*Sunarto, Ekolog Satwa WWF & Anggota Forum Gajah. Email: [email protected]. Tulisan ini merupakan opini penulis. |
Gajah, siapa yang tidak kenal dengan satwa berbelalai ini? Selain dikenal sebagai makhluk hidup dengan tubuh terberat di darat, gajah pun memiliki karakter unik yang sangat layak untuk dikagumi.
Hari ini, 12 Agustus, merupakan Hari Gajah Sedunia atau World Elephant Day. Namun, saya lebih senang menggunakan istilah Global Elephant Day (GEDay) yang singkatan ini, bila diucapkan terdengar seperti ‘gede’, kata yang identik dengan gajah.
Terlepas dari penyebutan istilah tersebut, pastinya perayaan Hari Gajah Sedunia ini makin spesial karena jaraknya yang hanya terpaut lima hari dari Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Sekaligus, sebagai momen yang tepat bagi kita untuk merenungi “nasib” gajah. Mengapa? Karena, di satu sisi kita merayakan kemerdekaan kita sebagai bangsa yang berdaulat namun, di sisi lain kita justru masih membiarkan gajah, hidup dalam kondisi terjajah, khususnya di Sumatera.
Sejenak, mari berandai dan bayangkan, sekiranya kita terlahir sebagai gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus).
Sebagai seekor gajah aku dikandung oleh indukku selama 18-22 bulan. Ya, lebih dari dua kali lamanya dibanding usia kandungan manusia! Ketika aku dilahirkan, aku menyusui sekitar tiga tahun, dan terus dirawat serta belajar dari ibu dan kerabatku. Kawanku yang betina biasanya akan tetap bergabung dengan kelompok gajah betina hingga tua. Sementara aku, sebagai gajah jantan, akan mulai memisahkan diri saat masa puber dan bergabung dengan kelompok jantan pradewasa dan dewasa ketika usiaku sekitar 12-15 tahun. Gajah dan manusia sebetulnya memiliki beberapa kemiripan, terutama dalam hal tahapan pertumbuhan dan usia harapan hidup yang mencapai usia 70-an tahun. Dalam kelompok gajah betina yang jumlahnya berkisar puluhan hingga ratusan ekor, kelompok ini akan hidup dan menjelajahi wilayah yang luasnya mencapai 200 kilometer persegi. Namun, itu semua bergantung pada kondisi habitat, ketersediaan pakan atau ancaman di wilayah jelajah, dan sesekali kelompok besar akan berpencar menjadi kelompok lebih kecil. Bahkan, dalam kondisi tertentu, kelompok kecil ini dapat berpencar lagi menjadi kelompok lebih kecil atau ‘keluarga’ atau “sahabat” terdekat. Sementara, gajah jantan yang telah dewasa, termasuk aku dan ayahku, biasanya bergabung dalam kelompoknya sendiri dan akan menjelajah di jalurnya sendiri. Pergerakan kelompok gajah jantan mungkin dapat diibaratkan sebagai satelit yang selalu dapat memantau dan mengikuti namun tidak membaur dengan kelompok gajah betina. Hanya sesekali, satu atau dua ekor gajah jantan mendekat dan bergabung dengan kelompok betina, yakni ketika masa berbiak. Meski sering berjauhan antara individu dan kelompoknya, aku dan kerabatku bangsa gajah, memiliki mekanisme komunikasi jarak jauh “wireless” yang berkembang dengan sangat baik. Bukan hanya mampu mendengar dengan telinga, sesama gajah juga memiliki kemampuan untuk mendeteksi getaran “infrasonic” yang tidak terdengar oleh manusia. Kalau manusia kakinya hanya digunakan untuk berjalan atau menendang, kaki gajah justru dapat berfungsi untuk ‘mendengar’. Dengan telapak kaki, kami dapat mendeteksi dan membedakan getaran yang ditimbulkan oleh kelompok kami, satwa lain, ataupun tanda-tanda alam seperti gempa bumi. Itu sebabnya ketika gempa mengguncang dan tsunami menerjang, kerabatku yang berada di daerah terdampak bencana seperti Srilanka telah mengetahuinya dan berupaya menyelamatkan diri. Namun, kasihan manusia, mereka kebanyakan telah kehilangan sensitivitasnya terhadap tanda-tanda alam, sehingga banyak yang menjadi korban. Bertahun menjelajah hutan, hanya sesekali aku dan kelompokku berjumpa manusia, makhluk yang unik dan sebetulnya menarik. Mereka yang berjalan tegak dengan dua kaki, tubuh yang selalu berbalut pakaian warna-warni, dan kaki yang beralaskan sesuatu yang tebal.Terkadang, kepalanya ditutupi sesuatu dengan bentuk yang bermacam. Yang paling unik, mereka memiliki hidung yang tidak banyak fungsi selain bernafas. Sangat berbeda dengan aku yang memiliki hidung sangat berkembang dan dapat digunakan untuk memegang, memelintir, memotong, menyedot air, menyemprot, membelai, merangkul dan masih banyak lagi. Aku merasa beruntung menjadi makhluk terhebat di muka bumi. Namun, ibu dan saudaraku selalu wanti-wanti agar aku menjauh dari manusia. Karena, mereka sering menganggap kami bangsa gajah, makhluk berbahaya yang tanpa sebab, kelompokku kadang dianiaya atau setidaknya diusir dari lokasi yang mereka anggap wilayahnya. Tetapi, akhir-akhir ini kelompokku malah makin sering berjumpa manusia. Hutan luas sebagai rumah kami yang dulunya tak terjamah, kini telah dikuasai mahluk yang suka keramaian itu. Terlebih, beberapa tahun belakangan ini, kerabatku banyak yang tewas akibat menelan umpan buah-buahan yang dibalur racun. Selain itu, banyak gajah jantan, mungkin termasuk ayahku, yang telah mati diburu oleh sekelompok manusia bersenjata yang mengincar gading kami. Itu adalah salah satu keanehan manusia yang paling sulit kumengerti. Bayangkan kalau kami sebagai gajah memiliki keinginan serupa, memburu manusia demi mengambil gigi atau kukunya untuk dijadikan hiasan di sepanjang jalur jelajah kami. Akankah manusia memahami? Hal lain yang semakin membingungkanku adalah wilayah jelajah kelompokku yang semakin sempit dan terdesak perkebunan sawit, karet, dan akasia. Ketika kami meninggalkan jalur jelajah dan kembali lagi dalam hitungan bulan, hutan tempat kami mencari makan, bermain, dan mandi sudah ditebas, atau dibakar. Makin sering juga kulihat kepulan asap yang menyelimuti jalur lintasan atau juga lahan yang masih membara. Kami, bangsa gajah benar-benar khawatir. Raungan sepeda motor dan dentuman petasan, terus memaksa kami untuk menjauh. Meninggalkan wilayah jelajah kami, hutan belantara yang bagai disulap: sim salabim abra kadabra, berubah menjadi kebun sawit yang katanya milik manusia… |
Begitulah kehidupan gajah sumatera sekarang. Habitat dan populasinya mengalami penurunan drastis. Sekitar 70% habitatnya hilang atau rusak hanya dalam satu generasi (25 tahun) sejak 1985. Sebanyak 23 kantong populasi gajah pun mengalami kepunahan lokal pada periode tersebut, yang sebagian besar berada di Lampung dan Riau.
Pada periode itu juga, penurunan populasi paling drastis terjadi di Riau, terdokumentasi lebih dari 80%. Perhitungan terakhir untuk seluruh Sumatera dari perkiraan beberapa pegiat konservasi baik dari anggota Forum Konservasi Gajah Indonesia dan staf pemerintah dari instansi terkait dalam sebuah lokakarya awal 2014, diperoleh angka sekitar 1.700 ekor gajah yang tersisa di seantero Sumatera. Jumlah ini, bahkan dianggap over-estimate atau berlebih, sehingga perlu pengecekan lapangan. Padahal, perkiraan pada 2007, populasinya masih berkisar 2.400 – 2.800 individu.
Ancaman terhadap kehidupan gajah sumatera saat ini bersumber dari kegiatan dan keserakahan manusia. Kondisi di lapangan terlihat pada penyempitan dan terpecahnya habitat, meningkatnya konflik dan kematian gajah akibat racun atau tembakan senjata api pemburu liar. Karena kita, manusia, yang menjadi penyebab keterancaman mereka, kita pulalah yang paling bertanggung jawab dan harus mencari solusinya.
Jika kita berpikir objektif, solusi itu ada. Menjaga, merawat, dan memulihkan habitat gajah; mencegah, menghindarkan serta menangani konflik dengan baik; dan menghentikan perburuan liar, bisa dilakukan. Penjabaran lebih detil dari solusi tersebut telah banyak tertuang di berbagai dokumen atau diskusi berbagai pertemuan.
Yang diperlukan sekarang adalah komitmen bersama umat manusia. Komitmen ini bisa dimulai dari pemimpin dan tokoh bangsa beserta dukungan penuh masyarakatnya guna memperjuangkan nasib gajah yang sejatinya adalah cerminan kondisi ekosistem pendukung kehidupan kita semua.