Sejak Juni 2014, ratusan perempuan aksi bertahan di tenda-tenda pada lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia, di pegunungan karst Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Teranyar, warga ke Jakarta, dan marathon bertemu kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Warga mendesak penghentian pabrik semen yang bakal mengancam kehidupan dan lingkungan mereka. Kajian warga bersama organisasi lintas keilmuan, mendapatkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) banyak cacat. Warga telah menggugat Gubernur Jawa Tengah ke PTUN.
Kementerian LHK—saat itu Kementerian Lingkungan Hidup–, turun tangan menguji kembali Amdal perusahaan. Hasilnya, banyak poin penting tak masuk dalam Amdal. Review Amdal, begitu rekomendasi dari KLH.
Arief Yuwono, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian LHK mengatakan, dari kaji ulang KLH menemukan, antara lain, izin lingkungan Gubernur Jateng kerluar pada 2012, padahal dalam RTRW Jawa Tengah 2010, menetapkan Watuputih sebagai kawasan lindung imbuhan air. Begitupula Perda RTRW Rembang 2011, menetapkan Watuputih sebagai kawasan lindung geologi.
Ditambah lagi, katanya, dokumen Amdal pembangunan pabrik semen ini tidak memuat beberapa fakta di lapangan, antara lain gua-gua tidak berair pada kedalaman 100 meter. “Padahal masyarakat mengambil air dari sumur-sumur dengan kedalaman 15 meter untuk keperluan sehari-hari,” katanya kala pertemuan konsolidasi dengan organisasi lingkungan hidup di Jakarta, Senin (24/11/14).
Pembahasan dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun dilakukan. Terutama membahas kawasan lindung, khusus Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih, yang telah ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.26/2011.
KLH pun turun ke lapangan bersama LIPI, guna mengidentifikasi kawasan lindung karst baik fungsi hidrologi maupun biota. Hasilnya, kata Arief, ada 109 mata air, 49 gua dan empat sungai bawah tanah yang masih mengalir. Lalu, fosil-fosil yang menempel pada dinding gua dihuni 730 kelelawar pemakan serangga dan biota lain. Di dalam izin SI hanya menyebutkan enam gua, dan 23 ponor. “Ini saja sudah masuk indikator kawasan lindung.”
Dari penelusuran itu, katanya, KLH merekomendasikan Amdal dikaji ulang.
“Kita sudah sampaikan pada BLHD Jateng hasil telaahan mengenai dokumen lingkungan. Harus direvisi dan diperbaiki. Mereka sedang proses tindak lanjut,” kata Imam Hendargo Ismoyo, Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan LHK, belum lama ini. Nanti, katanya, baik kerangka acuan (KA), Andal dan RKL/RPL harus ada revisi dan perbaikan cukup substantif dan menyeluruh.
Mengapa rekomendasi KLHK hanya kaji ulang Amdal? Arief mengandaikan Amdal sebagai alat proses sesuatu yang bisa direvisi dan akan menghasilkan output berbeda. “Manakala ia diproses dengan input sesuatu, untuk output sesuatu. Sekarang kita menambahkan input kan, pasti kita harapkan output jadi sesuatu. Output itu akan mengkoreksi saya kira,” ucap Arief.
“Amdal hanya satu alat, yang tergantung input. Kalo input kurang lengkap, Komisi Amdal Jateng akan memasukkan sesuatu yang belum masuk,” tambah Arief.
Dia mengatakan ‘wajar’ ada sesuatu yang belum masuk dalam Amdal. “Jadi Amdal diulang itu lazim. Nanti ditambahkan ke UKL/UPL. Amdal itu potret awal industri atau pabrik belum ada. Lalu coba dipresiksi, positif negatif, ada sesuatu yang belum masuk. Wajar saja.”
Bagi Arief, KLHK turun langsung justru menguatkan perlindungan lingkungan hidup dengan memotret sesuatu yang betul-betul ada di lapangan. “Jadi, ini bagian pengawasan…”
Bagaimana Amdal-amdal error lain yang tak sempat ditelaah sampai ke pusat?