,

Renegosiasi PT. Vale Dianggap Rugikan Masyarakat Sulawesi Tengah. Apa Solusinya?

Renegosiasi salah satu perusahaan tambang nikel terbesar yang beroperasi di Pulau Sulawesi, PT. Vale Indonesia, dianggap tidak menguntungkan masyarakat Sulawesi Tengah.

Hasil renegosiasi ini ditolak oleh sekelompok pemuda dengan menggelar aksi unjuk rasa di Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Senin (3/11/2014). Massa yang berunjuk rasa tersebut menamakan diri Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945. Mereka menolak hasil renegosiasi yang dilakukan menjelang akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Adi Prianto, salah seorang pengunjuk rasa mengatakan, hasil renegosiasi Kontrak Karya (KK) yang digagas oleh pemerintahan SBY sebelumnya dengan PT. Vale sangat merugikan masyarakat Sulawesi Tengah. Sebab, perusahaan tersebut hanya menciutkan lahan di Sulawesi Tengah seluas 7.000 hektar dari total luasannya 32.000 hektar. Selama proses renegosiasi berlangsung, katanya, diduga ada kompromi dengan PT. Vale sehingga menurunkan posisi tawar masyarakat.

“Kami mensinyalir tanah yang dilepaskan itu bukanlah tanah yang memiliki kandungan nikel yang melimpah ruah,” ungkap Adi Prianto kepada Mongabay Indonesia.

Menurutnya, luas lahan 7.000 hektar yang diciutkan itu harus ditolak. Karena, lahan seluas itu tidak akan bisa mendorong industri nikel terbangun dengan baik. Katanya, yang dibutuhkan pemerintah Sulawesi Tengah adalah lahan milik PT. Vale seluas 32.000 hektar harus diambil alih dan menjadi milik pemerintah provinsi. Dengan kepemilikan sepenuh-penuhnya atas kekayaan yang terkandung di dalamnya menjadi tangga pertama dalam menegakkan Pasal 33 UUD 1945.

“Dengan kepemilikan 32.000 hektar, maka kita mendorong pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melakukan divestasi 50:50 dibawah kontrol perusahaan milik pemerintah. Sehingga kita akan mendorong pemerintah provinsi untuk membangun pabrik nikel,” Adi Prianto menjelaskan.

“Tanpa ini semua, kekayaan sumber daya alam di Sulawesi Tengah akan mengalir keluar negeri.”

Ristan Rauf, koordinator aksi unjuk rasa mengatakan, perkembangan pasca- renegosiasi hingga saat ini tidak ada penjelasan resmi dari Gubernur Sulawesi Tengah mengenai lemahnya posisi tawar masyarakat. Olehnya, mereka mendesak DPRD Sulawesi Tengah untuk memberikan sikap politik secara kelembagaan mengenai hasil renegosasi PT. Vale Indonesia, menerima atau menolak.

“Jika menolak hasil renegosiasi maka harus membuat langkah kongrit. Langkah pertama adalah melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan menghadirkan pihak Gubernur Sulawesi Tengah agar memberikan penjelasan mengenai tahap-tahapan pra renegosasi dan pasca-renegosiasi, terutama sikap gubernur untuk penggunaan 7.000 hektar yang telah diciutkan,” tegasnya.

Ristan mengatakan, PT. Vale Indonesia yang dulu bernama PT. Inco adalah repsentatasi perusahaan asing yang masuk ke Indonesia dan menguasai tanah seluas 118.435 hektar yang terbentang di 15 kecamatan di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.

Edmond Leonardo Siahaan, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah dari Fraksi NasDem saat menerima pengunjuk rasa mengatakan bahwa ia sangat mendukung keinginan para pendemo untuk melihat kembali renegosiasi yang sudah ada.

Menurutnya, untuk mendapatkan solusinya, DPRD akan memanggil pihak-pihak terkait. Namun, kendalanya adalah DPRD belum melaksanakan pelantikan ketua, sehingga belum ada alat kelengkapan dewan.

“Kalau sudah selesai pelantikan ketua termasuk alat kelengkapan dewan, kemudian ada yang menyurat secara resmi untuk melakukan dengar pendapat, maka kami bisa penuhi semua tuntutan pendemo itu untuk memanggil gubernur,” katanya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,