Siang itu, Sabtu, 29 Januari 2011, hujan turun deras. Bersama tiga temannya, Sofian melaju dengan sepeda motor ke Desa Tebat Monok, Kabupaten Kepahiang, sekitar 50 Km dari Kota Bengkulu. Aktivitas itu dilakukan Sofian hanya untuk melihat rafflesia mekar.
Tiba di Tebat Monok, perjalanan dilanjutkan berjalan kaki dengan panduan penduduk setempat. Sambil menahan dingin akibat tubuh basah kuyup diguyur hujan dan hembusan angin pegunungan, mereka menapaki tanah mendaki yang licin sekitar 20 menit. “Sebagai penduduk Provinsi Bengkulu yang menjadikan rafflesia sebagai ikon daerah, saya malu belum pernah melihat langsung bunga rafflesia mekar. Namun, saya juga kecewa karena satu kelopak bunga patah. Menurut keterangan pemandu, itu sengaja dilakukan orang iseng,” ujar Sofian kepada Mongabay Indonesia, Minggu (9/8/15).
Rasa kecewa akan kondisi rafflesia yang tak terawat justru membuat Sofian bergerak, membentuk kelompok bernama Komunitas Peduli Puspa Langka. Sofian pun ditunjuk sebagai koordinator. Bersama anggota KPPL, Sofian membangun informasi dengan penduduk yang sering melihat bonggol dan rafflesia mekar. Berbekal info tersebut, Sofian mengajak netizen melakukan ekspedisi. “Via facebook. Ekspedisi pertama bersama netizen dilakukan 16 Februari 2011 di kawasan Hutan Lindung Bukit Daun Register 5, Kepahiang.”
Dari kegiatan ini juga, Sofian bertemu Agus Susatya, dosen peneliti sekaligus penemu dua jenis rafflesia. Mendukung upaya KPPL, Agus memberikan literatur mengenai rafflesia, termasuk buku karyanya, Rafflesia, Pesona Bunga Terbesar di Dunia. “Dari beliau, saya baru mengetahui banyak informasi yang dipublikasikan di media kurang tepat. Seperti, rafflesia disebut bunga bangkai atau tumbuhan pemakan serangga. Beliau juga mendorong agar saya terus meluruskan kesalahan informasi tersebut,” kata Sofian.
Tidak hanya menggunakan facebook, SMS dan BBM, Sofian bersama anggota KPPL yang kini berjumlah 50 orang, aktif kampanye pelestarian rafflesia ke sekolah. Khusus Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN), KPPL melakukan aksi simpatik di beberapa tempat strategis. “Semua dilakukan swadaya dan sukarela. Terkadang, ada netizen yang mendonasi Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta,” kata Sofian yang kini dikenal dengan nama Sofian Rafflesia.
Kampanye yang dilakukan Sofian juga berhasil mendorong pemuda di Kaur dan Bengkulu Utara membentuk kelompok serupa. Di Kaur, kelompok tersebut dinamakan Komunitas Pemuda Padang Guci Peduli Puspa Langka (KPPGPPL) yang dideklarasikan Februari 2014. Sedangkan di Bengkulu Utara bernama Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Bengkulu Utara yang dibentuk Juni 2015.
Di luar dugaan, kegiatan yang dilakukan Sofian membuatnya sering diundang menjadi pembicara, terutama para peneliti rafflesia. Kebanyakan, hal yang ditanyakan berupa jumlah dan lokasi rafflesia mekar. “Pada 2011-2013 misalnya, hasil pantauan kami di Bengkulu Tengah dan Kepahiang menunjukkan ada beberapa catatan yaitu 2011 (14), 2012 (32), dan 2013 (11) bunga rafflesia yang mekar.”
Pada 2014, tercatat 53 bunga rafflesia mekar di Bengkulu Tengah, Kepahiang, dan Kaur. Sedangkan tahun ini (hingga Agustus) sudah 30 bunga rafflesia mekar di Bengkulu Tengah, Kepahiang, Kaur dan Bengkulu Utara. “Untuk wilayah Lebong, Rejang Lebong, Mukomuko, Bengkulu Selatan dan Seluma belum terpantau,” ucaap Sofian.
Melalui aksi nyata yang dilakukannya, Sofian berharap Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Bengkulu membangun pusat penelitian rafflesia di Bengkulu. Alasannya, Bengkulu merupakan daerah yang paling sering ditemukan bunga rafflesia mekar.
Terutama jenis Rafflesia arnoldii yang pertama kali ditemukan Dr. Joseph Arnold, ahli botani asal Inggris di Pulau Lebar, Bengkulu Selatan pada 1818 yang telah ditetapkan sebagai Puspa Langka Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 4 tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional.
“Saya berharap pada International Symposium on Indonesian Giant Flowers – Rafflesia and Amorphophallus 14-17 September 2015 di Bengkulu nanti, pemerintah bisa mendeklarasikan gagasan pembangunan pusat penelitian rafflesia itu,” papar Sofian.