Menyaksikan atraksi burung di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang berada di jantung Sulawesi Tengah memang butuh kesabaran. Jika tidak, jangan harap Anda bisa menjumpai burung-burung unik di kawasan ini. Sebut saja kipasan sulawesi (Rhipidura teysmanni), burung seukuran salak pondoh yang ekornya menyerupai kipas. Ada juga gagak berleher putih atau yang dikenal dengan gagak sulawesi (Corvus typicus) dan kancilan ungu (Coracornis raveni). Kicau burung yang bersahutan ini bagai orkestra alam yang menakjubkan.
Ada beberapa kawasan di TNLL ini yang dijadikan tempat pengamatan burung yakni, Napu, Wuasa, Dodolo, Pakauli, Simoro, Tufa, Lindu, dan Danau Tambing. Dari beberapa titik tersebut, Danau Tambing lah yang paling mudah diakses. Jaraknya hanya 55 kilometer dari Palu dan letaknya di ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut. Balai Taman Nasional Lore Lindu mencatat, sekitar 200 jenis burung ada di sini yang 30 persennya endemik (tidak ada di tempat lain).
Idris Tinulele (40), relawan yang peduli terhadap burung, mengatakan jika ingin melihat burung di Danau Tambing harus meluangkan banyak waktu. “Rugi bila satu atau dua jam karena kita baru mendengar suaranya saja. Bila empat hingga lima hari kita akan melihat hingga 100 ekor,” kata Idris yang bisa menirukan berbagai suara burung.
Idris juga menceritakan pengalamannya kala menemani wisatawan asal Swedia yang tidak mau kembali sebelum melihat kancilan ungu. “Untungnya, kami melihat si Maroon-backed Whistler ini. Saking senangnya, turis ini memberi saya uang,” ujarnya terkekeh.
Namun begitu, Idris juga khawatir akan keberadaan burung-burung di sini. Pasalnya, masih banyak perusak lingkungan yang mengambil kayu dari areal taman nasional ini. Belum lagi, kawasan pengamatan burung ini dekat dengan masyarakat yang tinggal di Dongi-Dongi. Ya, masyarakat Dongi-Dongi memang tinggal di kawasan TNLL. Sejak 1970-an mereka sudah menetap di sana.
Masyarakat Dongi mulai sadar
Berdasarkan data Balai TNLL, jumlah masyarakat yang tinggal di Dongi-dongi mencapai 800 lebih kepala keluarga. Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar TNLL Ahmad Yani mengatakan kondisi ini tak jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya kala masyarakat Dongi Dongi tidak mau dipindahkan. Tapi, saat ini pola pikir mereka sudah berubah. Bila dahulunya masih merambah hutan di dalam kawasan TNLL, kini mereka sudah malu dan mau bekerja sama dengan pemerintah.
“Sejak 2012 hingga 2014, mereka menerima program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Jadi, areal yang pernah mereka rambah sebagian sudah direhabilitasi kembali. Dengan program ini mereka kembali menanami hutan yang pernah mereka rambah. Kegiatan ini hasil kerja sama TNI, masyarakat, kelompok pencinta alam, dan media,” kata Ahmad Yani.
Menurut Ahmad Yani, ada perubahan dari cara pandang masyarakat Dongi-Dongi terhadap alam. Kalau awalnya mereka tidak peduli dan terus merambah, kini mereka sadar dengan adanya banjir bandang dan tanah longsor yang pernah menimpa daerah mereka. Diperkirakan mencapai 3.000 hektar. Wilayah-wilayah yang pernah dirambah kini sudah ditanami pepohonan seperti palapi, durian, cempaka, kemiri dan lain-lain.
Kami berharap, dengan kondisi yang membaik ini, kawasan pengamatan burung di Danau Tambing terjaga kelestariannya. “Sehingga, siapa saja yang ingin melakukan pengamatan tidak kesulitan melihat ragam burung liar yang cantik ini” paparnya.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio