,

Demam Batu Mulia, Komunitas Gemstones di Sulteng Minta Izin Eksploitasi

Demam batu mulia dalam beberapa bulan terakhir di Sulawesi Tengah begitu terasa. Tempat pengolahan dan penjualan dengan mudah ditemukan di sudut-sudut Kota Palu. Komunitas Tadulako Gemstones bahkan mencoba peluang bisnis ini dengan meminta izin Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk melakukan eksploitasi.

Longki Djanggola, Gubernur Sulawesi Tengah, saat menerima kunjungan pengurus Tadulako Gemstones Community, Selasa (14/01/2015) lalu, memberikan sinyal positif. Menurutnya, potensi batu mulia harus dijaga tanpa mematikan usaha kecil masyarakat yang sedang euforia.

Namun, hingga hari ini potensi batu mulia lokal di Sulteng belum dapat dipastikan nama, asal-usul, dan potensi kandungannya. Penamaan masih bersifat kesepakatan antara pengolah dengan penjual saja. Meski demikian sudah ada beberapa nama batu lokal yang sudah cukup dikenal, antara lain Black and White Tadulako Oxydant, Fairuz Tadulako, Lidah Buaya, serta Loreng Poboya.

Berangkat dari hal tersebut, Pemerintah Sulteng akan memberikan perlindungan atau proteksi terhadap potensi-potensi batu mulia. Terlebih, peredaran batu mulia dikalangan pencintanya begitu cepat dan tersebar ke berbagai provinsi hingga mancanegara. Contohnya, Fairuz Tadulako cukup dikenal di Thailand.

Menurut Longki Djanggola, proteksi dimaksudkan agar batu-batu mulia lokal Sulteng bisa menjadi ciri khas daerah. Seperti yang dilakukan Maluku Utara yang melarang ekspor atau antar-pulaukan batu bacan.

Dengan proteksi itu nantinya, nilai jual batu lokal akan naik. Sekaligus memberikan jaminan mutu atau standar batu berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan ahli atau lembaga penguji.

Longki meminta agar komunitas pencinta batu menginventarisir potensi-potensi yang ada. Setelah itu baru diajukan ke pemerintah provinsi, batu mana saja yang bisa diekspor atau diantarpulaukan dan mana yang dilarang. Termasuk pemberian nama atas batu-batu lokal.

Namun, kalangan pencinta batu lokal melihat peluang ini bukan sekadar hobi. Mereka bahkan menyampaikan kemungkinan bisa mendapatkan perizinan untuk tahap eksplorasi maupun eksploitasi.

“Dulu, batu-batu mulia tidak begitu dikenal masyarakat lokal. Akibatnya batu-batu mulia ‘dilarikan’ ke daerah lain seperti Kalimantan. Saat itu, untuk mendapatkannya pun masih mudah. Sekarang harus dilakukan dengan menggali sampai ke bawah tanah,” kata Anwar Saing, Ketua Tadulako Gemstones Community kepada gubernur.

Menanggapi permintaan itu, Longki Djanggola belum bisa memastikan. Menurutnya, selama ini perizinan seperti izin usaha pertambangan (IUP) memang hanya dikeluarkan oleh gubernur. Namun, untuk batu mulia, menurutnya, akan dilihat lagi dari besaran potensi dan nilai ekonominya.

Batu akik jenis cempaka madu merupakan jenis yang sangat digilai para pencinta batu akik. Harganya mulai dari lima ratus ribu hingga jutaan rupiah. Foto: Junaidi Hanafiah

Perlu kajian

Saat ini pengrajin batu mulia lokal yang dipusatkan di Pasar Bambaru, Kecamatan Palu Barat, sudah mencapai 15 kios, belum termasuk penjual. Pemusatan ini dilakukan setelah pemerintah Kota Palu melihat potensi batu mulia lokal cukup menjanjikan dan memberikan lapangan kerja baru.

Terkait izin eksploitasi tersebut, Direktur Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, Syahruddin Ariestal Douw, menegaskan bahwa tidak boleh ada izin sembarangan. Karena, semuanya harus melewati proses pengkajian berbagai aspek seperti lingkungan dan sosial masyarakat.

“Bagaimanapun, bentuk pertambangan akan berdampak pada lingkungan dan masyarakat,” kata Etal, sapaan akrab Syahruddin.

Pemerintah Provinsi Sulteng dalam hal ini gubernur, harusnya menahan dulu keinginan atau permintaan kalangan pencinta batu mulia. “Gubernur jangan dulu keluarkan izin. Kita perlu duduk bersama melakukan kajian lingkungan,” tegas Etal.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,