan itu memanen kebun di atas lahan seluas 7.371 hektare.
Mongabay-Indonesia juga mendapatkan salinan dokumen pledoi tiga warga SAD yakni Hamid Bin Hasim, Pardiansyah Bin Hilal dan Andi Bin Usman yang berperkara dengan PT Asiatic Persada karena dituduh mencuri di kebun sawit Blok 314 B Divisi Mentilingan. Dalam pledoinya, Ardani mengutip keterangan saksi Joko Susilo, Manager Humas PT Asiatic Persada dalam persidangan pada 7 Oktober 2010 lalu.
Kesaksian Joko bahwa lokasi kebun sawit itu milik PT Jamer Tulen. PT Jamer Tulen hanya memiliki izin lokasi yang diterbitkan tahun 2002 dari Bupati Batang Hari, dan izin tersebut sudah habis pada tahun 2005, dan tidak diperpanjang lagi. Dengan tidak diperpanjangnya Izin Lokasi oleh Bupati, maka semenjak tahun 2005 dengan sendirinya tanah tersebut menjadi tanah Negara.
Hamid Cs mendapat bantuan hukum dari Public Interest Lawyer Network (PIL-NET) yang berkedudukan di Bogor, Jawa Barat. Hamid Cs akhirnya memenangkan perkara itu dan bebas dari segala tuduhan pencurian.
Disinggung soal verifikasi yang dilakukan Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam Kabupaten Batanghari, Dianto menjawab persoalan itu persoalan lanjutan bukan persoalan utama. Jika pengukuran ulang telah selesai verifikasi baru bisa dilakukan. Setelah masalah selesai, siapa saja yang berhak menggarap lahan dikembalikan kepada SAD sendiri. “Langkah selanjutnya bagaimana mereka bekerja sama dengan pemerintah kabupaten dan provinsi siapa yang berhak menggarap lahan itu. Apakah keturunan asli, dsb atau pendatang boleh atau tidak,” katanya.
Pernyataan Bersama
Bersama Komnas HAM, setidaknya ada beberapa lembaga bikin Pernyataan Bersama dengan 13 kelompok masyarakat SAD – yang sebelumnya pada 31 Desember 2013 sudah mencabut Naskah Kesepakatan Bersatu yang sudah disalahgunakan Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam Kabupaten Batanghari.
Mereka antara lain: Lembaga Adat Melayu Jambi Anggota DPRD Provinsi Jambi, Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi, Lembaga Adat Melayu Sumatra, Serikat Tani Nasional (STN), Laskar Melayu Jambi (LAMAJA), dan Perkumpulan Hijau.
Bunyi pernyataan bersama itu intinya meminta seluruh pihak dalam upaya penyelesaian konflik tanah ulayat warga SAD dengan PT Asiatic Persada harus menggunakan cara-cara dialogis dan damai untuk menjamin keadilan bagi masyarakat. Selain itu juga meminta seluruh pihak wajib menghormati proses dan hasil mediasi penyelesaian konflik antara masyarakat SAD dengan PT Asiatic yang akan diputuskan BPN. “Perlakukan mereka secara manusiawi. Mereka itu juga manusia,” kata AR Syahbandar, Anggota DPRD Provinsi Jambi.