Wombo Kalonggo, Desa Penghasil Bawang Goreng yang Berjuang Mendapatkan Hutan Kemasyarakatan

Wombo Kalonggo merupakan desa di Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Desa di tepi hutan yang disebut sebagai permukiman Raja Tawaeli dari kejaran kolonial Belanda ini, sedang berjuang mendapatkan status hutan kemasyarakatan (HKm) untuk wilayah kelola hutan mereka.

Januari 2013, Kepala Desa Wombo Kalonggo mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 04/WK/01/2013 tentang pembentukan kelompok pengelola hutan kemasyarakatan “Sintuvu Roso”. Sebab, sebelah timur desa mereka, sebagiannya masuk kawasan hutan lindung yang berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong.

Taswin Lageli, salah seorang warga dan juga anggota kelompok pembentukan pengelola HKm Wombo Kalonggo mengatakan, desa mereka merupakan desa terakhir yang berbatasan langsung dengan hutan. Sebelumnya, banyak sekali perambahan hutan terjadi; mereka mengambil rotan dan kayu hitam yang di bawa ke luar desa. Akibatnya, banjir menghantam Wombo Kalonggo dan beberapa desa tetangga lainnya.

“Kini, masyarakat sadar, tidak ada lagi yang melakukan perambahan hutan,” kata Taswin, kepada Mongabay Indonesia.

Luas Wombo Kalonggo adalah 10.000 meter persegi dengan 254 kepala keluarga dan jumlah penduduknya sebanyak 1.497 jiwa. Mayoritas, mereka bersuku Kaili dan sebagian besar atau 90 persen berprofesi sebagai petani. Selebihnya, wirausaha. Masyarakatnya  berpegang teguh pada adat istiadat dan masih menjalankan ritual adatnya.

Muhamad Ulung, Kepala Desa Wombo Kalonggo mengatakan, dengan adanya status hutan kemasyarakatan maka pemanfaatan hutan akan terkelola dengan baik dan dapat dimanfaatkan secara optimal yang mengedepankan prinsip kelestarian. Saat ini, kelompok masyarakat pengelola hutan kemasyarakatan sedang mencoba melakukan budidaya lebah madu hutan. Padahal budidaya tersebut merupakan hal baru bagi warga.

Desa bawang goreng

Jika berpelesiran ke Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, akan banyak ditemukan pusat oleh-oleh yang menjual bawang goreng. Rasanya yang gurih dan renyah seperti kerupuk, membuat bawang goreng ini menjadi oleh-oleh khas Palu. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa asal dari bawang goreng yang ada di rak-rak toko itu dari Desa Wombo Kalonggo. Desa ini memang terkenal sebagai salah satu desa penghasil bawang goreng di Sulawesi Tengah.

Desa Wombo Kalonggo, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, dikenal sebagai penghasil bawang goreng yang gurih nan renyah. Foto: Christopel Paino
Desa Wombo Kalonggo, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, dikenal sebagai penghasil bawang goreng yang gurih nan renyah. Foto: Christopel Paino

Menurut Taswin Lageli, di desa mereka ada tiga kelompok wanita tani yang khusus membuat bawang merah dan diolah menjadi bawang goreng. Bawang goreng tersebut kemudian dijemput oleh para pemilik toko dan juga rumah makan yang ada di Kota Palu. Setiap hari, perempuan desa itu memasak bawang goreng dengan jumlah minimal 500 kilogram.

“Itu angka minimal, dalam sehari desa kami memasok bawang goreng khas ke Kota Palu sebagai oleh-oleh khas dari Sulawesi Tengah,” kata Taswin.

Olahan bawang goreng ini tidak hanya dirasakan oleh anggota kelompok wanita tani saja, melainkan perempuan-perempuan desa yang tidak tergabung dalam kelompok. Sebab, untuk mengiris bawang merah, diperlukan tenaga tambahan. Dan biasanya, tugas mengiris itu diberikan kepada siapa saja yang mau dan diberikan bayaran Rp10.000 per bakul ukuran sedang. Yang mengambil peran itu rata-rata adalah perempuan desa, yang dikerjakan sembari berkumpul bersama keluarga atau kerabat. Sementara, kaum bapak membantu memasak bawang goreng.

“Banyak sekali manfaat dari bawang goreng di desa ini. Semua perempuan bekerja, laki-laki membantu saja,” ungkap Taswin.

Bawang goreng itu, ketika di Kota Palu dijual per kilogramnya seharga Rp175.000-200.000. Sementara, di desa asalnya di Wombo Kalonggo, hanya dijual Rp65.000 per kilogram.

Selain bawang goreng, Wombo Kalonggo juga memiliki hasil bumi seperti kemiri, cengkih, kakao, dan kelapa. Ada juga pohon tahunan yang ditanam warga di sekitar kawasan hutan. “Kami kesulitan dengan pasar. Bawang goreng contohnya, kalau warga sudah punya pasar sendiri akan sangat mengutungkan bagi desa,” kata Taswin lagi.

Di hulu, tutupan hutan wilayah Wombo Kalonggo masih terlihat bagus. Sementara di hilirnya, sawah ladang juga terlihat menguning. Seperti halnya seorang gadis, tanah-tanah dan lahan di Wombo Kalonggo kerap kali dilirik oleh perusahaan, khususnya perusahaan sawit.

“Bahkan, sempat dilakukan sosialisasi sawit oleh perusahaan. Tapi, masyarakat tidak tergiur dengan iming-iming dan janji yang disampaikan perusahaan,” kata Givent, dari Perkumpulan Relawan untuk Orang dan Alam (Roa) yang ikut mendampingi warga dalam mendorong skema HKm di Wombo Kalonggo.

Kini, Wombo Kalonggo sedang menunggu keputusan status hutan mereka menjadi hutan kemasyarakatan.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,