,

Menteri Kelautan : Perikanan Indonesia Harus Sustainable Fisheries

Sejak dilantik menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan oleh Presiden Joko Widodo,  Susi Pudjiastuti melihat banyak program kerja dan aturan yang belum diterapkan dengan optimal dan benar.  Melihat hal tersebut, ia berkeinginan untuk menerapkan semua aturan dan konvensi perikanan, demi memajukan sektor kelautan Indonesia dengan cara yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

“Kita belum pernah melakukan tata kelola (sektor perikanan dan kelautan) yang sesuai dengan konvensi aturan dunia. (Indonesia) ada aturan, kita tapi tidak attach (diterapkan) di peraturan kita. Rencana ke depan akan  terapkan semua peraturan di negara lain. Nanti harus ubah perikanan menjadi sustainable fisheries,” kata Susi Pudjiastuti dalam Chief Editor Meeting bersama dengan para pemimpin redaksi media nasional di Hotel Grand Hyatt, Jakarta pada Jumat kemarin (07/11/2014).

Salah satu konvensi kelautan dunia yang belum diterapkan yaitu bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara yang masih membolehkan kapal penangkap ikan berbendera asing yang beroperasi di wilayahnya.  “(Negara-negara di) dunia sudah melarang foreign vessel (kapal berbendera asing) di perairannya. Semua kapal di dunia melihat ke kita karena Indonesia negara yang masih membolehkan kapal asing (menangkap ikan di perairan Indonesia),” katanya.

Dia mencontohkan Spanyol yang menerapkan kebijakan pengurangan kapal-kapal besar penangkap ikan, sehingga kapal-kapal besar yang sudah tidak layak operasi tersebut datang dan beroperasi di Indonesia.

Oleh karena itu, mulai 03 November 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan memberlakukan penghentian pemberian izin baru atau moratorium terhadap kapal-kapal penangkap ikan berukuran diatas 30 gross tonnage (GT) untuk mengevaluasi, dan menata ulang izin-izin kapal yang beroperasi di Indonesia.

Moratorium juga digunakan untuk melakukan tata kelola sektor perikanan yang baik dan benar, seperti memberlakukan kuota penangkapan ikan di suatu wilayah WPP (wilayan pengelolaan perikanan) yang sudah over fisheries dan bahkan menghentikan penangkapan bila kawasan tersebut perlu rehabilitasi populasi ikan.

Pemerintah juga mewacanakan meminta kompensasi pendanaan global perubahan iklim dari penghentian penangkapak ikan di suatu WPP.

“Moratorium kita buat untuk (berlakukan) peraturan kuota (penangkapan ikan),  kalau lihat (WPP) banyak yang sudah merah. Kalau kita lakukan tata kelola perikanan yang baik, ada blok (WPP) yang kita tutup.  Daerah yang merah bisa kita dapatkan (dana) dengan kompensasi dana karbon dunia. Kita bisa dapat uang lebih banyak daripada membiarkan illegal fishing,” katanya.

Susi menjelaskan banyak negara yang memberlakukan moratorium penangkapan di suatu wilayah yang telah over fishing, seperti Australia yang telah menutup 70 persen kawasan terumbu karangnya untuk daerah konservasi.

Menurutnya, ada perspektif global tentang tiga kejahatan besar dunia yaitu terorisme, kejahatan kemanusiaan dan perusakan lingkungan hidup.

Rencana Aksi Menteri Kelautan

Dalam acara tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan memaparkan secara ringkas rencana aksi yang akan dilakukan kementeriannya, antara lain memberlakukan moratorium izin baru dan perpanjangan penangkapak ikan yang diberlakukan mulai 3 November 2014, penyempurnaan sistem perizinan usaha tangkap yaitu dari 11 perizinan di tiga kementerian diubah ke Pelayanan Terpadu satu Pintu (PTSP), penertiban penggunaan monitoring kapal atau vessel monitoring system (VMS) dan memberlakukan pelarangan pemindahan muatan (transhipment) di tengah laut.

Kementerian Kelautan dan Perikanan juga akan melakukan modernisasi sistem data dan informasi perikanan, percepatan pembentukan Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan pembentukan Tim Kelompok Kerja Lintas Kementerian dan Lembaga dengan pendampingan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Indonesian Corruption Watch (ICW).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,