,

Indonesia Belum Merdeka dari Penjajahan Sumber Daya Alam. Benarkah?

Kemerdekaan Indonesia ke-70 tahun hanya dimaknai sebagai kemerdekaan teritorial, karena belum mampu menghadirkan keadilan serta kesamaan hak bagi seluruh warga negara. Hal ini diungkapkan Johan Avie, dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Surabaya, dalam diskusi bertemakan “Kedaulatan Sumber Daya Alam di Surabaya” Senin (17/8/15).

Johan mengatakan, Indonesia memang belum merdeka dalam pemenuhan hak dasar warga negara, khususnya pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi hak dasar warga negara. “Penjajahan masa kini lebih ke penjajahan ekonomi dan kedaulatan rakyat. Ini terkait pemanfaatan sumber daya alam Indonesia oleh negara lain maupun korporasi nasional.”

Tidak berdaulatnya negara dalam hal sumber daya alam, dapat dilihat dari izin usaha pertambangan yang dikeluarkan untuk Provinsi Jawa Timur sebanyak 378 izin. Hal ini memang memberikan pemasukan bagi kas daerah, namun ancaman kerusakan lingkungan serta kesenjangan ekonomi rakyat justru semakin besar.

“Sumber daya alam di wilayah Jawa Timur sudah dikooptasi oleh para pemodal dan perusahaan yang keuntungannya hanya untuk pemodal. Bayangkan, satu sumber daya alam itu bisa menghidupi enam desa,” paparnya.

Roy Murtadho dari Front Nahdliyin untuk Sumber Daya Alam mengatakan, kemerdekaan dan kedaulatan negara dalam bidang sumber daya alam sudah tidak ada lagi saat ini. Karena, telah tunduk pada penjajahan model baru yakni kapitalisme penguasaan lahan.

“Kalau kita lihat dari data konflik, 50 persen lebih aktor atau pelaku yang terlibat dalam pelanggaran HAM di sektor agraria adalah negara, instansi korporasi, sipil berpengaruh, atau kelompok borjuis nasional yang selama ini berebut lahan perkebunan,” ujarnya.

Menurut Roy, kedaulatan dan kemerdekaan yang dicita-citakan seharusnya dapat dinikmati rakyat dengan memperoleh pemerataan hasil pembangunan dan sumber daya alam, bukan malah menjadi korban konflik sosial dengan pemodal dan aparat negara. “Konflik agraria lebih riskan ketimbang konflik agama dan daya rusaknya juga lebih besar, karena menyangkut ruang hidup seseorang.”

Petani harus melewati kawasan semen di Tuban dengan jarak  cukup jauh hanya untuk mendapatkan kayu bakar. Foto: Petrus Riski
Petani harus melewati kawasan semen di Tuban dengan jarak cukup jauh hanya untuk mendapatkan kayu bakar. Foto: Petrus Riski

Roy menyarankan perlunya moratorium izin pemanfaatan sumber daya alam oleh pemerintah daerah, untuk mencegah meluasnya kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan. “Langkah yang paling mudah adalah bikin moratorium, mesti tahu petanya, ancaman alih fungsi lahan itu apa, dampaknya, dan minimal ada penangguhan alih fungsi lahan.”

Front Nahdliyin untuk Sumber Daya Alam, lanjut Roy, mendorong pemerintah secara khusus mengembalikan kedaulatan rakyat sesuai UUD 1945 pasal 33, yaitu kesejahteraan rakyat harus menjadi tujuan negara menguasai dan mengelola sumber daya alam.

“Kita harus merebut kembali sumber daya alam kita, mengembalikan tata milik, tata kelola dan tata guna. Hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak khususnya tanah dan sumber daya alam tidak boleh dipartikelirkan atau diperjualbelikan,” tegas Roy yang menyebut negara yang berdaulat berarti negara yang memakmurkan rakyatnya.

Menurut Roy, pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) juga dianggap sebagai ancaman bagi kedulatan rakyat, karena dapat dipastikan rakyat hanya akan menjadi penonton atau konsumen. Sementara itu sumber daya alam di Indonesia akan bebas dikelola dan dimanfaatkan oleh perusahaan atau negara asing. “Lebih baik tanah itu kita biarkan, ketimbang dikelola kapitalis,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,