Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), merupakan daerah paling luas rawa lebaknya di Sumatera Selatan. Dari luas wilayah 21.469,90 kilometer persegi, sekitar 146.279 hektar nya merupakan kawasan lebak. Atau, sekitar 58,96 persen dari luasan lebak yang ada di Sumatera Selatan. Namun, lebak yang menjadi sumber pendapatan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini terampas oleh lelang lebak lebung yang dikelola pemerintah OKI.
Padahal, sistem usaha tani dan perikanan yang dibangun dalam kebudayaan lebak lebung di OKI adalah sistem terpadu tanaman semusim. Misalnya padi sawah, palawija, sayuran, ternak kerbau dan itik, serta usaha penangkapan ikan.
Musim tanam padi di lebak juga hanya sekali dalam setahun. Palawija dan sayuran ditanam bersamaan dengan padi yang ditanam pada galangan sawah lebak. Sedangkan pada musim penghujan, petani mengharapkan penghasilan dari menangkap ikan. Secara adat setiap keluarga petani memiliki lahan lebak seluas satu hingga dua hektar.
Namun, tahun 2005, pemerintah OKI mengklaim kawasan lebak tersebut milik pemerintah. Pemerintah OKI juga menguasai sumber ikan alami yang ada di lebak lebung.
Kebijakan tersebut menimbulkan protes di masyarakat yang menuntut pencabutan perda. Salah satu organisasi yang mendampingi adalah Serikat Petani Indonesia (SPI). Tuntutan ini berhasil, pemerintah OKI mengeluarkan perda tahun 2008 yang isinya mengembalikan lebak lebung kepada masyarakat.
Tapi tahun 2010, pemerintah OKI kembali mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Lebak Lebung dan Sungai (L3S). Mereka menyelenggarakan lelang lebak lebung dan sungai. Artinya, lebak lebung kembali dilelang. Alasannya, saat lebang lebung dikembalikan kepada masyarakat sering terjadi keributan dalam pengelolaannya.
Rugikan petani
Sebagian masyarakat di Kabupaten OKI menilai, lelang lebak lebung menghilangkan akses petani pada sumber daya alam di atas lahan yang sebenarnya menjadi hak mereka secara adat.
Slamet (55), petani nelayan di Kecamatan Sirah Pulau Padang, mengatakan L3S yang dibuat pemerintah OKI lebih berpihak kepada pemilik modal. Karena umumnya, pemenang lelang di OKI dan yang membiayai kelompok masyarakat adalah para pemilik modal sebagai pengemin (pemenang lelang).
Sedangkan masyarakat, kata dia, harus membayar dalam jumlah besar kalau ingin menangkap ikan di lebak yang sudah dikuasai pengemin. “Untuk mendapatkan izin menangkap ikan di lebak yang sudah dikuasai pengemin harus membayar Rp 1 juta alat tangkap berupa tajur atau pancing. Kalaupun tidak mampu membayar, masyarakat diperbolehkan menangkap ikan namun ikan hasil tangkapannya harus dijual kepada pengemin dengan harga yang sangat murah, 25 persen dari harga pasar,” katanya.
“Tidak jarang hasil tangkapan kecil, sehingga mereka banyak meninggalkan utang,” kata Slamet, Selasa (02/12/2014).
Heriyanto, warga Kecamatan Pedamaran, mengatakan sistem L3S yang dibangun selama ini jelas mengancam para petani di Kabupaten OKI. Pasalnya, lebak tersebut merupakan sumber kehidupan mereka di saat musim hujan.
Menurutnya, pemerintah OKI harus lebih memperhatikan kesejahteraan petani, sehingga dapat mempertimbangkan untuk menghentikan L3S.
Sulit dikembalikan
Hasanudin, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten OKI menegaskan, terkait permintaan masyarakat untuk membebaskan lebak lebung, pihaknya sudah melakukan konsultasi kepada sekretaris daerah (Sekda) Kabupaten OKI. Namun, pembebasan itu tidak mungkin dilakukan karena sudah diatur dalam perda. “Kita pernah membebaskan lebak lebung tersebut agar tidak dilelang. Tapi, di lapangan sering terjadi keributan sehingga pemerintah memutuskan untuk mengambil kembali dengan membuat sistem lelang,” katanya.
Di Kabupaten OKI, lelang lebak lebung menjadi salah satu primadona pendapatan asli daerah (PAD). Pada 2013 pemerintah OKI menargetkan PAD dari sektor ini sebesar Rp 5 miliar dan terealisasi sekitar Rp 4 miliar lebih. Sementara tahun 2014 target PAD dari sektor tersebut di atas Rp 5 miliar.
L3S merupakan salah satu primadona PAD di Kabupaten OKI. “Data sementara yang kita peroleh berdasarkan hasil lelang pada Selasa (25/11/2014) sudah melampaui target yaitu Rp 5 miliar lebih. Angka ini bisa bertambah karena masih ada sebagian lebak yang belum dilelang,” katanya.
Menurutnya, pelaksanaan lelang ini sudah diatur oleh Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Ogan Komering Ilir Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Lebak Lebung dan Sungai.
Tahun ini, setidaknya ada 350 lebak lebung yang telah dilelang pada Selasa (25/11/2014) lalu yang dilakukan serentak di 18 kecamatan.
Ketua Paguyuban Agung Family, Nurmuin, Selasa (02/12/2014) mengatakan, pemerintah harus jeli dalam mencari sumber pendapatan daerah dan jangan sampai masyarakat yang dirugikan. “Saya tahu, lelang lebak lebung merupakan primadona. Tapi masyarakat yang jadi korban,”katanya.
Sebenarnya, kata dia, masih banyak sektor yang diyakini bisa memberikan pendapatan fantastis, di antaranya pajak angkutan perairan berupa tongkang. Belum lagi, sekitar 53 perusahaan perkebunan yang beroperasi di OKI dan masing-masing perusahaan membawa hasil bumi OKI yang tidak dikenakan pajak.
“Pemerintah harus merancang perda dan regulasi, karena banyak sumber pendapatan di OKI yang tidak tersentuh. Bila telah dibuat perda maka lebak lebung bisa dibebaskan dan dikembalikan kepada masyarakat.”
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio