Kepulauan Sangihe, Talaud dan koridor perairan Sulawesi Utara merupakan suatu kawasan di Wallacea yang memilki berbagai jenis spesies endemik, namun terancam oleh berbagai faktor. Permasalahan ini, mendorong Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) untuk memberi hibah bagi organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam isu-isu konservasi.
CEPF atau Dana Kemitraan Ekosistem Kritis adalah program kemitraan global antara Bank Dunia, Global Environment Facility (GEF) , MacArthur Foundation, Pemerintah Jepang, Badan Pembangunan Perancis (AFD), Conservation International dan Uni Eropa.
Kemitraan ini dibentuk sebagai dukungan pada organisasi masyarakat sipil di pusat keragaman hayati untuk melindungi ekosistem penting.
Adi Widyanto, Team Leader Regional Implementation Team (RIT) CEPF di Wallacea, mengatakan, pengajuan proposal untuk area pendanaan prioritas Sangihe, Talaud dan koridor laut Sulawesi Utara dibuka pada 25 Mei 2015 dan ditutup pada 25 Juni 2015.
“Organisasi masyarakat sipil berkesempatan menerima hibah yang mencapai USD 20.000. Informasi selengkapnya dapat dilihat di www.wallacea.org,” kata dia kepada Mongabay di Manado, Kamis (28/05/2015).
Tiga lokasi tadi dikategorikan sebagai area pendanaan prioritas karena teridentifikasi sebagai Key Biodiversity Area (KBA) di kawasan Wallacea. Sesuai definisi CEPF, lanjut Adi, KBA adalah suatu daerah yang memiliki populasi jenis flora dan fauna terancam punah secara global (Globally Threatened Species-GTS), populasi jenis-jenis sebaran terbatas atau yang hidup berkelompok dalam jumlah besar.
Isu-isu strategis yang disasar CEPF lewat program ini, dikelompokkan menjadi 6 tujuan strategis, mulai dari konservasi jenis, perlindungan tapak, pengelolaan sumberdaya alam darat berbasis masyarakat, pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut berbasis masyarakat, pelibatan sektor swasta dalam pelestarian keanekaragaman hayati serta penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil dalam konservasi keanekaragaman hayati.
“Itu menjadi pilihan organisasi masyarakat sipil. Jadi, mereka bisa mengambil peran masing-masing yang selama ini sudah dijalankan. Silahkan organisasi masyarakat berperan di mana, bagaimana, ingin mencapai target yang mana.”
“Mungkin ada organisasi yang ingin berperan melakukan intervensi dalam meredam perdagangan satwa liar yang dilindungi. Atau, ada juga kelompok masyarakat yang ingin melakukan aksi lokal terkait mekanisme, tradisi, kebiasaan-kebiasaan dalam menggunakan sumberdaya secara arif. Harapannya, ada pengakuan dari para pihak, mulai dari pemerintah, hingga masyarakat umum,” katanya.
Ia melihat, perlunya variasi pendekatan dalam aksi-aksi konservasi. Dasar dari semua itu adalah pengakuan atau kesadaran bahwa manusia tidak bisa lepas dari keragaman hayati.
“Karena keragaman hayati adalah solusi dasar bagi kehidupan itu sendiri. Tanpa keragaman hayati siklus alam tidak bisa berjalan. Keragaman hayati juga menyediakan sumber-sumber daya yang bisa langsung dinikmati manusia. Karena manfaat-manfaat tadi, manusia harus mengelolanya secara arif,” katanya.
Adi berharap, masyarakat dan pemerintah dapat bekerjasama dalam menyusun kesepakatan terkait pengelolaan sumber daya alam. Sebab, sebagian besar masalah lingkungan melibatkan konflik pemanfaatan sumberdaya, baik konflik antara manusia dengan keragaman hayati, maupun konflik antara pihak satu dengan pihak lain, yang memanfaatkan suatu kawasan.
Diperkirakan, pada tahun-tahun mendatang, permasalahan tersebut akan semakin meningkat. Sebabnya, jumlah populasi manusia semakin banyak, namun sumberdaya hayati tetap berada pada posisi terancam. Sehingga, penting bagi para pihak menyusun atau menyepakati pemanfaatan sumberdaya.
“Masyarakat bisa terlibat dalam proses itu. Pemerintah menjadi fasilitator, atau mewadahi partisipasi masyarakat. LSM dapat berperan menjadi katalisator juga memfasilitasi proses kerjanya. Semua pihak dapat berperan,” tambah Adi.
Ancaman Keragaman Hayati di kepulauan Siau, Sangihe dan Talaud
Kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulut merupakan pusat keragaman hayati unik yang terancam kelestariannya. Sangihe, misalnya, merupakan pulau seluas 58.200 hektar yang menjadi rumah bagi tujuh jenis burung endemis. Sebut saja celepuk sangihe (Otus collari), serindit sangihe (Loricullus catamene), udang-merah sangihe (Ceyx sangirensis), anis-bentet sangihe (Sangihe Shrike-thrush), seriwang sangihe (Colluricincla sanghirensis), kacamata sangihe (Zosterops nehrkorni) serta burung-madu sangihe (Aethopyga duyvenbodei).
“Lima jenis yang disebut terakhir merupakan jenis terancam punah dalam daftar IUCN,” kata Hanom Bashari, Biodiversity Specialist Burung Indonesia, Senin (01/06/2015).
Menurut Hanom, ancaman utama burung-burung di pegunungan Sahendaruman adalah habitat yang terbatas, dengan luas diperkirakan tidak sampai 500 hektar. Padahal, burung-burung tadi hanya bisa ditemukan di pegunungan Sahendaruman dan tidak ada di tempat lain di dunia. Artinya, jika habitatnya rusak atau burung tersebut diburu maka akan punah.
Selain terbatasnya habitat, ancaman juga hadir lewat perluasan area pertanian yang tidak cocok sebagai habitat burung-burung tersebut. Tak hanya burung, capung-jarum sangihe (Protosticta rozendalorum) saat ini juga berstatus kritis.
Sahendaruman merupakan hutan lindung yang ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 452/Kpts-II/1999, dengan luas awal 3.549 hektar. Namun, dalam perkembangannya, satwa terancam tadi hanya menghuni habitat tidak sampai 500 hektar.
Penetapan suatu hutan lindung ini, demikian Hanom menjelaskan, bukan berdasarkan nilai keragaman hayatinya, namun lebih pada fungsi di alam, yaitu daerah-daerah yang berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, baik itu daerah tangkapan air, serta pencegah erosi karena kondisi tanah dan geologinya yang labil.
“Sehingga, kadangkala, daerah hutan lindung bukanlah hutan. Namun, secara fungsinya daerah tersebut seharusnya berhutan,” katanya.
Ia menduga, ketika ditetapkan sebagai hutan lindung pada tahun 1999, kemungkinan besar daerah itu tidaklah seluruhnya hutan. Sehingga, tidak tepat jika dikatakan terjadi penyusutan kawasan di Sahendaruman. Sebab, tidak ada data pembanding terkait luas hutan yang ada sebelumnya dengan hutan yang ada saat ini.
“Hanya saja ada fakta saat ini bahwa hutan alami di pegunungan Sahendaruman kurang dari 500 hektar,” kata Hanom.
Sementara itu, di kepulauan Talaud penangkapan dan perdagangan merupakan ancaman terbesar bagi keragaman hayati. Jenis burung yang paling banyak ditangkap dan diperdagangkan dari kepulauan ini yaitu nuri talaud (Eos histrio). Akibatnya, jenis burung berbulu merah dan biru menyala itu, masuk genting.
Jenis lain di Talaud yang terancam punah karena aktivitas penangkapan dan perdagangan adalah kupu-kupu bernama talaud black-birdwing (Troides dohertyi). Sementara, kuskus-beruang talaud (Ailurops melanotis) yang ada di Pulau Salibabu diperkirakan sudah punah.
Di Siau, keragaman hayati terancam oleh bencana alam. Sebab, gunung Karangetang di bagian utara Siau merupakan gunung aktif, seperti tarsius siau (Tarsius tumpara) dan celepuk siau (Otus siaoensis).
“Alam pasti akan menemukan caranya untuk dapat mencapai keseimbangan secara ekologis, menyesuaikan dengan kondisi alam. Bagaimanapun, ini juga suatu ancaman yang bersifat alami.”
“Solusi terbaik tentulah dengan menyisakan dan jika memungkinkan menambah luasan hutan yang ada sebagai habitat terbaik jenis-jenis endemis di pulau Siau,” tutur Hanom.
Selain Kepulauan Sangihe dan Talaud, hibah CEPF periode ini juga diberikan untuk kegiatan di koridor laut Sulawesi Utara. Perairan Sulawesi Utara merupakan habitat penting bagi ratusan jenis terumbu karang, penyu dan ikan raja laut atau coelacanth yang terancam punah.