,

Talang Sejumput: Tolak Eksploitasi Tambang dan Migas, Mimpi Menjadi Desa Wisata Bagi Penikmat Kopi

Hari menjelang siang (07/11/2014) ketika saya sampai di Desa Talang Sejumput, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumsel. Kebun sawit berusia sekitar sepuluh tahun mendominasi perjalanan.  Jalan ke arah desa tidak begitu baik meski sudah diaspal.

Banyak lubang atau aspalnya terkelupas yang menyisakan batuan dan kerikil. Bahkan, sebuah jembatan sudah hancur dan diganti susunan potongan pohon. Menjelang memasuki pemukiman warga, saya melihat kebun campuran. Persawahan, kebun karet, kebun durian, maupun tanaman hutan lainnya.

Desa ini merupakan salah satu desa di Kabupaten Lahat yang masih menghidupkan hukum adat, yang berdasarkan Kitab Simbur Cahaya. Warga Talang Sejumput masuk dalam marga Gumay, salah satu marga terbesar di Lahat.

Desa Talang Sejumput memiliki luas 17.889 hektar dengan jumlah penduduk 1.447 orang dengan 402 kepala keluarga. Jarak tempuh dari kota Lahat sekitar satu jam atau dari Palembang sekitar tujuh jam.

“Itu kebun sawit bukan milik kami. Itu milik perusahaan. Dulunya memang lahan tersebut milik warga desa ini yang dibeli perusahaan,” kata Nirmawansyah, kepala Desa Talang Sejumput di rumahnya yang sederhana.

“Warga kami tidak ada yang berkebun sawit. Alasannya sederhana, sebab tanaman sawit dapat merusak tanah, terlalu banyak menghisap air, sehingga kebun lain tidak akan baik,” katanya.

Sebagian besar warga Talang Sejumput berkebun kopi jenis Robusta. Kopi merupakan sumber penghasilan utama, disusul kebun karet, buahan dan sayuran. Kopi yang dijual masih berupa biji kering. Kebun karet di desa ini sekitar seribu tigaratus hektar, persawahan seribu hektar, kemudian disusul kebun karet sekitar lima ratus hektar.

Saat ini harga jual biji kopi cukup rendah, hanya berkisar delapan belas ribu rupiah per kilogram. Begitu pula getah karet sekitar lima ribu rupiah per kilogramnya.

“Tahun ini kami hanya menerima pemasukan rata-rata delapan juta rupiah per hektar dari kebun kopi dalam setahun, dan karet hanya berkisar dua juta rupiah per bulan per hektar,” kata Niramansyah.

Kades Desa Talang Sejumput Nirmawansyah dan Kadus III Desa Talang Sejumput Umardin. Foto Taufik Wijaya
Kades Desa Talang Sejumput Nirmawansyah dan Kadus III Desa Talang Sejumput Umardin ketika mengantarkan berkeliling kawasan hutan adat. Foto Taufik Wijaya

 

Hutan adat dan Masih Berlakunya Hukum Adat

“Aturan adat yang masih kami jalankan di sini, mengenai moral, hutan, kebun dan hubungan sosial masyarakat,” kata Karhan, jurai tua atau ketua adat Desa Talang Sejumput.

Hutan adat Talang Sejumput terletak di sebelah utara desa. Luasnya mencapai 20 hektar. Hutan adat Desa Talang Sejumput memiliki keanekaragaman hayati. Fauna yang mendiami hutan adat ini mulai dari kijang, trenggiling, biawak, monyet ekor panjang, siamang, sedangkan burung, seperti berbak, percang, punai, kacer dan elang.

“Kalau harimau belum ada yang melihat secara langsung, tetapi kalau jejaknya dapat kita pastikan ada,” ujar Nirmawansyah.

Akses ke hutan adat dari desa tidak terlalu jauh. Dapat dilalui dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor. Sebelum masuk hutan desa, kita akan melalui masjid, pemakaman warga, dan kebun warga.

Masyarakat desa Talang Sejumput bebas memanfaatkan hutan adat untuk memenuhi kebutuhannya, terutama kebutuhan kayu dan obat-obatan. Menurut Nirmawansyah, semua warga Desa Talang Sejumput boleh menebang pohon di hutan adat untuk membangun rumah. Masyarakat pun tak perlu meminta ijin khusus kepada lembaga pemerintahan desa maupun lembaga adat. Berapa banyak yang ditebang, jenis kayu, umur dan diameternya diserahkan pada masyarakat.

“Tidak ada larangan menebang pohon, kecuali mengunduli hutan adat untuk dijadikan kebun. Itu tidak boleh,” ujarnya.

Meskipun dibebaskan menebang pohon, lanjutnya, masyarakat tidak akan menebang pohon dalam ukuran kecil. “Minimal berdiameter 50 centimeter. Itu pun kalau memang terdesak,” ujarnya.

Bagaimana kalau ada masyarakat yang berani membuka lahan di hutan adat?

“Kita panggil. Kita adili melalui sidang adat yang dihadiri oleh unsur pemerintahan desa, mulai dari Kades, Sekdes, Kadus, Kasi, BPD. Sementara lembaga adat terdiri dari lima orang yang disebut juray tua. Jika terbukti bersalah, pelakunya kita hukum,” jelas Nirwansyah.

Orang yang telah merusak lingkungan akan disuruh untuk menanam pohon di hutan yang sudah dirusak, wajib memelihara pohon tersebut hingga dia besar hingga membayar uang seharga kayu yang diambilnya.

“Kalau mereka tidak mau kita serahkan ke yang berwajib,” tegas Nirmawansyah.

Contohnya pada tahun 2008 lalu. Waktu itu, salah seorang warga yang memiliki lahan yang berbatasan dengan hutan adat mencoba memperluas kebunnya dengan menyerobot tanah di hutan adat sebanyak setengah hektar untuk ditanami pohon karet.

“Dia pikir kita tak tahu. Akhirnya kita sidang, dan ia dikenai denda mengembalikan lahan setengah hektar tersebut dan wajib menanaminya dengan pepohonan serta merawatnya hingga kembali hijau seperti semula.”

Selain persoalan lahan dan pengelolaan hutan, beberapa hal lainnya pun dapat diselesaikan melalui hukum adat, tanpa harus melalui proses hukum positif. Misalnya perselisihan tanpa ada yang terluka atau tewas. Tapi jika menyebabkan seseorang terluka atau meninggal dunia, tidak hanya diberlakukan hukum adat juga diserahkan ke pihak berwajib.

Hukum adat juga mengatur sengketa lahan. Seringkali terjadi persilihan batas wilayah lahan perkebunan warga. Jika tidak dapat diselesaikan oleh mereka yang bersengketa, perselisihan ini dapat dibawa ke sidang adat.

“Dalam menyidangkan sengketa ini kami akan menanyakan dasar hukum kepemilikan lahan tersebut, termasuk pula soal batas-batasnya. Baik berdasarkan surat maupun kesaksian keluarga. Jika semua keterangan sudah dikumpulkan, para pemuka adat kemudian memutuskan. Sampai saat ini tidak ada yang menentang setiap keputusan lembaga adat terkait sengketa  lahan,” kata Karhan.

Umumnya sengketa ini terjadi karena putusnya informasi mengenai penyerahan pewarisan lahan dari orangtua maupun leluhurnya.

“Jika mereka tidak mau menerima keputusan adat kita akan serahkan ke pihak berwajib. Tapi sampai saat ini belum ada yang tidak menerima keputusan adat.”

Panggung. Salah satu bentuk rumah tradisional di Talang Sejumput. Foto Taufik Wijaya
Panggung. Salah satu bentuk rumah tradisional di Talang Sejumput. Foto Taufik Wijaya

Menolak perusahaan migas dan batubara

Kabupaten Lahat salah satu kabupaten di Sumatera Selatan yang paling banyak perusahaan batubara. Sedikitnya 24 perusahaan yang telah memiliki IUP (Izin Usaha Produksi). Kabupaten yang luasnya mencapai 4.233, 26 kilometer persegi ini, diperkirakan memiliki kandungan batubara sekitar 2,9 miliar ton. Potensi batubara ini tersebar di Kecamatan Merapi Barat,  Merapi Timur, Kota Lahat, Pulau Pinang, Kikim Barat, Gumay Talang, dan Kikim Timur.

Sumatera Selatan merupakan daerah paling banyak menyimpan batubara di Indonesia. Diperkirakan sebesar 18,13 miliar ton atau 60 persen dari cadangan batubara nasional. Mutu cadangan batubara pada umumnya berjenis lignit dengan kandungan kalori antara 4800-5400 Kcal/kg.

Dari 8,7 juta hektar luas Sumatera Selatan, sekitar 2,7 juta hektarnya diperuntukan bagi perusahaan batubara yang jumlahnya 300-an. Sebarannya ada di Kabupaten Musi Banyuasin, Musirawas, Lahat, dan Muaraenim.

Dengan kondisi tersebut, bukan tidak mungkin Desa Talang Sejumput yang lokasinya masih satu hamparan dengan Merapi, juga memiliki kandungan batubara, sehingga berpotensi menjadi lokasi eksplorasi batubara.

“Jika pun akan ada perusahaan batubara yang akan masuk, masyarakat desa ini menolak kehadiran perusahaan batubara, dan menolak menjual lahan mereka,” kata Nirmawansyah.

“Mereka belajar dari apa yang terjadi di Merapi. Di desa ini ada warga yang memiliki kebun di Merapi. Lahan kebunnya itu dijual ke perusahaan batubara sekian ratus juta. Awalnya senang dengan adanya banyak uang. Kini dia menjadi tukang ojek, sebab uang habis dan tidak punya lagi lahan untuk berkebun. Ini contoh yang sudah diketahui masyarakat desa ini,” kata Umardin.

Beberapa tahun lalu, jelas Nirmawansyah, ada perusahaan migas melakukan survei di desa ini. Mereka kemudian mendapatkan potensi migas di lahan warga. “Mereka minta izin saya untuk melakukan eksplorasi dengan melakukan pembebasan lahan terlebih dahulu. Saya lakukan itu. Kemudian dilakukan rapat adat bersama saya. Hasilnya masyarakat menolak,” katanya.

Dasar penolakan tersebut. Pertama jika ada eksplorasi migas lahan akan mengalami penurunan. Kedua lahan menjadi kering, termasuk suhu menjadi panas. “Kondisi ini menurut warga akan mengganggu aktifitas perkebunan dan pertanian mereka,” katanya.

Air Terjun Gunung Nyawe yang tipis airnya pada saat musim kemarau. Hutan yang gundul di kawasan hulu kemungkinan menjadi penyebabnya. Foto Taufik Wijaya
Air Terjun Gunung Nyawe yang tipis airnya pada saat musim kemarau. Hutan yang gundul di kawasan hulu kemungkinan menjadi penyebabnya. Foto Taufik Wijaya

Mimpi menjadi Desa Tujuan Wisata

Desa Talang Sejumput juga memiliki potensi wisata berupa air terjun. Tingginya sekitar 80 meter, yang terletak di sebelah timur desa. Akses ke air terjun yang bernama Gunung Nyawe tersebut sekitar satu jam. Setelah melalui jalan desa, memasuki perkebunan berupa jalan setapak tanah, yang hanya dapat dilalui sepeda motor.

Tapi tidak semua orang mampu mengendalikan sepeda motor di jalan setapak ini, selain terjal, berkelok, licin juga di kanan kiri dipenuhi tanaman kopi atau karet.

Saat memasuki lokasi air terjun saya sedikit kecewa. Sebab air terjun itu airnya begitu tipis, meskipun batuan yang ada di dinding bukit maupun di lokasi jatuhnya air cukup menarik.

“Sekarang belum masuk musim penghujan. Jadi airnya sedikit. Selain itu di atas bukit itu sudah banyak hutan yang habis karena ilegal logging dulu,” kata Umardin. “Kalau airnya sudah banyak nanti, banyak warga desa maupun dari luar bermain ke sini.”

Saat ini setiap pengunjung dikenakan biaya dua ribu rupiah per orang. Hasil pemasukan ini selain diberikan kepada pemilik lahan, pengelola yakni para remaja desa, juga ke kas desa.

Sadar dengan potensi desanya, yaitu kopi, Nirmawansyah berujar akan mengembangkan desanya sebagai desa wisata untuk penikmat kopi. Kopi bubuk di Desa Talang Sejumput masih diolah secara tradisional. Tidak menggunakan mesin.

“Kopi bubuk seperti ini jelas menjadi daya tarik bagi para pengunjung, sebab mereka selain dapat melihat langsung pengolahan juga mendapatkan kopi bubuk yang berkualitas baik dan alami,” ujarnya.

“Dijemur, diongseng maupun ditumbuk secara tradisional, sehingga rasanya sangat berbeda dengan kopi yang diolah menggunakan mesin.”

Sementara air terjun Gunung Nyawe juga akan dikembangkan. Misalnya pembangunan fasilitas, termasuk akses jalan ke lokasi. Menurutnya permintaan soal pembangunan ke lokasi belum disetujui pemerintah.

“Kini kami lagi menyusun dalam program infrastruktur desa yang mencoba memanfaatkan dana bantuan desa sebesar satu milyar rupiah tersebut,” jelas Nirmawansyah

Untuk menjadi desa wisata, selain pembangunan infrastruktur tentunya warga Desa Talang Sejumput harus turut menjaga kelestarian dan kebersihan lingkungannya. Termasuk tidak lagi melakukan pembuangan sampah ke badan kali dan melakukan kegiatan MCK dan pembangunan badan rumah di situ.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,