,

Masyarakat Adat Tiga Batu Tungku Deklarasi Tolak Pembangunan Rusak Alam

Senin (23/6/14), masyarakat adat Tiga Batu Tungku yaitu Mollo, Amanuban dan Amanarun,  berkumpul di bawan Batu Naususu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Mereka merayakan dan deklarasi perjuangan menyelamatkan, memulihkan dan melindungi alam mereka. Dalam deklarasi bersama ini, mereka menginginkan kekayaan pengetahuan, kekayaan alam dan kearifan lokal dihargai, diakui, dilindungi serta dikembangkan.

“Kami berikrar tidak menjual apa yang tidak bisa kami buat.” Demikian kata Soleman Taosu, Maria Sanam (Mollo), Gabriel Nau dan Maria Talan (Amanuban), Joni Nomleni dan Yuliana Tefa (Amanatun) yang membacakan deklarasi. Mereka mewakili 647 kelompok tani dan perempuan penenun Kab TTS telah mendiskusikan upaya-upaya yang telah dan akan dilakukan.

“Kami percaya alam itu bagai tubuh manusia hingga segala bentuk usaha ekonomi yang merusak bagaikan merusak tubuh kami. Kami khwatir pemerintah dan masyarakat membiarkan perusakan alam makin meluas dan merusak kehidupan sendiri.”

Deklarasi ini dibacakan sebagai penutup acara Festival Nekafmese yang diselenggarakan sejak 19-23 Juni 2014.

Melky Nahar dari Jaringan Advokasi Tambangan (Jatam) Nusa Tenggara Timur kepada Mongabay  mengatakan, ancaman di Kabupaten TTS sampai detik ini masih ada perusahaan tambang Mangan, PT Soe Makmur Resources (SMR).

Masyarakat gelar ritual adat, mensyukuri anugerah Tuhan, akan alam. Masyarakat pun wajib untuk menjaga alam hingga tidak rusak. Foto: Formada NTT
Masyarakat gelar ritual adat, mensyukuri anugerah Tuhan, akan alam. Masyarakat pun wajib untuk menjaga alam hingga tidak rusak. Foto: Formada NTT

Seharusnya, pemerintah TTS cerdas dan tahu dominasi masyarakat bermata pencarian sektor pertanian dan peternakan. Hingga masyarakat tak mendapatkan keuntungan dari pertambangan. yang ada malah kerusakan alam dan lahan masyarakat adat.

Dalam website SMR dijelaskan, perusahaan didirikan pada 22 Juli 2008, IUP operasi produksi oleh Gubernur NTT pada 28 Januari 2010. Luasan meliputi 4.550 hektar di Timor Tengah Selatan, NTT.

“Kami mendapatkan informasi masyarakat Kabupaten TTS,  akan ada pertambangan emas di Gunung Mutis. Karena itu, dalam deklarasi, masyarakat sepakat menolak pertambangan emas, mangan dan migas masuk di wilayah adat mereka,” kata Melky.

Dalam surat deklarasi disebutkan, masyarakat Adat Tiga Batu Tungku menyatakan keprihatinan terhadap pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Antara lain, terkait lambang Kabupaten TTS bergambar Haumeni Tukluaf pangkal pohon Cendana rapuh.  Masyarakat mengusulkan lambang diubah menjadi pohon Cendana utuh agar TTS menjadi lebih kuat.

“Kami yakin kawasan konservasi Mutis akan memberi manfaat lebih besar jika pengelolaan diserahkan kepada masyarakat adat. Kami menolak segala bentuk usaha pertambangan dan migas yang telah, sedang dan akan merusak alam dan kehidupan kami.”

Mama Aleta Baun, pejuang lingkungan dari Nusa Tenggara Timur, peraih penghargaan Goldman Environmental Prize 2013 mengatakan, ancaman alam dan hutan adat di Kabupaten TTS adalah pertambangan mangan, emas dan migas.

“Pertambangan hanya akan memiskinkan masyarakat, merusak hutan adat, dan mengancam krisis sumber air.”

Masyakakat ingin wilayah adat diakui berdasar peta jelas akan kekayaan di dalamnya. Memastikan sumber air, batu, dan pohon kami diakui dan dilindungi. Peta ini, katanya, akan menjadi bahan utama pengambilan kebijakan, perencanaan program pembangunan wilayah.

“Kami sedang pemetaan partisipatif wilayah adat, dimulai dari Mollo, lalu Amanuban dan Amanatun.”

Mama Aleta berharap, pemerintah pusat dan daerah benar-benar mendahului kepentingan konservasi dan mengutamakan perlindungan alam. “Lakukan konservasi terhadap alam, setop pertambangan dan mengembalikan wilayah adat kepada masyarakat adat.”

Masyarakat Adat Mollo, Amanuban, dan Amanatun sedang menunjukkan ke peserta hasil tenunan. Foto:   Formada NTT
Masyarakat Adat Mollo, Amanuban, dan Amanatun sedang menunjukkan ke peserta hasil tenunan. Foto: Formada NTT
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,