,

Belajar dari Kampung Organik di Desa Salassae

Siang itu, awal April 2014, cuaca panas terik. Setelah melewati jalanan rusak dan berdebu, saya tiba di Desa Salassae, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel). Jalanan lengang, sesekali terlihat anak-anak berseragam SMA melintas.

Di sebuah rumah batu dengan halaman dipenuhi bunga dan pepohonan rimbun, saya menepikan kendaraan. Hari ini ada pertemuan dengan pengurus dan anggota Komunitas Swabina Petani Salassae (KSPS).

KSPS bukanlah komunitas petani biasa. Hanya dalam dua tahun mereka sukses menerapkan pertanian organik di Desa Salassae. Puluhan petani di desa kini memutuskan meninggalkan bertani lama. Mereka beralih ke organik. Sebagian menikmati hasil, dan sebagian lagi proses penanaman.

Armin Salassa, pendiri dan pengurus KSPS mengajak saya mengunjungi sawah dan kebun organik. Di kawasan persawahan, hamparan sawah seluas 30 are diolah organik.

Kondisi sangat berbeda dengan tanaman non organik. Umur tanam sama, sekitar 75 hari, namun olahan organik lebih tinggi dan hijau.

Armin mengatakan, hasil jauh berbeda, baik panen maupun rasa. Satu karung gabah beras organik berisi 75 kg beras. Karung ukuran sama, beras organik berkisar antara 95-114 kg setiap karung.

Bertani organik, kata Amin, lebih hemat sekaligus menguntungkan. Penggunaan pupuk kimiawi di sawah seluas satu hektar biaya Rp1,5 juta, dengan bahan organik, berupa campuran gula dan berbagai macam buah-buahan hanya Rp80 ribu. Harga di pasaran bisa dua kali lipat dibanding beras biasa.

Rasapun berbeda. Beras organik lebih enak. Mereka merasa enggan memakan nasi beras non-organik setelah itu.

Para petani yang tergabung dalam Komunitas Swabina Petani Salassae (KSPS) Desa Salassae, yang kini berjuang dalam mengorganikkan kampung halaman mereka. Berbagai tantangan tidak menyurutkan tekad mereka. Foto: Wahyu Chandra
Para petani yang tergabung dalam Komunitas Swabina Petani Salassae (KSPS) Desa Salassae, yang kini berjuang dalam mengorganikkan kampung halaman mereka. Berbagai tantangan tidak menyurutkan tekad mereka. Foto: Wahyu Chandra

Senada dengan Awaluddin, penggagas KSPS sejak tiga tahun silam dan aktif mengembangkan pertanian organik Desa Salassae. Dia lulusan diploma Jurusan Olahraga di Universitas Negeri Makassar (UNM). Saat ini sebagai guru honorer di SD 244.

“Setelah makan nasi beras organik, beras lain tak enak lagi. Perbedaan sangat jauh,” katanya.

Awaluddin memiliki pengalaman berkesan selama dua tahun mengubah cara bertanam konvensional ke organik.

Pada tahun awal, seluruh anggota keluarga menentang keras. Ibu pernah menangis memohon tetap menggunakan pestisida dan pupuk kimiawi. Awaluddin teguh. Dia meyakinkan keluarga.

“Perlu waktu lama meyakinkan mereka. Mereka baru luruh dan mendukung setelah melihat hasil.”

Kesuksesan panen sawah organik ini menarik perhatian petani lain. Hallang, petani yang baru bergabung di KSPS ini memutuskan menjadikan tiga hektar sawah organik musim tanam mendatang.

“Setelah melihat hasil panen teman-teman di KSPS saya tidak ragu mengorganikkan seluruh sawah saya. Keluarga ada yang menentang,” kata Hallang.

Mereka juga memperlihatkan kebun dua hektar milik Baso. Dia bergabung KSPS setahun silam. Hasilnya? Baso memperlihatkan pohon cengkih dan kakao tumbuh subur dan berbuah sehat. “Dulu, cengkih di kebun ini hampir mati, setelah diberi perlakuan organik langsung membaik dan tumbuh subur.”

Bukan berarti sosialisasi organik KSPS berjalan lancar. Sikap, perilaku, dan pemikiran warga harus dikuatkan. “Kalau ini tuntas, ketika gagal pun tidak menjadi halangan,” katanya.

KSPS sebagai komunitas petani tergolong unik. Mereka tak hanya belajar teknik bertani. Juga globalisasi dan kedaulatan pangan. Meskipun sebagian besar petani ini tamatan SD dan SMP.

Wahid, sebagai ‘kepala sekolah lapang’ di KSPS tamatan SD. Dulu, sopir angkutan di perantauan.

Syarat keanggotaan pun unik. Yakni, bersedia mengorganikkan sawah dan kebun dan wajib tampil sebagai fasilitator dan harus aktif mengajak keluarga dan petani lain bergabung dengan mereka.

KSPS juga memiliki usaha peternakan sapi. sejumlah anggota juga punya kandang sapi sendiri. Keberadaan sapi ini penting dalam mendukung suplai bahan pembuatan pupuk kompos. Foto: Wahyu Chandra
KSPS juga memiliki usaha peternakan sapi. sejumlah anggota juga punya kandang sapi sendiri. Keberadaan sapi ini penting dalam mendukung suplai bahan pembuatan pupuk kompos. Foto: Wahyu Chandra

Petani KSPS harus bisa membuat pupuk sendiri. Mereka biasa membuat pupuk kompos dikenal mikroba 3 (M3) secara gotong royong. Begitupun dalam penggunaan pupuk. Tempat pembuatan tersebar di halaman rumah maupun lahan warga. Kandang sapi dikelola kelompok maupun perorangan. Kotoran sapi sebagai bahan kompos. Di pasaran harga pupuk organik berkisar Rp90.000- Rp120.000 per botol.

Keaktifan anggota KSPS di Desa Salassae, sangat terasa. Apalagi pemerintah desa sangat mendukung. Bahkan ada rencana membuat peraturan desa terkait pertanian organik ini, meski masih usulan.

KSPS memiliki tujuh posko tempat pertemuan anggota. KSPS memiliki lahan hortikultura seluas 1.000 meter, sebagai tempat belajar anggota. Mereka tengah mengembangkan industri tanaman hias.

Untuk membiaya organisasi dan memberdayaan anggota, KSPS memiliki divisi lembaga keuangan mikro (LKM). Ia sebagai lembaga tabungan dan pinjaman anggota. Kini, mereka menerbitkan saham khusus Rp100 ribu per saham, untuk modal usaha peternakan sapi. “Kami punya 14 sapi, dua saham anggota.

KSPS didirikan sejak November 2011 dengan anggota 20 orang. Kini, anggota mencapai 76 orang. Mereka terus memperbesar keanggotaan dan rencana lahan organik. Setiap hari anggota mengajak petani lain.

Kesuksesan KSPS menjadi inspirasi bagi desa lain. Hingga 2014, ada 15 desa berkunjung dan belajar bertani organik di Desa Salassae.

Desa Salassae memiliki luas 32 kilometer persegi, dengan penduduk sekitar 4.000 jiwa dari 900 keluarga. Desa ini berjarak sekitar 35 km dari Bulukumba dan 186 km dari Makassar.

Pada 2003, desa ini sempat hendak menjadi bagian konsesi perkebunan karet PT London Sumatera (Lonsum). Ratusan hektar lahan hampir diratakan buldozer dan ditentang warga.

Sisa-sisa pohon karet ditanam warga pro Lonsum masih terlihat di sejumlah lokasi. Selebihnya, kakao, cengkih, lada dan persawahan.

KSPS juga mengembangkan pertanian hortikulutra, meski Desa Salassae bukanlah daerah penghasil sayuran. Kini mereka bisa panen berbagai jenis sayuran seperti cabe, kacang-kacangan dan terong dari lahan seluas 1.000 meter yang mereka kelola secara berkelompok. Foto: Wahyu Chandra
KSPS juga mengembangkan pertanian hortikulutra, meski Desa Salassae bukanlah daerah penghasil sayuran. Kini mereka bisa panen berbagai jenis sayuran seperti cabe, kacang-kacangan dan terong dari lahan seluas 1.000 meter yang mereka kelola secara berkelompok. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,