Festival Nusantara, Meneguhkan Posisi Masyarakat Adat

Suasana berbeda terasa di lereng Gunung Batur, Bali. Lereng gunung berbatu berjarak 2 jam perjalanan dari Denpasar yang biasa lengang itu, mendadak meriah dengan puluhan tenda warna-warni maupun hijau tentara.

Di salah satu tempat, berdiri panggung terbuka. Latar belakangnya Gunung Batur setinggi 1.717 meter dari permukaan laut. Di panggung itu, tiap malam hingga 17 Agustus nanti, berlangsung pentas musik dari berbagai daerah di Nusantara.

Namun, yang lebih penting adalah diskusi tentang posisi masyarakat adat, sebagai bagian penting dalam Festival Nusantara di Desa Batur, Kecamatan Kintamani, Bangli, Bali.

Penyelenggaraan  Festival Nusantara itu untuk memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), dibuka Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya hadir mewakili Presiden Joko Widodo pada minggu pertama Agustus 2015.

Hadir pula Pelapor Khusus PBB untuk Hak Masyarakat Adat Victoria Tauli-Carpuz, Gubernur Bali Made Mangku Pastika, dan Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan. Sekitar 150 perwakilan masyarakat adat dari 21 provinsi di Nusantara hadir dalam kegiatan tersebut.

Dalam sambutan yang dibacakan Siti Nurbaya, Presiden Jokowi mengatakan tetap berkomitmen membentuk Satuan Tugas (Satgas) Masyarakat Adat sebagai upaya menjembatani rekonsiliasi antara negara dan masyarakat adat. Saat ini pemerintah masih terus menyelaraskan pembentukan Satgas tersebut dengan sejumlah kementerian terkait.

Pemerintahan sedang mencari formulasi tepat pembentukan satgas. Menurut Siti, pemerintah juga terus melakukan koordinasi dengan beberapa kementerian maupun lembaga terkait seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan pemerintah daerah.

Komitmen Jokowi tersebut disambut baik oleh kalangan masyarakat adat. Sekjen AMAN, Abdon Nababan mengatakan masyarakat adat menginginkan pembentukan Satgas secepatnya. Jika masih belum terbentuk juga, kehidupan masyarakat adat akan terus mengalami kriminalisasi. Namun, di sisi lain, AMAN juga menyadari pembentukan Satgas Masyarakat Adat masih harus ada koordinasi dan penyelarasan. “Jadi kami tetap akan mendorongnya,” katanya.

Salah satu peserta pameran masyarakat adat dalam Festival Nusantara di Desa Batur, Kecamatan Kintamani, Bangli, Bali pada awal Agustus 2015. Festival untuk memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) diikuti Sekitar 150 perwakilan masyarakat adat dari 21 provinsi di Nusantara. Foto : Anton Muhajir
Salah satu peserta pameran masyarakat adat dalam Festival Nusantara di Desa Batur, Kecamatan Kintamani, Bangli, Bali pada awal Agustus 2015. Festival untuk memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) diikuti Sekitar 150 perwakilan masyarakat adat dari 21 provinsi di Nusantara. Foto : Anton Muhajir

Pelapor Khusus PBB untuk Hak-hak Masyarakat Adat Victoria Tauli-Carpuz menyatakan hal serupa. Menurut Victoria, pembentukan Satgas Masyarakat Adat adalah langkah pertama untuk mendorong kebijakan yang berpihak pada masyarakat adat.

Tidak hanya dari sisi sosial dan adat, pembentukan satgas itu juga penting dari perspektif lingkungan. Bagi Indonesia, masyarakat adat yang setia menjaga kelestarian hutan, berperan penting juga terkait upaya menurunkan gas emisi karbon.

Peta Wilayah Adat

Untuk memperkuat posisi masyarakat adat, pada hari kedua festival, perwakilan masyarakat adat juga menyerahkan peta adat kepada pemerintah. Penyerahan dilakukan oleh tiga pihak yaitu Abdon Nababan (Sekjen AMAN), Kasmita Widodo (Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat), dan Deny Rahardian (Direktur Eksekutif Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif). Peta diterima Wiratno, Dirjen Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial KLHK mewakili pemerintah.

Penyerahan peta wilayah adat di Kintamani merupakan tahap keempat dari proses-proses yang sudah dilakukan. Penyerahan 604 peta wilayah adat itu total luasnya 6,8 juta hektar. “Selanjutnya ini bukan hanya milik KLHK. Kami berharap peta ini menjadi milik pemerintah dan sebagai rujukan dalam upaya penguatan masyarakat adat untuk menyelesaikan konflik,” kata Widodo.

Penyerahan pertama peta dilaksanakan pada Oktober 2012, kepada  Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Badan Informasi Geospasial seluas 2,4 juta hektar. Penyerahan kedua dilakukan pada 2013 seluas 2,6 juta hektar kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan. Adapun pada 2014, peta wilayah adat yang diserahkan seluas 4,8 juta hektar.

Peta sebaran masyarakat adat di Indonesia. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyerahkan peta adat hasil proses pemetaan partisipatif  kepada pemerintah dalam acara Festival Nusantara di Desa Batur, Kecamatan Kintamani, Bangli, Bali pada awal Agustus 2015. Sumber : AMAN
Peta sebaran masyarakat adat di Indonesia. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyerahkan peta adat hasil proses pemetaan partisipatif
kepada pemerintah dalam acara Festival Nusantara di Desa Batur, Kecamatan Kintamani, Bangli, Bali pada awal Agustus 2015. Sumber : AMAN

Menurut Abdon penyerahan peta wilayah adat tersebut sangat penting untuk meneguhkan posisi masyarakat adat. Saat ini, menurutnya, sekitar 70-80 persen wilayah adat sudah dipenuhi izin-izin usaha karena mudahnya pemberian izin oleh pemerintah. “Wilayah adat kita dengan mudahnya oleh pejabat Pemerintah Pusat diberi izin kepada berbagai pihak. Ini tantangan yang akan kita urus bersama bagaimana dengan izin yang sudah masuk,” kata Abdon.

Abdon menambahkan peta telah menjadi bagian penting dalam penjajahan. Dia menyebutkan contoh para pelaut Eropa, Spanyol dan Portugis yang menjelajahi negeri-negeri baru dan menyatakan bahwa negeri yang mereka temukan ada di bawah kekuasaan kerajaan. “Apa yang mereka bawa bersama mereka adalah tukang gambar atau tukang peta,” ujarnya.

Daerah baru yang ditemukan dan digambar itu kemudian menjadi wilayah jajahan Spanyol atau Portugis.

Belanda yang menjajah Indonesia memiliki doktrin yang kurang lebih sama dengan negara Eropa lainnya. “Domein Verklaring” menyatakan semua tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya adalah tanah negara. Pembuktian kepemilikan itu harus sesuai hukum penjajah.

“Itulah yang kemudian ingin dikoreksi oleh konstitusi kita. Ikhtiar konstitusi kita adalah menghapuskan doktrin itu sebagaimana disebut dalam UU Pokok Agraria,” ujarnya.

“Karena itulah maka masyarakat adat secara konstitusional harus diakui dan dihormati negara. Dalam konteks tanah ditegaskan lagi dalam UU Pokok Agraria,” tambahnya.

Festival Nusantara menjadi momen untuk mempertegas posisi masyarakat adat tersebut.

Meskipun demikian, Festival Nusantara tak hanya tentang persoalan adat tapi juga spiritual. Festival dengan tema Merayakan Peradaban Matahari itu juga menjadi momen perayaan kegiatan-kegiatan spiritual. “Karena persoalan lingkungan kan sangat terkait juga dengan spiritual,” kata Jero Gede Tindih, pemangku Desa Songan, Kintamani yang turut dalam festival tersebut.

Festival Nusantara sendiri dimeriahkan dengan pentas seni, budaya, dan bela diri dari masyarakat adat. Ada pula workshop, malam budaya, pameran produk nusantara, dan pemutaran film. Festival ditutup pada 17 Agustus melalui Deklarasi untuk Tanah Airyang melibatkan seluruh peserta, para pegiat seni, serta undangan dan simpatisan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , , ,