Annas Maamun, Gubernur Riau, non aktif, kala sidang suap alih fungsi kawasan hutan di Riau di PN Bandung. Foto: Riau Corruption Trial
Tuntutan hukum terhadap Annas Maamun, atas kasus suap alih fungsi hutan di Riau, hanya enam tahun dan denda Rp250 juta, padahal ancaman hukuman 20 tahun. Tuntutan JPU KPK ini dinilai terlalu ringan oleh para pegiat lingkungan.
Setelah sempat tertunda pekan lalu, pembacaan tuntutan hukum terhadap Annas Maamun, Gubernur Riau non aktif, dibacakan pada di PN Bandung, Senin (25/5/15). Atuk, begitu Annas biasa dipanggil, dituntut enam tahun penjara atas perkara suap alih fungsi kawasan hutan Riau.
Majelis hakim diketuai Barita Lumban Gaol membuka sidang pukul 10.10. Seperti kesepakatan minggu lalu, Jaksa Penuntut Umum KPK melanjutkan pembacaan tuntutan.
JPU Irene Putrie, Wawan Yunarwanto, Ariawan Agustiartono, Taufiq Ibnugroho dan Kristanti Yuni Purnawanti menyimpulkan Annas terbukti sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf b, Pasal 11 dan Pasal 12 huruf a UU Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Annas Maamun berupa pidana penjara selama enam tahun dikurangi selama berada dalam tahanan dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan dan ditambah pidana denda Rp250 juta subsidair selama lima bulan kurungan,” kata Irene membacakan amar tuntutan.
Irene menyebutkan, terdakwa tak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan sebagai kepala daerah tidak menjadi tauladan bagi masyarakat. “Terdakwa sudah berusia lanjut, belum pernah dihukum dan berlaku sopan selama persidangan,” katanya, yang menjadi hal meringankan hukuman Annas.
“Saya sendiri merasa berat. Sebab yang saya lakukan tidak seperti itu. Kadang-kadang kita bilang, bagaimanalah. Bukan saya tidak menerima tuntutan jaksa, tapi nanti akan kita sampaikan di dalam pledooi,” kata Annas usai persidangan.
Sidang dilanjutkan 1 Juni 2015 dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledooi) dari terdakwa dan penasehat hukum.
Terlalu ringan
Tuntutan enam tahun denda Rp250 juta terhadap Annas mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Even Sembiring, dari Walhi Riau mengatakan, kalau lihat Pasal 12 B UU Tipikor dengan ancaman penjara 20 tahun, tuntutan kepada Annas, terlalu ringan. “Untuk itu, kita minta hakim menjatuhkan putusan lebih berat. Jangan sekadar merujuk tuntutan karena ada peluang bagi hakim menjatuhkan pidana lebih berat dengan merujuk dakwaan dan fakta-fakta persidangan,” katanya kepada Mongabay, Senin (25/5/15).
Menurut dia, poin lain, perkara pelepasan kawasan ini tak boleh berhenti sampai di Atuk saja. Sebab, dalam fakta persidangan Atuk dan Gulat jelas-jelas diketahui ada keterlibatan korporasi seperti Duta Palma. Bahkan, katanya, ada peranan pejabat Kementerian Kehutanan.
“Jadi, jangan sekadar jadikan Atuk sebagai tumbal, pihak lain yang terlibat harus diseret. Momen ini bisa dimanfaatkan KPK untuk menyeret korporasi yang terlibat korupsi kehutanan.”
Zenzi Suhadi, Manajer Kampanye Walhi Nasional mengatakan, kasus yang menjerat Annas ini menyangkut proses pelepasan 1,6 juta hektar hutan menjadi area penggunaan lain (APL). Selain soal tuntutan, katanya, dia sangat berharap KPK masuk lebih dalam membongkar berbagai pihak yang terlibat dan diuntungkan dari pelepasan kawasan itu.
KPK, kata Zenzi, jangan hanya berkutat di satu atau dua kasus pengusaha yang terlibat dalam pelepasan skala kecil. “Mestinya, KPK bisa crooss check di lahan 1,6 juta hektar di mana dan perusahaan mana yang terlibat.”
Dia mengatakan, kasus SK pelepasan kawasan Riau ini, sangat penting karena 17 provinsi lain melakukan modus serupa. “Ada 7,8 juta hektar hutan diubah menjadi daerah peruntukan lain. Mestinya, modus dan join skenario bersama politikus seperti ini dibongkar habis oleh KPK.”
Menurut Zenzi, kalau melihat trend proses hukum berkaitan sumber daya alam, di Riau yang disasar hanya pejabat pemerintah. “Korporasi yang menikmati malah tak disentuh.”
Kecenderungan ini, katanya, membuat proses hukum tak efektif menyelamatkan sumber daya alam. Dia mencontohkan, dari proses hukum terhadap tujuh pejabat Riau–tiga bupati, tiga kepala dinas dan satu gubernur–, jumlah uang yang dikembalikan ke negara hanya sekitar Rp31 miliar padahal angka kerugian mencapai Rp3,1 triliun. “Artinya, proses hukum cuma mengembalikan satu persen dari kerugian. Ini akan membuat penjahat lingkungan dan SDA ketagihan.”
Teguh Surya dari Greenpeace menilai, tuntutan enam tahun terlalu rendah mengingat kejahatan korupsi SDA seperti hutan memberikan dampak sangat buruk dan bersifat multidimensi. Ia berdampak bukan hanya pada lingkungan, tetapi memicu persoalan sosial (konflik), bencana lingkungan menahun, pemiskinan dan lain-lain. “Kalau cuma tuntutan enam tahun, pantas saja pejabat masih senang korupsi.”