,

Pembangunan Jalan Maros-Bone Ancam Ekosistem Karst, Mengapa?

Tebing Pattunuang, sebagai titik pertama pembangunan jalan Maros-Bone. Foto: Eko Rusdianto

Antara tebing karst dan pepohonan, Indra berhenti. Dia menunjukkan tikungan tajam sembari menceritakan rencana pemerintah daerah akan membangun jalan dari Maros menuju Bone. Sepeda motor terus melaju dengan hati-hati.

Jalan ini melintas sepanjang 148 kilometer melalui pegunungan karst, dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusuraung sepanjang 11 kilometer. Pegunungan ini merupakan hamparan karst kedua terbesar di dunia.

“Iya jalan lama ini, nanti tak akan digunakan lagi. Jalan baru akan melayang di atas bukit.” Dia menunjukkan beberapa tebing karst yang akan dipangkas karena perlebaran jalan.

Indra Perdana, adalah staf Balai TN Bantimurung Bulusuraung. Sepanjang perjalanan, dia menyebut beberapa nama pohon dalam bahasa latin yang berdiri di sisi jalan.

Menurut dia, beberapa titik yang akan dilalui jalan adalah habitat  monyet endemik Sulawesi (Macaca maura) mencari makan.  “Apa pohon untuk pakan macaca? Pikus (Ficus sp). Akan kutunjukkan,” katanya.

Pikus adalah pohon berbatang kuat. Diameter bisa sampai satu meter. Akar menyembul diantara batuan karst dan beberapa memiliki akar gantung. Pikus menjulang tinggi, buah untuk pakan satwa liar seperti monyet dan burung. “Pikus makanan utama Macaca maura. Jika pohon ini hilang rantai makanan akan putus.”

Pakar Kehutanan Universitas  Hasanuddin Amran Ahmad, angkat bicara. Amran menjadi bagian tim independen Kementerian Kehutanan, bertugas menganalisis rencana pembangunan jalan. “Saya minta Amdal. Saya liat dan telisik. Itu kacau sekali. Amdal dibuat umum, tanpa ada kajian khusus untuk wilayah taman nasional. Itu tidak boleh seperti itu,” katanya.

Menurut dia, segala macam aspek dan proses ekologi harus dijaga sedemikian baik jangan sampai merusak. “Pembangunan harus menjaga lingkungan. Kita tak anti pembangunan namun harus memperhatikan efek lingkungan.”

Titik pertama pembangunan jalan layang di Desa Pattunuang. Menanjak dan memutari bukit. Kemudian masuk ke jalan lama, melayang hingga di area Karaenta–tanam nasional yang menjadi habitat monyet, ebony dan pikus tumbuh subur . “Itu jalur yang riskan.”

Awal September 2014, Amran bersama Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VI, Balai TN Bantimurung Bulusaraung, Dinas Kehutanan provinsi dan Maros, serta beberapa instansi terkait, kunjungan lapangan.

Amran mengatakan, jalur jalan layang dan titik pelebaran mancapai tujuh meter, merupakan wilayah jelajah Macaca. Macaca, hidup berkelompok. Satu kelompok dari 30–40 ekor. “Pikus tak boleh ditebang. Jika ingin melebarkan jalan ambil sisi lain, jangan menerabas karst yang ditumbuhi pikus besar.”

Kelompok-kelompok Macaca ini memiliki teritori sendiri. Tak ada anggota kelompok lain dapat bergabung dengan kelompok satunya. Jika pakan satu kelompok hilang, kelompok lain tak boleh memasuki area kelompok lain. Jika terjadi akan ada pertengkaran.

Tak hanya itu, di beberapa titik jalan di tebing, dua sisi jalan berdiri pohon saling bersentuhan, sebagai koridor satwa. “Jika jalan diperlebar, semua harus diperhitungkan. Semua harus jelas. PU (Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional VI) harus menghitung ada berapa kelompok Macaca yang teritori melintasi jalan. Itu harus dibuatkan koridor masing-masing,” kata Amran.

Liukan Jalan Pattunuang - Karaengta, cukup tajam.  Foto: Eko Rusdianto
Liukan Jalan Pattunuang – Karaengta, cukup tajam. Foto: Eko Rusdianto

Aliran air bawah tanah

Ketika Amran meminta menunjukkan titik bor untuk pendirian tiang pancang jalan layang, ternyata sebagian besar di atas aliran air. “Ingat, karst tempat menyimpan air. Jika aliran air tertutup, proses ekologi akan terganggu.”

Selain itu, antara tebing-tebing karst terdapat sinkhole (jalur air dari permukaan). Jalur air ini biasa berbentuk ceruk kecil ataupun retakan kecil, yang berfungsi sebagai jalan utama saat terjadi hujan dan memasukkan ke celah karst. Lalu mengalir menuju sungai bawah tanah, atau menuju gua. “Jika jalur ini tertutup, proses krastifikasi tak akan terjadi.”

Tak hanya itu, membangun infrastruktur di permukaan karst harus memiliki perhitungan baik. Karst adalah batuan mudah retak dan patah, tak seperti batuan padat lain yang masif dan kuat. Sesekali waktu pada batuan karst bisa terjadi runtuhan kecil.

Sinkhole tak bisa dibuat manusia. Lubang air diciptakan alam dalam proses panjang. Jadi jangan dirusak.”

Saya mencoba mencari jalur air namun tak menemukan. Indra memperlihatkan gua di bawah jalan. Beberapa merupakan sumber air utama penduduk di sekitar kawasan. “Jika tiang jalan itu menerobos aliran air, akan ada perubahan besar dalam perut karst. Itu akan sangat merugikan,” kata Siti Chadidjah Kaniawati, kepala Balai TN Bantimurung Bulusaraung.

Menurut Dede, panggilan akrab Siti Chadidjah, air akan mencari celah baru dan berusaha menerobos dinding karst lain. Jika tak sanggup, akan terjadi luapan dan menyebabkan kekeringan. “Kita belum bicara tentang ekologi spesifik loh. Yang dalam gua itu, mungkin saja ada kelelawar atau hewan lain yang menjadi ciri khas.”

Sementara itu, ketika jalan mulai menerobos kawasan taman nasional, akan terjadi penurunan tingkat pembagian zona. “Jika awalnya wilayah itu zona inti dan zona rimba, saat jalan baru jadi akan menjadi zona khusus atau pemanfaatan.”

Dalam pembagian kawasan wilayah, tak dibenarkan menebang ataupun mengganggu zona inti dan rimba di luar kegiatan kehutanan. Zona khusus atau pemanfataan dibenarkan ada kegiatan wisata dan hanya pendidikan.

Apakah tak ada jalur lain untuk pembangunan jalan? Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Agus Arifin Nu’mang, punya perhitungan lain. Menurut dia, jalur yang menghubungkan Maros–Bone merupakan jalur utama perdagangan menuju Kendari, Sulawesi Tenggara. Jika ditarik garis lurus titik ini akan menghubungkan Pelabuhan Bajoe (Bone) menuju Maros lalu ke Pelabuhan Makassar. “Jika arus Maros ke Bone terputus, akan berdampak pada Sulawesi Tenggara.”

Pohon pikus yang ada di tepian dan sekitar jalan yang masuk tanam nasional bakal terkena tebang kala pembangunan jalan. Buah pohon itu, salah satu makanan utama monyet endemik Sulawesi. Foto: Eko Rusdianto
Pohon pikus yang ada di tepian dan sekitar jalan yang masuk tanam nasional bakal terkena tebang kala pembangunan jalan. Buah pohon itu, salah satu makanan utama monyet endemik Sulawesi. Foto: Eko Rusdianto

Menurut Nu’mang, setiap hari truk-truk pengangkut kebutuhan pokok dan hasil alam melewati jalur Maros–Bone. “Seperti Kakao dari Sultra, semua tertampung di Pelabuhan Makassar. Saya kira tak ada jalur lain lebih strategis selain jalur itu,” katanya.

“Jika ada lokasi memasuki taman nasional, kita kajian bersama. Di Sumatera Barat sudah ada kelok sembilan, saya kira itu akan lebih bagus. Awalnya hutan lindung.”

Dia menambahkan, ketika jalan layang dan pelebaran dilakukan di Maros  menuju Bone, pengunjung akan mendapatkan spot bagus. Berhenti di sisi jalan melihat Macaca, atau burung terbang. “Disitu akan ada nilai wisata. Kita (pemerintah daerah) tak akan merusak kekayaan alam,” kata Nu’mang.

Pembangunan sudah dimulai

Kamis (14/9/14), groundbreaking pembangunan infrastruktur di Sulsel sudah dilaksanakan.  Antara lain peletakan batu pertama pembangunan rel kereta api, underpass pertigaan bandara Sultan Hasanuddin dan peningkatan kapasitas jalan dari Maros-Bone.

Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VI, Deded P. Sjamsuddin mengatakan, peningkatan kapasitas jalan untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas. “Sekarang jalur, lebar ada empat, lima dan enam meter. Sangat sempit untuk kendaraan truk besar seperti 12 roda. Selalu terjadi kemacetan.”

Saat ini, pelebaran jalan sudah berjalan di beberapa titik mencapai 20 kilometer. Sementara pelebaran belum menyentuh taman nasional. Anggaran APBN Rp80 miliar. Targetnya, tahun 2015 pembangunan awal masuk taman nasional. Untuk rencana jangka menengah, 2015–2018 total Rp1 triliun. “Kita lihat nanti (besaran anggaran), bisa naik dan bisa turun, tergantung situasi.”

Dedy Asriady, kepala seksi Balai TN Bantimurung Bulusaraung, memperkirakan hal sama. “Semua dampak akan dikaji. Bisa saja dengan laju kendaraan lebih cepat, kemungkinan besar satwa melintas akan tertabrak. Tim independen Kemenhut sudah memberikan rekomendasi. Kita menunggu.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,