Hadi Daryanto tak ingin menyia-nyiakan waktunya. Begitu sampai di Desa Nipah Panjang, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Hidup ini langsung melihat peta hutan desa di Pulau Kecil Padang Tikar.
“Kita ada di mana sekarang?” tanya Hadi kepada Fajrin Nailus Subchi dan Denni Nurdwiansyah dari Perkumpulan Sampan Kalimantan, lembaga yang mendampingi 10 desa se-Pulau Padang Tikar.
Desa-desa itu telah mengusulkan hutan desa seluas 70.346 hektar ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Oktober 2014. KLHK kemudian melakukan verifikasi pada November 2014 menjadi 61.172 hektar. “Kalau begitu, kita segera lihat hutannya.”
Hadi mengajak seluruh rombongan dari KLHK, warga, dan lembaga pendamping. Sebelum bertolak, sebutir kelapa muda cukup menjadi penawar rasa lelah perjalanan 1,5 jam dengan speedboat berkekuatan mesin 200 PK dari dermaga Rasau Jaya menuju Desa Nipah Panjang.
Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan sepeda motor. Rombongan berusaha menerobos jalan semen yang sempit. Namun, di ujung kampung, Hadi tiba-tiba minta menghentikan motor yang ditumpanginya. Sebuah jalur lintasan kayu (kuda-kuda) menyerupai rel kereta api mengganggu pandangannya.
Hadi langsung turun dari sepeda motor dan berjalan kaki menelusuri kuda-kuda yang sengaja dibuat oleh para illegal logger untuk mendorong kayu dari dalam hutan.
Sekitar 500-an meter berjalan kaki di atas kuda-kuda menuju kawasan lindung Desa Nipah Panjang, tim dari KLHK ini menemukan tunggul-tunggul kayu bekas tebangan. Bahkan, kepingan papan yang sudah digergaji rapi masih tersusun di sisi kuda-kuda.
“Ini tindakan terlarang. Tidak boleh berulang lagi. Tidak boleh menebang di hutan lindung untuk keperluan apapun,” kata Hadi kepada warga yang turut serta mengantarnya ke kawasan itu.
Usai memeriksa kondisi hutan yang relatif bagus, mereka pun kembali ke permukiman warga Nipah Panjang. Di sana, ada 10 kepala desa se-Pulau Padang Tikar menunggu untuk berdialog.
Kepala Desa Batu Ampar, Junaidi mengatakan bahwa inisiatif masyarakat untuk merintis hutan desa didasari berbagai faktor. Salah satu hal yang paling mendasar adalah tekanan terhadap kelangsungan sumber daya alam akibat izin investasi. “Ketergantungan hidup warga terhadap sumber daya alam sangat tinggi sehingga perlu perlindungan,” katanya.
Dia mencontohkan kehadiran PT. Bina Ovivipari Semesta (Bios) di Desa Tanjung Harapan. Operasi perusahaan pemegang IUPHHK melalui SK No 68/Menhut-II/2006 ini berdampak langsung pada pendapatan masyarakat di Desa Nipah Panjang dan desa-desa lainnya di Pulau Padang Tikar. “Gara-gara mangrove ditebang, masyarakat kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan. Kepiting dan udang menghilang,” ucapnya.
Sementara Kepala Desa Tanjung Harapan, Juheran mengatakan, selain PT. Bios, ancaman lain yang bisa melumpuhkan daya dukung lingkungan adalah kehadiran Koperasi Harapan Makmur. Diam-diam, koperasi produsen itu sudah menanam sawit di kawasan hutan lindung.
“Ini yang memicu kemarahan warga saya. Puncaknya pada 13 Oktober 2014, 500-an warga desa mengamuk dan merusak tanaman sawit yang sudah ditanam di hutan lindung oleh pihak Koperasi Harapan Makmur,” urai Juheran.
Sayang sekali, lanjut Juheran, aparat kepolisian malah menetapkan sembilan warga desa sebagai tersangka. “Itu salah satu alasan kenapa kami terdorong membangun hutan desa. Harapannya, kawasan itu bisa terproteksi dari berbagai gangguan dan bisa dikelola secara berkelanjutan,” ucapnya.
Menjawab sejumlah keluh-kesah para kepala desa, Hadi Daryanto berjanji akan mempercepat penetapan kawasan hutan desa di Padang Tikar. “Saya sudah melihat langsung apakah kebijakan hutan desa ini tepat sasaran atau tidak. Ternyata sudah tepat,” katanya.
Kemudian, sambungnya, jika masih ada kawasan hutan produksi terbatas (HPK) yang belum terbebani izin, kita akan masukkan ke hutan desa agar warga memiliki ruang kelola. Langkah ini sebagai bonus buat warga dengan satu catatan, tak boleh lagi mengganggu hutan lindung.
“Saya langsung ke lokasi sebatas memastikan bahwa usulan hutan desa di Pulau Padang Tikar ini bebas dari konflik. Artinya, supaya kebijakan ini betul-betul sampai ke masyarakat sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemerintahan Presiden Joko Widodo,” jelas Hadi.
Setelah kebijakan itu sampai ke tengah-tengah masyarakat, kata Hadi, diuruslah seluruh mekanisme yang diperlukan. Kita bekerja sama dengan Badan Registrasi Wilayah Adat, bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, dan Sistem Hutan Kerakyatan. Untuk memastikan, pihaknya juga bekerja sama dengan LSM seperti Sampan Kalimantan.
Hutan desa terluas se-Indonesia
Deputi Direktur Perkumpulan Sampan Kalimantan, Denni Nurdwiansyah mengatakan usulan hutan desa di Pulau Padang Tikar dimulai sejak Oktober 2014. Sebulan setelah pengusulan, pihak KLHK sudah melakukan langkah-langkah verifikasi. “Hanya saja proses penetapannya berlarut-larut lantaran luasnya hutan desa yang diusulkan. Setahu saya, ini yang terluas di Indonesia,” katanya.
Sekian lama ditunggu, ternyata masalahnya ada di Desa Batu Ampar. Artinya luas usulan Batu Ampar yang mencapai 30-an ribu hektar dinilai terlalu luas. Ada indikasi pihak KLHK tidak percaya kalau warga mampu mengelola hutan desa seluas itu. Padahal, sebagian besar kawasan berstatus hutan lindung yang tak mungkin dikelola.
Lebih jauh Denni mengatakan, kelak hutan desa ini akan dibagi menjadi sejumlah zona. Mulai dari zona perlindungan, rehabilitasi, dan pemanfaatan. “Zona pemanfaatan akan dikelola warga untuk ditanami tanaman produktif seperti jagung, durian, jengkol, dan sebagainya. Sedangkan zona lindung, itu memang tidak bisa diapa-apakan,” ucapnya.
Melalui sejumlah upaya yang dilakukan warga, akhirnya Dirjen mau melihat langsung bagaimana kondisi di Pulau Padang Tikar. Kunjungan ini sekaligus sebagai upaya mempercepat penetapannya. Bahkan, luas kawasan hutan desa yang sudah diverifikasi akan diperluas dengan hutan produksi konversi.
“Kenapa diajukan sangat luas, karena kita memang tidak mau pengelolaannya setengah-setengah. Satu pulau ini adalah satu kesatuan hidrologi gambut. Makanya, ketika terjadi sesuatu di Desa Tanjung Harapan, dampaknya bisa sampai ke Nipah Panjang. Dan itu jarak yang sangat jauh,” urai Denni.
Sekilas, jika melihat transek permukiman warga, sesungguhnya mereka itu dikepung oleh mangrove dan gambut. Hutan mangrovenya berfungsi menahan abrasi dan intrusi, sedangkan lahan gambutnya penyuplai air bersih.
“Makanya, warga di Pulau Padang Tikar punya kepentingan menjaga keduanya. Jika mangrove habis, air laut akan masuk permukiman dan merusak sumber mata air masyarakat,” ucapnya.