Sidang pertama gugatan sembilan warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara, kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) digelar di PTUN Jakarta Timur, Selasa (2/12/14). Gugatan warga didasari SK Menteri ESDM, 17 Juli 2014, Nomor 3109 K/30/2014 tentang Izin Pertambangan PT Migro Metal Perdana (MMP). Izin itu dinilai melanggar beberapa UU dan mengabaikan hak-hak warga hingga berpotensi mengancam lingkungan dan hidup mereka.
Johny Nelson Simanjuntak, kuasa hukum warga mengatakan, Menteri ESDM menerbitkan izin usaha pertambangan yang bertentangan UU. “UU Pulau Kecil dan Pesisir, UU Kehutanan, UU Sumber Daya Air, UU Lingkungan Hidup. Peruntukan pulau ditetapkan sebagai wisata. Izin usaha itu harus dibatalkan,” katanya usai sidang.
Dia mengatakan, SK Menteri ESDM aneh. Sebelumnya, dari PTUN Manado, PPTUN Makassar, dan Mahkamah Agung pada 2013, memenangkan warga dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Menurut dia, selain bertentangan dengan UU, izin usaha juga bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Mereka, hidup di sana sebagai petani dan nelayan. “Kalau pertambangan berlanjut, kehidupan warga bisa bubar. Meskipun mereka dipindahkan ke tempat lain, itu bukan cara yang baik.”
Jika perusahaan beroperasi, Bangka bisa tenggelam. Sebab, material yang akan dibawa sangat banyak. Website Aempire Resource (perusahaan induk MMP yang berkedudukan di RRC) menyebut, dalam tiga tahun pertama operasi, MMP akan memproduksi 40,2 juta kiloton bijih besi setara 40,2 juta metrik ton. Jika masa berlaku izin produksi selama 20 tahun, akan mengeruk bijih besi 267,99 juta metrik ton. Sedang lahan yang mendukung kurang 50% dari bijih besi atau setara 133,50 juta metrik ton.
Hingga total volume Bangka yang akan dikeruk 267,99 juta metric ton ditambah 133,50 juta metric ton=401,49 juta metrik ton atau + 401,50 juta metrik ton.
Data ini, katanya, jelas memperlihatkan jika izin dipaksakan, ekosistem Bangka akan hancur. Penambangan bijih besi massif menyebabkan sedimentasi di terumbu karang di sana. Selama ini, katanya, terumbu karang menjadi primadona ekowisata di Sulut. Hal ini juga bertentangan dengan komitmen perlindungan “segitiga karang” sebagai warisan dunia.
Penambangan bijih besi ini, berakibat negatif terhadap biota endemik seperti tarsius, maupun di perairan atau pesisir.
Konflik vertikal juga terjadi. Konflik antara masyarakat dengan pemerintah kabupaten, kecamatan dan desa. Perjalanan pemerintahan menjadi tersendat dan menimbulkan diskriminasi.
Warga menolak pertambangan, tidak dilayani hingga mereka protes.
“Juga konflik terjadi antara perusahaan dengan masyarakat. Gejolak perlawanan karena warga marah. Malah warga dikriminalisasi karena ada kebakaran alat berat perusahaan. Kita tidak tahu siapa yang membakar, tetapi polisi menyangkakan warga menentang pelaku,” katanya.
Ada juga konflik antara masyarakat dengan pemimpin gereja. Masyarakat berharap gereja membela masyarakat tetapi hingga kini tak ada.
“Jadi kedatangan investasi menimbulkan malapetaka dan masalah besar. Tidak hanya fisik terhadap pulau, juga malapetaka kepada masyarakat. Warga diintimidasi, hidup tidak tenang. Antarsesama tidak harmonis.”
Terus beroperasi
Merti Mais Katulung, warga Bangka penggugat, mengatakan, sampai hari ini MMP masih beroperasi. “Warga sudah mempunyai kekuatan hukum kuat dan mengikat dari MA.”
MMP, katanya, hingga kini masih mereklamasi pantai. Material reklamasi diambil dari pengerukan gunung-gunung. “Tanah dikeruk, ditimbun ke laut. Ada dua sungai ditutup, yaitu Sungai Sipi dan Pahepa. Penutupan ini otomatis air berubah drastis, tak keluar langsung karena tertutup reklamasi pantai.”
Sadjie Faturahman dari Jatam mengatakan, keputusan Kementerian ESDM sudah salah. “Seharusnya menegakkan hukum, malah membelokkan hukum sendiri. Kami optimis dengan gugatan masyarakat. Semoga menang.”