Pemerintah merencanakan pada 1 Agustus 2015, menggenangkan Waduk Jatigede, Jawa Barat. Namun, banyak pihak menentang karena berbagai masalah belum terselesaikan. Ada 28 desa akan tergenang, terdiri dari lima kecamatan, seperti Kecamatan Jatigede, Jatinunggal, Wado, Darmaraja, dan Cisitu.
“Kami menolak penggenangan 1 Agustus oleh Presiden. Karena masih menyisakan masalah sangat kompleks. Laporan samsat dari kabupaten bilang sudah tak ada masalah. Padahal, banyak belum selesai,” kata Hendra Suryana, warga Desa Cipaku, Darmaraja, yang terkena dampak penggenangan Waduk Jatigede di Jakarta, Kamis (30/7/15).
Permasalahan yang belum diselesaikan pemerintah, katanya, seperti ganti rugi tanah. Sejauh ini, banyak tanah masyarakat terlewat, belum dibayar, salah ukur, ataupun salah penerima. Juga banyak kesalahan klasifikasi lahan, misal sawah dibayar lahan darat. Begitupun sebaliknya.
“Kami menolak. Harus dikaji lagi dengan nurani mendalam. Kami tidak yakin pembangunan waduk akan meningkatkan kesejahteraan. Justru masyarakat dijadikan tumbal.”
Presiden sudah menerbitkan Perpres Nomor 1 tahun 2015 mengantisipasi dampak sosial penggenangan Waduk Jatigede. Namun isi perpres hanya berbicara soal ganti rugi, mengubah kewajiban relokasi warga menjadi ganti rugi dana.
Isi perpres juga mengklasifisikasikan masyarakat terkena dampak dalam dua bagian. Masyarakat menerima ganti rugi sesuai Permen 15 tahun 1975 dan bukan. Keadaan in, i jelas menimbulkan konsekuensi pada hak-hak warga.
“Kompensasi atau kerohiman kami anggap upaya pengusiran. Saat sosialisasi perpres puasa kemarin, yang datang hanya sekda kabupaten. Lain tidak. Judul sosialisasi, padahal pemberkasan. Masyarakat ditakut-takuti dengan banyak aparat berjaga. Ada polisi, TNI dan juga satpol PP dari provinsi. Seolah kami teroris.”
Dia tidak yakin pembangunan waduk tingkatkan produksi padi. “Sebenarnya lahan kami ribuan hektar akan digenangi. Ini hasilkan ribuan ton padi.”
Hendra mengatakan, satu hektar sawah warga menghasilkan 9,915 ton gabah kering. Padi biasa dikirim ke Bandung bahkan Jakarta. Kawasan yang akan digenangi sebenarnya lumbung padi terbesar di Sumedang.
“Pemerintah bilang waduk untuk mengairi sawah di utara seperti Indramayu dan Majalengka. Padahal, daerah itu sudah dibangun lapangan terbang. Banyak tanah masyarakat dibeli cukong dijadikan industri.”
Untuk itu, dia meminta pemerintah menunda penggenangan sebelum masalah sosial benar-benar terselesaikan. “Beri harapan atau kepastian pengembangan ekonomi kami di tempat baru. Jangan hanya beri uang, setelah itu tujuh hari pasca terima uang harus pindah. Memindahkan kebo saja harus buat kandang dulu. Bukan hanya soal isi perut. Kesejahteraan lahir batin dan kesehatan harus dipikirkan.”
Dia mengatakan, ganti rugi warga tidak sesuai, seperti rumahnya 7×12 meter dibayar Rp120 juta. Padahal, kini membangun rumah ukuran sama memerlukan biaya Rp300-Rp400 juta.
“Sebenarnya awal perjuangan kami menolak pembangunan waduk tanpa kompromi. Sekarang waduk sudah jadi. Kami ditumbalkan. Tak apa asal permasalahan selesaikan dulu.”
Mahmudin, warga Desa Pakualam, mengatakan, proses pemberkasan terus dilakukan yang memperlihatkan pemerintah lepas tanggungjawab dari penyelesaian konflik agraria yang terjadi puluhan tahun.
“Ketika warga menerima uang, harus pindah dalam waktu satu minggu. Kalau tidak, ada tim menggusur. Sementara masih banyak belum dapat ganti rugi. Jika pemerintah tetap penggenangan sebelum masalah selesai, sama artinya pembunuhan masal di Jatigede,” katanya.
Wahyu Nandang Herawan, pengacara YLBHI mengatakan, bersama LBH Bandung, uji materil terhadap perpres 2015 ke Mahkamah Agung, 12 Mei lalu. Uji materil diajukan, katanya, karena kebijakan tak berpihak rasa keadilan dan diskriminatif membedakan warga dalam dua bagian.
“Harusnya disamakan. Kita melihat ini melanggar hak hidup. Pemerintah seolah tak melihat kondisi masyarakat. Hanya pada proses pembangunan. Tak melihat hak masyarakat ke depan.”
Dalam wilayah bakal tergenangi terdapat banyak situs budaya. Pemerintah hanya memberikan solusi dipindahkan yang akan menghilangkan nilai historis lokasi itu. Juga terdapat 16 PAUD, tujuh TK, 22 SD, dan tiga SMP. Penggenangan akan membuat anak sekolah kebingungan. Fasilitas sosial lain yang bakal tergenang 40 masjid, 45 mushola, 33 posyandu dan 12 polindes.
Ridwan dari Agra mengatakan, jika penggenangan tetap dilakukan akan menjadi tragedi kemanusiaan. “Kita ingin sampaikan ke Presiden bahwa pengenangan 1 Agustus tak realisistis. Ada banyak masalah. Satu kecamatan yang tergenang surplus pangan 10.000 ton padi sekali panen. Ada lima kecamatan. Ini akan hilang. Ini harus dipikirkan,” katanya.
Direktur Eksekutif Walhi Nasional Abetnego Tarigan menilai, jika melihat berbagai pembangunan PLTA di Indonesia selalu menyisakan masalah, selalu dengan jargon irigasi sawah dan lahan pertanian. Faktanya, justru lebih menguntungkan industri, masyarakat dikorbankan.
“Kita lihat kasus PLTA Koto Panjang di Sumatera. Gajah dipindah ke daerah lain. Hasilnya tak ada yang hidup. Ekosistem rusak.”
Belum lagi, hampir semua PLTA di bawah kapasitas hingga tak berfungsi baik. “Ini karena PLTA-PLTA sebagai jalan pintas. Masyarakat digusur dengan perencanaan tak matang. Jatigede kalau tetap digenangi, menunjukkan pemerintahan Jokowi sudah menuliskan prasasti pelanggaran HAM,” katanya.
Memang, katanya, tak ada salah orang dipindah tetapi jangan menghalangi orang mengembangkan diri, dijamin masa depan dan hak tumbuh kembang.
“Harusnya pemerintah selesaikan masalah utuh. Perkara jangan ditinggalkan begitu saja. Ketika modal masuk semua dijamin. Kalau berbicara rakyat, hanya uang dan disuruh cari solusi sendiri. Kesenjangan terus terjadi.”
Edo Rakhman dari Walhi Nasional menambahkan, pemerintah seharusnya menyelesaikan masalah sosial dengan baik. “Tadi Komnas HAM bilang akan mengirin surat ke Jokowi untuk menunda penggenangan waduk.”