,

Peneliti: Koridor Upaya Untuk Tekan Konflik Gajah dan Manusia di Jambi

Berkurangnya wilayah jelajah gajah sumatera di Lansekap Bukit Tigapuluh Jambi diikuti dengan semakin meningkatkan konflik antar manusia dan satwa liar ini. Pada periode 2013 telah terjadi 100 kali konflik antara gajah dan manusia yang lebih banyak jika dibandingkan tahun 2012. Pada tahun 2011, tercatat 8 gajah mati karena dibunuh dan keracunan pestisida di lokasi ini.

Berdasarkan data IUCN, di wilayah Sumatera secara keseluruhan, populasi gajah telah merosot hingga 80 persen dalam tiga dekade terakhir.

Kontur berbukit-bukit di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) juga menyebabkan seluruh populasi gajah saat ini telah berada diluar kawasan TNBT.  Gajah yang tidak menyukai kontur berbukit-bukit, kemudian mencari area datar untuk wilayahnya jelajahnya.  Masalah timbul ketika area ini telah berubah menjadi konsesi perusahaan HTI, sawit, pertambangan dan perkebunan masyarakat.

Baharun, seorang warga desa Muaro Sekalo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo mengeluhkan tentang semakin seringnya gajah masuk ke desanya. “Sejak zaman nenek moyang kami gajah memang selalu masuk ke desa kami, namun dulu gajah masuk ke desa sekali setahun atau 6 bulan sekali tapi sekarang bisa dibilang kami hidup bersama gajah,” ujarnya.

Peta Sebaran Populasi Gajah di Lansekap Bukti Tigapuluh. Konflik antar gajah dan manusia selama 2013 terjadi lebih dari 100 kali, jauh meningkat dibandingkan 2012. Sumber: FKGI
Peta Sebaran Populasi Gajah di Lansekap Bukit Tigapuluh. Konflik antara gajah dan manusia selama 2013 terjadi lebih dari 100 kali, jauh meningkat dibandingkan 2012. Sumber: FKGI/FZS

Koridor Gajah dan Tantangan Konservasinya

Mencermati situasi yang ada, Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) menyerukan dibangunnya koridor (wilayah penghubung) antar kelompok gajah yang berada di lansekap Bukit Tigapuluh, yaitu diantara kawasan HTI karet PT Lestari Asri Jaya (LAJ), kawasan eks HPH Dalek Hutani Esa (DHE) dan PT Tebo Multi Agro (TMA).

Para peneliti merekomendasikan daerah sempadan sungai yang melewati tiga kawasan ini dialokasikan selebar 100 meter sebagai wilayah koridor. Kawasan sempadan sungai ini dipilih karena berdasarkan peraturan perundangan kawasan sempadan sungai tidak boleh diganggu kelestariannya oleh aktifitas perusahaan.

“Dengan adanya koridor ini kami berharap agar ruang jelajah gajah lebih luas dan ketersediaan pakan lebih banyak sehingga gajah tidak masuk lagi ke perkebunan masyarakat serta menjaga kelangsungan populasi gajah di kawasan ini,” jelas Krismanko Padang, Ketua FKGI.

Ia mengakui bahwa konsep koridor satwa buatan ini merupakan sebuah konsep yang di Indonesia implementasinya belum membuahkan keberhasilan. Sebagai pembatas koridor, ia mengusulkan penanaman kemiri yang berfungsi sebagai pagar alami agar gajah tidak kembali masuk ke konsesi perusahaan dan kebun masyarakat.  “Gajah tidak suka kemiri, kemiri juga dapat dimanfaatkan sebagai penghasilan tambahan bagi warga desa dan dapat dikembangkan sebagai energi alternatif,” paparnya.

Kayu perambah di area konsesi PT LAJ.  Sumber: FKGI/FZS
Perambahan kayu di area konsesi PT LAJ. Foto: Lili Rambe

Berdasarkan hasil penelitian, seekor gajah dewasa membutuhkan kawasan yang memiliki luas setidaknya 500 hektar. Dengan 100 ekor gajah di Lansekap Bukit Tigapuluh maka diperlukan sekurang-kurangnya 50.000 hektar sebagai wilayah jelajah gajah.  Kawasan Restorasi Ekosistem PT Alam Bukit Tigapuluh (eks HPH DHE) tidak akan mampu menampung seluruh gajah liar yang ada karena kawasan ini hanya memiliki luas total 45.095 hektar.

“Kami juga akan terus melakukan pendekatan dengan pihak PT LAJ terkait dengan pembuatan koridor gajah. Kawasan PT LAJ memegang peranan penting dalam pembuatan koridor ini karena kawasan inilah yang akan menghubungkan kawasan eks HPH Dalek dan PT TMA,” Krismanko menjelaskan lebih lanjut .

Sementara itu, PT LAJ yang merupakan anak perusahaan Barito Pasific Group agak keberatan dengan usulan koridor gajah ini. Mereka mengaku telah mengalokasikan kawasan konservasi di sebelah utara kawasan konsesinya. Di dalam area kerja PT LAJ seluas 61.495 hektar, diperkirakan terdapat kelompok yang terdiri dari 30 ekor gajah yang bermukim di kawasan konsesi PT LAJ.

Husein, Direktur Operasional PT LAJ mengatakan bahwa pemindahan kawasan konservasi ke selatan konsesi LAJ tidak mungkin dilakukan karena kawasan tersebut adalah kawasan yang telah mulai mereka tanami sesuai dengan RKT (Rencana Kerja Tahunan) yang telah disahkan Kemenhut.

Sempadan Sungai Andelang yang diusulkan sebagai koridor gajah, telah dibuka karena perambahan masyarakat. Sumber FKGI/FZS
Sempadan Sungai Andelang yang diusulkan sebagai koridor gajah, telah dibuka karena perambahan masyarakat pendatang. Foto: Lili Rambe

Meskipun dinilai telah melaksanakan mitigasi konflik antara gajah dengan manusia, Krismanko menyoroti aktifitas LAJ yang telah membuka sempadan sungai tempat kelompok gajah bermukim. “PT LAJ telah menyalahi  PP No. 38 tahun 2011 tentang Sungai karena telah melakukan pembiaran pembukaan kawasan sempadan sungai,” jelas Krismanko. Diapun menekankan aktifitas perusahaan di kawasan ini akan mempersempit ruang gerak gajah dan menciptakan peningkatan resiko konflik dengan manusia.

Menurut Krismanto, PT LAJ juga telah merugikan masyarakat sekitar konsesinya, karena telah menyebabkan pencemaran sumber air masyarakat serta tidak melakukan upaya perlindungan keanekaragaman hayati seperti yang diatur dalam Undang-Undang nomor 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Irmansyah Rahman, Kadishut Jambi mengatakan pihaknya tengah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk mengatasi konflik masyarakat dengan gajah. “Kami telah berkoordinasi  dengan PT. LAJ mengenai penyelesaian konflik gajah. Pembukaan kawasan sempadan sungai dilakukan oleh para perambah,” jelasnya.

Irmansyah menjelaskan PT LAJ kesulitan untuk mengambil tindakan tegas pada perambah yang masuk dalam kawasan konsesi mereka karena akan menciptakan konflik yang lebih besar dan akan menimbulkan isu sensitif terkait keberadaan kelompok suku tertentu. Ia berharap agar pembuatan koridor gajah dapat segera terlaksana dan dibakukan dalam SK Gubernur.

“Kami akan menuruti apapun poin penyelesaian konflik gajah ini karena jika tidak diselesaikan, kelompok gajah akan merugikan kami karena merusak tanaman karet yang telah kami tanam,” pungkas Husein.

========================

Catatan Redaksi:

Data dalam artikel ini telah diperbaiki per tanggal 14/06/2014 sesuai dengan masukan dari Alexander Mossbrucker, peneliti gajah sumatera dari FZS, yang telah menyampaikan informasi kepada redaksi Mongabay bahwa jumlah gajah yang mati karena konflik dengan manusia selama tahun 2011 di Lansekap Bukit Tiga Puluh berjumlah 8 ekor.

Artikel yang diterbitkan oleh
,