Sungai Kelingi merupakan salah satu daya tarik Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Keindahan alam dan kekayaan hayatinya, membuat sungai ini banyak dikunjungi wisatawan, termasuk yang ingin melakukan arung jeram. Namun, lima tahun ke depan, daya tarik Sungai Kelingi diperkirakan akan hilang. Kenapa?
Sungai Kelingi memiliki panjang 70 kilometer dan lebarnya berkisar 50-70 meter dengan ketinggian sekitar 40 meter dari permukaan laut. Selain di Lubuklinggau, sungai ini juga mengalir di Kabupaten Musirawas. Tepatnya, di Muara Kelingi. Sungai ini berhulu di Bukit Barisan yaitu di Rejang Lebong, Bengkulu. Bermuara ke Sungai Beliti yang kemudian mengalir ke Sungai Musi.
Jarak Kota Lubuklinggau dari Palembang, ibu kota Sumatera Selatan, sekitar 314 kilometer. Lubuklinggau yang berada paling barat di Sumatera Selatan, memiliki luas 40.150 hektar. Sekitar 200 hektar masuk wilayah TNKS. Jumlah penduduknya sekitar 200 ribu jiwa.
Berbeda dengan sungai lainnya yang mengalir di Lubuklinggau, seperti Sungai Mesat, Sungai Malus, Sungai Kasie, Sungai Kati dan Sungai Temam, sungai ini memiliki 18 jeram saat melintasi Lubuklinggau.
Sungai Kelingi berada di tepi Bukit Sulap yang merupakan bagian Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), yang masih kaya dengan tanaman hutan dan satwa khas Sumatera. Hijau dan indah. Tanaman yang ditemukan duku, durian, karet, rambutan, pisang, jambu, serta tumbuhan lain berupa pohon, semak, dan herba.
Unsur abiotik sungai ini berupa batuan yang beragam bentuk dan ukuran, pasir, juga lumpur. Sedangkan biotiknya meliputi ikan seperti petek (Stenops vittatus), betok (Anabas testudineus), gurame (Osphronemus goramy), baung (Mystus nemurus), baung jaksa (Macrones wycki), bilis (Rasbora lateristriata), cawang hidung (Schistorynchus heterorhynchus), cengkak (Tor tambroides), biji duren atau baung munti (Bagroides melapterus), baung buntak (Mystus nemurus,) beringit (Mystus nigriceps), ikan duri (Arius venosus), layang-layang (Bagrichthys macracanthuss), merundu atau lundu (Mystus gulio), dan tikusan atau tiang layar (Bagrichthys hypselopterus).
Kemudian lambak (Dangila ocelata), lampam (Barbodes schwanefeldii), lemajang (Cyclolochelichtys enoplos), sepat siam (Trycogaster pectoralis), sepat merah mato (Tricogaster tricopterus), lais timah (Cryptopterus schilbeides), aro merah mato (Osteochilus melanopleura), bawal putih (Pampus orgenteus), gegali atau maliki atau kerali (Labocheilos sp), ikan elang (Puntius tetrazona), ikan haji (Puntius anchisporus), juar (Luciosoma trinema), kebarau (Hampala macrolepid), keperas (Puntius waadersi), kepah (Barbodes sp), kepiat (Barbodes sp), dan kerali (Labocheilos falcifer).
Penambangan tradisional batu koral
Ancaman pertama terhadap Sungai Kelingi adalah aktivitas penambangan tradisional batu koral. Penambangan ini dilakukan sekitar 200 warga di sepanjang sungai. Salah satunya di Dusun Ulaklebar.
Para penambang ini menggunakan ban karet menyusuri Sungai Kelingi. Batu-batu koral yang diambil dari dasar sungai diletakan di tengah ban. Batu koral yang diambil dari ukuran kecil hingga besar.
Batu koral ini dijual kepada para pembeli yang mendatangi lokasi penambangan. Ukuran kecil dihargai Rp120 ribu per kubik, ukuran sedang Rp210 ribu per kubik, dan ukuran besar Rp225 ribu per kubik.
“Sehari maksmimal kami dapat satu kubik. Upahnya Rp20 ribu,” kata Kalsim, seorang penambang di Ulaklebar, awal Agustus 2014 lalu.
Guna mendapatkan satu kubik batu koral, dibutuhkan empat pekerja. Dua yang memungut di sungai, dua lagi membawanya dari tepi sungai ke penampungan. “Rp40 ribu diambil pemilik tanah yang dijadikan tempat penampungan,” kata Kalsim.
Maraknya penambangan batubara ini menyebabkan tepian Sungai Kelingi erosi, sehingga beberapa kali pohon yang berada di tepi sungai tumbang. Penambangan ini menyebabkan pula keruh.
“Bukan hanya menambang batu koral, ada juga yang menambang pasir,” kata Dono Pratono, ketua Ayo Kelingi, sebuah organisasi pegiat wisata arung jeram di Lubuklinggau. Aktivitas penambangan batu koral dan pasir, kata Dono, menyebabkan delta yang berada di tengah sungai berkurang luasnya.
“Jika penambangan liar ini tidak segera dihentikan, lima tahun ke depan Sungai Kelingi akan mengalami kerusakan,” ujarnya.
Selain penambangan tradisional, keberadaan Sungai Kelingi juga terancam pembuangan limbah rumah tangga. “Parit dari rumah tangga di Lubuklinggau sebagian besar tanpa penyaringan. Pembuangan langsung ke Sungai Kelingi,” katanya.
Limbah rumah tangga ini juga datangnya dari masyarakat di Rejang Lebong, Bengkulu, lokasi hulu Sungai Kelingi.
Sebelumnya, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Lubuklinggau membenarkan Sungai Kelingi yang mengalir di Lubuklinggau telah tercemar limbah rumah tangga. Statusnya masih dalam kategori ringan.
Mengenai penambangan tradisional batu koral dan pasir, BLH Lubuklinggau mengaku belum dapat melakukan penertiban karena tidak adanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH).
“Kita terkendala PPNS dan PPLH, tim yustisi kita juga belum ada, sehingga tidak dapat melakukan penertiban,” kata Wahyu Islami dari Kasi Pengendalian Dampak Lingkungan BLH Lubuklinggau.
Yang dapat dilakukan pemerintah Lubuklinggau adalah melakukan himbauan kepada masyarakat, dan memasang sejumlah reklame untuk menjaga kebersihan Sungai Kelingi dari sampah.
Ekonomi alternatif
Bukan langkah baik jika para penambang tradisional tersebut dilarang tanpa memberikan solusi pekerjaan. “Mereka butuh makan untuk keluarganya, sehingga melakukan hal tersebut. Kalau hidup mereka sejahtera, mereka tidak akan melakukannya. Pekerjaan itu berat dan sangat tidak seimbang dengan penghasilannya,” kata Dono.
Dono berharap pemerintah memberikan pekerjaan alternatif kepada mereka. “Misalnya mengoptimalkan kelompok tani dengan menanam tumbuhan obat-obatan, seperti kunyit putih, manggis, jahe merah, yang kini banyak dibutuhkan masyarakat,” ujarnya.
Langkah yang tengah dirintisnya saat ini yakni melibatkan masyarakat dalam kegiatan pariwisata yang memanfaatkan Sungai Kelingi dan Bukit Sulap. Misalnya membuka usaha kerajinan, kuliner, cinderamata buat wisatawan yang berkunjung.
“Insyaallah tahun depan para penambang tradisional ini mulai berkurang karena memiliki pekerjaan alternatif,” ujar Dono.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio