,

Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah Kalimantan Timur Tak Kunjung Terbentuk, Apa Masalahnya?

Dua tahun sudah Pemerintah Kalimantan Timur mengeluarkan Peraturan Daerah (perda) Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah yang mengamanatkan dibentuknya Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah (KPRPD). Dua kali sudah pergantian kalender masehi, namun komisi yang ditunggu itu belum muncul juga penampakannya. Padahal, bila mengacu perda tersebut, enam bulan setelah peraturan diterbitkan, harusnya KPRPD telah bertugas. Nyatanya?

Berdasarkan penuturan Muhammad Natsir, salah seorang anggota tim penyusun rancangan peraturan gubernur yang merupakan pegiat lingkungan dari LSM Prakarsa Borneo, medio November 2014 lalu, peraturan gubernur paling lambat akan terbit awal 2015.

Menurut penjelasan Nasir, bila Komisi Pengawas Reklamasi dan pasca-tambang Daerah di Kalimantan Timur ini terbentuk maka komisi ini merupakan yang pertama di Indonesia. Pasalnya, di wilayah lain belum ada pembentukannya. Nasir pun yakin, bila tim yang berada di komisi ini merupakan orang-orang pilihan yang memang independen sehingga tidak akan mudah diintervensi pihak lain dan tergoda gemerlap tambang.

Namun, harapan yang disampaikan Natsir tersebut jauh dari kenyataan. Kabar terbaru yang disampaikan Najidah, anggota penyusun rancangan peraturan gubernur sekaligus akademisi Universitas Mulawarman, justru rancangan peraturan gubernur (ranpergub) mengenai pembentukan KPRPD, saat ini masih berada di Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalimantan Timur.

Menurut Najidah, meski ranpergub tersebut sudah melalui kajian dan telah mengakomodir berbagai masukan dari pemerintah, pengusaha, NGO, pemerhati lingkungan, hingga masyarakat, namun, hingga kini belum terlihat “geliat” yang bagus menuju terbentuknya KPRPD. “Jangankan masyarakat, kami juga mempertanyakan lambannya masalah ini,” tuturnya di Samarinda, Kamis (26/2/2015).

Menurut Najidah, tidak adanya “geliat” ini, dikarenakan banyaknya kepentingan yang merecoki pembentukan komisi tersebut. Meski begitu, menurutnya, pengawasan reklamasi tambang harusnya memang terus dilakukan, terlebih di Kalimantan Timur yang banyak mengalami kegagalan.

Meski Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca-tambang telah menyebutkan aturan teknis terkait reklamasi tambang, namun dalam aturan tersebut belum sepenuhnya bisa diterapkan di daerah. “Kalimantan Timur kan banyak lubang menganga pasca-tambang yang ditinggalkan begitu saja. Nah, ketika lubang tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah daerah maka aturan teknis tersebut dibuata melalui peraturan gubernur sebagai legitimasinya,” jelas Najidah.

Terkait tambang di Kalimantan Timur, lanjut Najidah, pengawasannya tidak cukup dilakukan melalui supervisi instansi sektoral saja, tapi juga harus melibatkan para ahli lingkungan dan masyarakat. Bila KPRPD hanya dihuni oleh dinas terkait saja misal, Dinas Pertambangan dan Energi saja, maka akan tidak maksimal hasilnya. “Nah, inilah pentingnya pembentukan KPRPD yang diharapkan dapat melakukan pengawasan dan perbaikan lingkungan, serta dapat memberikan pelayanan pada masyarakat/korban tambang atau yang terkena dampaknya.”

Najidah juga tidak menampik bila talik-ulur komposisi komisioner merupakan salah satu penyebabnya, selain dari isi ranpergub itu sendiri. Menurutnya, berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 2013, keanggotaan KPRPD dibentuk melalui seleksi yang nantinya beranggotakan tujuh orang berasal dari kalangan profesional, ahli hukum, serta penugasan dari instansi pemerintah seperti Dinas Pertambangan dan Energi, Badan Lingkungan Hidup, dan Dinas Kehutanan. “Harusnya komisi ini bebas intervensi, namun pemerintah provinsi menginginkan sebagian besar anggotanya dari instansi pemerintah,” jelasnya.

Padahal, dengan terbentuknya KPRPD akan membawa angin segar terhadap permasalahan pertambangan di Kalimantan Timur yang hingga kini masih menimbun beragam persoalan. “KPRPD akan memiliki kewenangan menerima laporan warga jika ada indikasi pidana dan dapat mengkoordinasikan langsung kepada instansi terkait. Misal, bila pengawasan reklamasi pertambangan yang dilakukan dinas tertentu tidak ada kemajuannya maka pengawasan selanjutnya dapat diambil alih oleh KPRPD,” ujar Najidah.

Fatur Iqin, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur (Kaltim), menganggap bahwa tak kunjung terbentuknya komisi ini dikarenakan hanya sekadar dibuat saja. Menurut Fatur, ia memang pernah mengikuti beberapa kali pembahasan Perda Nomor 8 Tahun 2013. Namun, hingga terakhir bagaimana kelanjutannya, tidak ada kabar sama sekali. “Pemerintah Kalimantan Timur seakan merespon desakan masyarakat terkait reklamasi dan pasca-tambang. Setelah itu, tidak ada realisasinya lagi,” jelasnya.

Batubara diangkut melalui jalur Sungai Mahakam yang merupakan urat nadi perekonomian masyarakat Samarinda. Foto: Yutinus S. Hardjanto

Tidak ada kesungguhan

Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim, menganggap lambannya pembentukan komisi pengawas ini karena tidak ada kesungguhan dari Pemerintah Kalimantan Timur. Tanpa melalui perda, harusnya kegiatan reklamasi tetap dijalankan sebagaimana yang tertuang dalam PP No 78 Tahun 2010. Sanksi juga jelas, hanya penegakan hukum yang belum dilakukan.

Menurut Merah, proses yang dilakukan menerjemahkan peraturan pemerintah menjadi peraturan daerah yang diwujudkan melalui komisi pengawas melalui peraturan gubernur sangat melelahkan. “Akibatnya, kini semua terjebak pada birokrasi. Padahal, tanpa adanya pergub kewajiban reklamasi telah diatur melalui peraturan pemerintah tadi,” tuturnya.

Merah mengingatkan bahwa begitu banyak dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan batubara di Kalimantan Timur ini. Di antaranya, selain menyebabkan kerusakan hutan dan aneka hayatinya, juga memberikan dampak buruk bagi lingkungan masyarakat.

Sejak 2008, banjir melanda Kalimantan Timur, khususnya Kota Samarinda. Satu-satunya kota di Indonesia yang ada aktivitas batubara tersebut, mengeluarkan banyak dana untuk mengatasi dampak banjir. Periode 2008-2010, biaya penanggulangan dampak banjir mencapai  Rp 107,9 miliar, kemudian meningkat menjadi Rp 602 miliar pada 2011-2013. Angka ini diluar dari biaya rehabilitasi kerusakan jalan umum akibat pengangkutan batubara yang mencapai Rp 37,6 miliar.

Hasil monitoring dan investigasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga menunjukkan, total penguasaan lahan tambang di Kalimantan Timur (Kaltim), sekitar 7 juta hektar. Terdiri dari 1.451 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas 5.314.294,69 hektar, 67 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang menguasai lahan sekitar 1.624316,49 hektar, serta 5 kontrak karya dengan luas konsesi 29.201.34 hektar.

Hingga saat ini, sekitar 150 lubang bekas tambang batubara tidak direklamasi. Lubang tersebut, luasnya rata-rata mencapai satu hektar dengan kedalaman lebih dari 50 meter.

Bahkan, sejak tahun 2011-2014, tercatat sembilan anak tewas tenggelam di lubang tambang batubara yang tidak ditutup. Parahnya, kasus meninggalnya bocah tersebut tidak pernah sampai ke ranah hukum yang berujung pengadilan. Semua kasus hanya diselesaikan dengan pemberian santunan oleh perusahaan kepada keluarga korban yang besarnya bervariasi antara Rp100-120 juta. Setelah itu, kasus ditutup. “Kurang bukti apalagi dampak kerusakan yang diakibatkan tambang?” tegas Merah.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Dyah Paramita, peneliti dari  Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) 2013, berjudul “Potret Reklamasi dan Pasca Tambang Indonesia” menunjukkan hal tidak jauh berbeda. Menurutnya, aktivitas pertambangan batubara di Kalimantan Timur telah menyebabkan sekitar 1,4 juta hektar lahan menjadi terbuka. Dari luasan tersebut, sekitar 839 ribu hektar belum direklamasi yang artinya proses reklamasi belum dilakukan dengan baik.

Dyah menjelaskan, kegagalan menjalankan reklamasi ini akan berdampak buruk yang tidak hanya pada lingkungan, tetapi juga pada kesehatan masyarakat sekitar dan juga pemborosan uang negara yang digunakan untuk mengatasi dampak kerusakan lingkungan. “Bila terus terjadi, dalam 5-10 tahun ke depan, justru dana reklamasi dan pasca-tambang akan diambil dari dana anggaran pendapatan belanja daerah atau negara, yang seharusnya dilakukan oleh para pengusaha tambang tersebut,” jelasnya.

Hal yang diamini Chandra Dewana Boer, Wildlife Ecologist dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Mulawarman, yang meninjau permasalahan tambang dari sudut akademisi. Chandra menggambarkan bagaimana luasan Samarinda yang saat ini 71 persennya sudah dikepung tambang sangatlah mengkhawatirkan. Menurutnya, bila dilihat dari segi konservasi maka tambang di Samarinda merupakan kesalahan fatal karena tidak ada luasan 30 persen yang diperuntukkan sebagai hutan. “Harusnya, pemerintah segera bertindak menyelesaikan tambang, meski tanpa adanya komisi pengawas reklamasi dan pasca-tambang,” tuturnya.

Gerakan Kukar Menggugar sebagai bentuk protes terhadap lahan batubara yang mencaplok wilayah pertanian. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Tidak percaya diri

Hingga kini, kemajuan ataupun perkembangan ranpergub yang masih mengendap di Distamben Kalimantan Timur, tidak ada yang tahu. Menurut keterangan Najidah, untuk mendorong penandatanganan ranpergub oleh Gubernur Awang Faroek Ishak tersebut harus dilakukan bersama. Tidak bisa hanya mengandalkan satu organisasi saja. “DPRD Kalimantan Timur yang mengesahkan Perda Nomor 8 Tahun 2013 justru harus dilibatkan kembali dengan menanyakan kepada pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mengenai tindak lanjutnya yang tertuang dalam aturan teknis,” jelasnya.

Sementara Carollus Tuah, dari Pokja 30 Samarinda, menilai lambannya pembentukan komisi tambang ini dikarenakan tidak ada kepercayaan diri dari Pemerintah Kalimantan Timur, terkait akan tumpang tindihnya kewenangan. Yaitu, antara inspektur tambang yang jumlahnya 18 orang dan mengawasi 1.223 perusahaan, dengan komisi pengawas yang bertugas selama dua tahun dan hanya boleh menjabat selama dua periode itu.  “Padahal, komisi yang akan dibentuk nanti sebagai lembaga pengawas, bukan lembaga yang berfungsi untuk mengeksekusi,” jelasnya, Senin (16/3/2015).

Menurut Tuah, agar permasalahan ini tidak berlarut, pemerintah provinsi dengan kabupaten atau kota harus membuat kesepakatan serah terima kewenangan. “Bila tidak berjalan, ada baiknya Kementerian ESDM menerbitkan peraturan tentang kewenangan perizinan pertambangan mineral dan batubara. Sehingga, sengkarut perizinan usai, dan komisi tambang punya pijakan yang jelas. Bila tidak, ya akan begini terus. Tiada kemajuan, sedangkan lingkungan bertambah rusak, ” paparnya.

Sampai kapan harus menunggu?

* Informasi di tulisan ini telah dilengkapi tanpa mengurangi esensi

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,