UU PPLH Tak Bergigi, Banyak Pejuang Lingkungan Dikriminalisasi

UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 66 menyebutkan pejuang lingkungan tak bisa dikenai hukum. Sayangnya, pasal ini seakan tak berarti karena masih banyak kriminalisasi dialami pejuang lingkungan hidup.

“Implementasi Pasal 66 UU PPLH ini penting agar aktivis lingkungan hidup tidak dikriminalisasi,” kata Abetnego Tarigan, direktur eksekutif Walhi Nasionaldi Jakarta, akhir April 2014.

Catatan Walhi terjadi peningkatan jumlah kriminalisasi pejuang lingkungan hidup. Baik terhadap masyarakat, komunitas bahkan pengurus organisasi di daerah. Tahun 2012, terjadi 147 kasus, 2013 naik signifikan menjadi 227 kasus.

Dedi Bram, ahli hukum lingkungan hidup Universitas Tarumanegara mengatakan, kesulitan pelaksanaan Pasal 66 karena banyak hakim tidak memiliki sertifikasi khusus soal hukum lingkungan. “Masyarakat dijerat hukum karena mengambil ranting di kawasan hutan dan diancam UU P3H, korporasi yang membabat hutan dibiarkan,” katanya.

Dia mencontohkan, kasus di Batu, Jawa Timur. Hakim di kota itu belum banyak memiliki sertifikasi hukum lingkungan hidup sampai diganti. “Ketika saya chek hakim bilang sudah ikut sertifikasi. Kenyataan tidak. Hanya pelatihan, tapi tak lulus. Ini jadi masalah serius.”

Rhino Subagya dari USAID mengatakan, Pasal 66 lahir dengan semangat melindungi aktivis lingkungan hidup. Dalam kenyataan berbalik. Pejuang lingkungan hidup diintimidasi dengan teror. Bahkan digugat hukum, baik pidana maupun perdata.

Mahkamah Agung tahun 2011 sudah membuat pedoman hakim menyikapi ini. “Harus dilihat obyektif tindakan anarkis akibat pengelolaan SDA. Hakim perlu melihat konten pencemaran lingkungan jadi acuan utama saat masuk gugatan hukum.”

Hak atas lingkungan hidup baik dan sehat, merupakan hak asasi manusia jadi wajib diperjuangkan.

Tumpak Winmark Hutabarat, koordinator media Walhi Nasional mengatakan, di kepolisian, pemahaman di Mabes Polri belum sampai kepada penyidik di daerah. Hingga Pasal 66 diabaikan.

Yazid Fanani, dari Bareskrim Polri mengatakan, pejuang lingkungan hidup tidak bisa dituntut tetapi jika merusak dan anarkis jadi masalah lain. “Ini tindak pidana.”

Kala proses penyidikan, polisi tak berdiri sendiri, tetapi tergantung keterangan saksi ahli. “Seringkali saksi ahli, tidak hadir dalam persidangan.”

Keterangan saksi ahli juga menyulitkan penyidik. Misal, polri dan perusahaan menggunakan alhi dari satu universitas sama tetapi keterangan berbeda.  “Kita berkomitmen penuh, tentu masih banyak kekurangan.”

Edo Rahman, pengkampanye Walhi Nasional, mengatakan, Pasal 66 yang masuk pejuang lingkungan perorangan atau badan usaha yang menjadi saksi atau pelapor tidak berlaku masyarakat.

“Bagaimana dengan masyarakat atau kelompok masyarakat yang mempertahankan lingkungan hidup dari ancaman kerusakan? Ini tujuan sama tetapi perlindungan hukum berbeda.”

Dalam beberapa kasus didampingi Walhi, meski berstatus pelapor atau penggugat namun warga tak lepas dari kriminalisasi dan gugatan balik.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,